Ana sempat terdiam sebentar sambil mengamati tingkah aneh Ares. Bola mata Ana mengikuti setiap gerakan sensual Ares di atas lapisan kulit tangannya yang memberikan berbagai hentakan di jantungnya. Namun, sentakan itu bukan mengarah ke debaran yang membahagiakan, melainkan ke perasaan negatif.
"Kamu masih belum berubah, Ares. Berhentilah menempel padaku seperti ini. Aku tahu kalau sejak dulu kamu melekat padaku. Akan tetapi, sekarang kita sudah dewasa dan sudah sepantasnya melihat seseorang yang bisa menjadi pasangan hidup kita. Apa kamu benar-benar akan sendirian seumur hidupmu? Hahaha...."
Ana mengakhiri kalimatnya dengan tawa agar suasana tidak menjadi canggung. Namun, sebenarnya ada perasaan jijik di dalam hati Ana terhadap kembarannya sendiri.
"Aku serius, Ana. Aku benar-benar akan bersamamu," balas Ares dengan wajah serius tanpa menghiraukan upaya Ana untuk mencairkan suasana dengan tawa sebelumnya.
"Astaga! Coba kita lihat, sepertinya sekarang sudah terlalu larut. Ayo kita pulang sebelum Papa dan Mama khawatir," cetus Ana sambil untuk menghentikan topik yang berbahaya itu.
Tidak ada lagi perasaan lembut, tidak ada lagi tarik-tarikan anak-anak, Ana menghempas tangan Ares dengan kuat agar genggaman tangan Ares terlepas.
Ana juga langsung memimpin pergerakan agar mereka pergi dari tempat itu untuk mengganti suasana. Dengan punggung yang tertuju pada Ares, Ana berjalan ke luar restoran sambil berkata, "Aku sudah bilang pada Mama kalau kita akan makan malam bersama, tetapi sekarang aku malah sudah makan. Sepertinya aku akan makan lagi untuk kedua kalinya. Bagaimana jika berat badanku naik drastis setelah ini? Hahaha...."
Ana mengeluarkan suara tawa, tetapi wajahnya tidak mendukung. Di balik punggung yang Ana berikan kepada Ares, Ana menunjukkan ekspresi dingin karena mengingat peristiwa yang baru saja terjadi di tempat itu.
"Aku tahu kalau kami adalah kembar, tetapi aku tidak bisa mengerti maksud sikap posesif yang dimiliki Ares. Kenapa aku merasa jijik dengan perlakuannya itu? Apakah itu adalah sikap yang pantas untuk ditunjukkan antara saudara? Atau, apakah itu memang insting yang dimiliki oleh saudara kembar?" batin Ana.
Di belakang Ana, Ares mengikutinya dengan tatapan tajam. Ia mengeraskan rahangnya karena tidak puas dengan hasil akhir pembicaraan mereka.
Ares tidak berhenti di situ saja. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memberikan pesan kepada Dewi.
[Berikan aku identitas lengkap dan semua yang kamu ketahui tentang pria yang didekati oleh Ana!]
*****
Derapan langkah kaki terdengar kuat dari belakang Dewi. Sekalipun Dewi tidak menoleh, tetapi ia bisa merasakan aura tidak biasa yang berasal dari seseorang yang mendekat ke arahnya. Insting Dewi menyuruhnya untuk mempercepat langkah dan menyelamatkan diri.
"Kamu mau melarikan diri lagi?" cetus seseorang yang berada di belakang Dewi.
Suara yang terdengar dari orang itu terdengar tipis dan nyaring selayaknya suara seorang wanita. Selagi orang itu berjalan, rambut hitam panjangnya berayun ringan seperti yang sering ditampilkan dalam iklan produk. Ya, wanita yang mengejar Dewi tidak lain adalah Ana.
"Dewi! Berhentilah dan akui semua kesalahanmu!" teriak Ana.
"Tidak! Aku tidak mau! Maafkan aku Ana!" seru Dewi yang mempercepat langkahnya untuk menjauhi Ana.
Mereka sedang berada tepat di depan gedung fakultas mereka, tetapi mereka malah membuat drama dengan keributan dan kejar-kejaran yang tidak jelas.
Perbandingan penampilan mereka membuat membuat Dewi tertangkap dengan cepat. Bagaimana tidak? Anting panjang yang menggantung di telinga, baju terusan yang mengayun indah, tas kecil yang hanya bisa digenggam di tangan, dan hak tinggi tipis yang menopang tubuhnya, begitulah penampilan Dewi. Dewi berpenampilan satu set lengkap seakan-akan hendak pergi ke pusat perbelanjaan, bukannya ke kampus.
"Kamu pikir kamu bisa lari dariku?" tanya Ana setelah berhasil menangkap pundak Dewi. Sambil menarik Jevi menuju tempat duduk terdekat, Ana kembali melanjutkan, "Sebaiknya kamu ikut denganku selagi aku masih punya kesabaran."
Dewi tidak bisa mengatakan apa pun. Mulutnya tertutup rapat dan membiarkan dirinya dibawa ke tempat yang Ana mau.
Ana sengaja menempatkan Dewi duduk berhadapan dengannya sehingga bola mata mereka saling bertemu. Getaran pupil mata Dewi Ana butuhkan untuk mengetahui apakah Dewi berbicara jujur atau tidak ketika ia melakukan interogasi.
