Aku menatap Arya yang sedang berdiri di depanku. Sekilas, aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja meskipun saat ini pakaianku basah terkena air pel dan rambutku juga terlihat berantakan seperti tidak pernah disisir.
"Bulan. Kamu nggak apa-apa?" tanya Arya yang terlihat mencemaskanku meskipun aku tidak merasa begitu.
"A-Aku nggak apa-apa." jawabku dengan ragu. Kini, aku berniat untuk meninggalkannya dan pergi ke kelas dengan keadaan yang seperti ini. Akan tetapi, Arya langsung menahan pergelangan tanganku seakan ia ingin mengatakan sesuatu yang penting untukku.
Aku sendiri tidak mengerti mengapa orang terkenal, primadona sekolah seperti Arya Matahari mau menyentuh tangan kotorku yang penuh dengan perban luka. Aku pun menatap Arya dengan bingung dan menunggunya untuk berbicara lebih dulu.
"Sebaiknya ganti pakaianmu lebih dulu. Kamu bakalan masuk angin jika memakai pakaian basah." ucap Arya yang sedang memperingatkanku.
Aku pun segera mengambil tanganku kembali dan menatap Arya dengan pandangan ke bawah. "... Maaf. Aku hanya punya seragam ini saja. Tidak ada yang lain." ucapku dengan nada merendah. Namun, Arya malah mengangkat wajahku sehingga membuat ku harus bertatap-tatapan dengan matanya yang berwarna hitam seperti gagak dengan sedikit cahaya yang terpancar di sana.
"Jangan menunduk. Aku ini sama sepertimu. Tidak ada yang membedakan antara kau dan aku kan?" ucap Arya yang membuatku sangat terkejut dan bahkan sampai terpesona dengan senyumannya yang terukir di wajahnya.
Aku pun terdiam selama beberapa saat. Tanpa sadar, aku ingat kalau sejak kemarin aku belum makan apapun. Dengan perlahan, penglihatanku semakin gelap dan bahkan aku tidak lagi menatap wajah Arya yang sedang tersenyum untukku. Seketika, semuanya hitam dan aku tidak bisa merasakan apapun.
"Bulan?! Kamu kenapa?" tanya Arya yang begitu mencemaskanku.
Saat ini, aku tidak bisa mengatakan kalau selembar roti milikku tadi sudah diinjak-injak oleh Isabel dan dua temannya. Jika saja aku mengatakannya secara terus terang, mereka mungkin akan membalasku berkali-kali lipat dan aku tidak bisa melakukan apapun.
Pada akhirnya, karena tak sanggup menahan perutku yang kelaparan, aku pun jatuh di atas pundak Arya yang begitu lebar dan hangat. Aku merasa sangat nyaman saat Arya memelukku karena mencemaskan keadaan ku yang terbilang sepele dan ceroboh ini. Aku tahu kalau akulah yang salah karena tidak makan. Tetapi, baru kali ini aku merasa sangat lemas sampai-sampai tidak bisa berjalan.
Suasana ini mengingatkanku saat Ibuku masih ada. Ibu selalu mengingatkanku makan karena aku selalu lupa. Selain itu, Ibu juga selalu menemaniku setiap aku ingin tidur dan menceritakan sebuah dongeng yang hangat dengan suaranya yang begitu lembut seperti kapas.
Aku selalu tertawa saat mendengarnya bercerita. Satu-satunya kisah yang paling aku ingat adalah kisah 'Bulan dan Matahari' yang dibuat-buat oleh Ibu saat aku memintanya untuk tidak membacakannya dari dalam buku.
Saat itu Ibu bercerita kalau Matahari dan Bulan yang tak pernah ingin berpisah dengan jarak dan orbitnya. Saat pagi hari, ada banyak manusia yang bahagia karena sinarnya yang hangat dan menyinari wajah-wajah senang itu. Akan tetapi, saat malam mereka menjadi sedih karena matahari harus tenggelam dari arah barat.
Karena itu, untuk menghapus kesedihan mereka, Matahari menyampaikan cahayanya pada Bulan sehingga Bulan pun juga ikut bersinar seperti matahari. Meskipun kecil dan tak banyak orang yang menyukainya, Bulan tetap berada pada orbitnya dan terus menyampaikan sinar matahari untuk bumi.