"Jadi, apa yang Ares suruh padamu?" tanya Ana.
"Apa yang kamu maksud?" balas Dewi dengan menolak untuk bertatapan mata dengan Ana.
"Sebaiknya kamu berkata jujur Dewi. Aku sudah mendengar semuanya dari Ares. Kamu berteman denganku karena menyukai Ares, 'kan? Kamu melakukan apa yang ia suruh untuk melaporkan semua kegiatanku padanya, itu sebabnya kamu menjadi temanku? Kalau begitu, pertemanan kita sampai di sini, Dewi. Aku tidak membutuhkan teman yang sepertimu," tegas Ana.
"Apa?! Tidak, Ana. Tolong jangan salah paham seperti itu. Aku memang melakukan apa yang Ares suruh, tetapi aku juga menikmati waktu yang kuhabiskan denganmu," balas Dewi.
"Kalau begitu, kamu harus berhenti untuk menjadi mata-mata Ares dan hanya menjadi temanku saja," balas Ana.
"Jangan begitu dong, Ana. Ares hanya khawatir padamu. Bukannya seharusnya kamu sedang jika punya saudara yang perhatian dan peduli seperti Ares?" goda Dewi sambil menyenggol bahu Ana dengan sikunya.
"Itu bukan lagi kepedulian dan perhatian yang wajar, Dewi. Ares itu terobsesi padaku! Sejak dulu ia akan menjauhkan siapa pun yang dekat padaku, terutama jika mereka pria. Apa itu masuk akal? Sekarang aku sudah delapan belas tahun! Aku sudah kuliah dan sudah dewasa dalam hukum negara. Kenapa ia malah mengawasiku seperti anak kecil? Pengekangan seperti itu lebih tepat disebut sebagai sifat posesif, kamu tahu?" protes Ana sambil menggeram karena terbersit kenangan masa lalu bagaimana Ares membuat semua pria yang pernah berbicara dengannya akhirnya menghilang satu per satu.
Bukannya memahami maksud tujuan perkataan Ana dan memberikan empati selayaknya sahabat yang seperasaan, Dewi malah mementingkan kesenangannya sendiri.
"Bukankah kalian kembar? Mungkin Ares merasakan ikatan yang lebih dalam padamu. Aku sih merasa hal itu cukup mendebarkan. Jika itu aku, aku akan senang hati menjadi sasaran sikap posesif Ares," balas Dewi sambil memangku wajah dengan kedua telapak tangannya, sambil memandang lurus ke depan.
"Hei! Bukan saatnya untuk menghayal sekarang!" cetus Ana sambil mendorong bahu Dewi untuk menyadarkan Dewi kembali ke kenyataan. Kemudian Ana lanjut berkata, "Pokoknya jika kamu masih mau berteman denganku, kamu harus memblokir nomor Ares! Jangan lagi berhubungan dengannya, dan jangan lagi bertemu dengannya. Kamu harus memilih, antara Ares atau aku!"
"Ck! Tentu saja aku lebih memilih Ares dibandingkan dirimu," gumam Dewi.
Karena Dewi tepat di sebelahnya, Ana bisa mendengar suara gumam Dewi dengan sangat jelas. Seperti ada gesekan di saraf kepalanya, Dewi spontan naik darah ketika mendengar rangkaian kata yang diucapkan Dewi. Dengan otot wajah yang mengeras, Ana berkata,"Apa kamu bilang?! Jadi kamu lebih memilih Ares?!"
Bukannya khawatir atau panik karena gertakan Ana, Dewi masih tenang duduk di bangkunya. Sikap Dewi yang tidak terpengaruh sama sekali dengan gertakan Ana membuat Ana bertindak lebih tegas.
"Baiklah, mulai sekarang jangan bersikap seolah-olah mengenalku!" ucap Ana sambil beranjak dari tempatnya dan melangkah pergi.
"Jika aku melakukan sesuatu untuk hubunganmu, kamu mau memaafkanku, 'kan? Kalau begitu tunggulah sebentar!" cetus Dewi.
Ini adalah pertama kalinya Ana mengutuk pendengarannya yang tajam. Ia jadi menghentikan langkah kaki yang tadinya mau pergi meninggalkan Dewi. Ia pun spontan berbalik dengan maksud mendengarkan penjelasan lebih lanjut tentang ucapan temannya itu.
Namun, Dewi sudah bertindak jauh. Tanpa meminta izin kepada Ana, dan juga memberikan penjelasan lebih lanjut, Dewi malah mempersiapkan skenario drama romantis untuk Ana.
Mata Ana membuka lebar ketika melihat apa yang hendak dilakukan oleh temannya itu. Bagaimana tidak? Dewi sudah meninggalkan tempat duduknya dan berlari manja ke arah seorang Mahasiswa. Mahasiswa itu tidak lain adalah pria yang disukai oleh Ana, yaitu David.
Tanpa pikir panjang, Dewi berlari dan menabrakkan tubuhnya kepada David yang sedang memegang secangkir kopi di tangannya. Akhirnya, seluruh gaun yang dipakai Ana sudah kotor dan bernoda hitam karena tabrakan tubuh mereka membuat kopi David jadi tumpah.