Cara seperti itulah yang mereka gunakan agar tidak bisa terpisah oleh jarak dan lintasan orbit yang harus dilalui Oleh Bulan.
Meskipun sangat sederhana dan singkat, aku sangat menikmati saat-saat Ibuku bercerita tentang segala hal yang terjadi di dunia ini bahkan sampai yang tidak mungkin terjadi. Saat itu aku sangat menikmatinya dan terlarut dalam kebahagiaan yang dibuat-buat oleh Ibuku sendiri.
Akan tetapi, waktu berlalu begitu cepat. Aku akhirnya kehilangan sosok Ibu yang selalu aku rindukan dan selalu mendorongku dari belakang. Sebesar apapun aku menunjukkan perubahan dalam diriku, hanya Ibu yang tak pernah berubah. Dia tetap menyayangiku bahkan saat aku mengantarkannya ke liang lahat. Mungkin saat ini, surga lebih menyita matanya hingga membuatnya melupakanku yang masih berada di dunia.
Jika aku diberi kesempatan untuk bertemu dengan Ibuku walau sedetik, aku ingin mengatakan kalau aku sangat menyayanginya dan keberadaannya lebih berarti dari apapun.
Perlahan, aku pun membuka mataku. Aku mulai merasa hembusan angin yang bertiup melewati telingaku. Lagi-lagi, ketenangan terjadi padaku. Akan tetapi, setelah kejadian tadi, aku merasa sedikit takut akan hal yang mungkin akan terjadi padaku selanjutnya.
Aku takut kejadian buruk akan menimpaku sekali lagi.
"Bulan! Akhirnya kamu bangun."
Aku terkejut saat mendengar suara Arya yang berada tak jauh dari tempat tidurku saat ini. Aku pun mencoba menoleh ke samping dan melihat Arya yang sedang duduk di kursi sebelah tempat tidurku. Entah hal bodoh apa yang dilakukannya saat ini. Aku benar-benar tidak mengerti padanya.
Di saat semua orang berlomba-lomba menindas diriku, cowok ini malah sengaja mendekatiku seperti ini?
Tapi aku sangat beruntung. Jika saja Arya tidak menghampiriku, aku mungkin akan menjadi tulang belulang dan akan menghantui seluruh sekolah.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku.
"Aku yang membawamu ke UKS. Jadi, kamu nggak usah heran kenapa aku bisa ada di sini." jawab Arya sambil mengeluarkan sebuah roti kukus yang ada di dalam kantong plastik lalu memberikannya padaku. "... Ini! Makanlah. Kamu terlihat kurus dari biasanya. Kamu pasti tidak makan sejak kemarin siang kan?"
Aku terkejut mendengar dugaan Arya ternyata benar. Seketika, aku pun mematung dan semakin penasaran padanya. Aku tahu dia pintar tetapi, apakah dia bisa mendengar suara di pikiranku? Atau jangan-jangan ia bisa membaca wajah?
"Kenapa hanya diam dan menatapku seperti itu? Ini! Makanlah! Jangan sampai pingsan di sekolah! Lain kali, kau harus ingat makan!" ucap Arya yang tampak kebingungan setelah ia melihat ekspresi ku yang penuh selidik.
"Tapi, kenapa Arya mau menolongku? Aku ini bukan siapa-siapa di kelas." tanyaku karena penasaran.
"Kamu selalu merendah. Aku sedikit kesal dengan sifatmu itu." jawab Arya sambil memberikan roti itu padaku. "... Tapi, kamu bisa merubahnya perlahan. Cobalah untuk menatap lawan bicaramu dan jangan biarkan siapapun menindasmu lagi. Jangan pernah menundukkan kepalamu seperti orang yang sedang putus asa. Aku yakin, Bulan akan berubah seiring berjalannya waktu."
Untuk pertama kalinya aku melihat ada seseorang yang mengatakan hal bagus di depan mataku. Aku pun terdiam dan tak bisa mengatakan apapun padanya. Untuk sesaat, aku berpikir Arya adalah orang yang berbeda. Akan tetapi, aku mulai cemas. Jika seseorang melihatku dan Arya sedekat ini dan orang itu akan menyebarkannya, apakah Arya juga akan dibenci sama sepertiku?
"Aku tidak ingin membuat Arya dibenci oleh semua orang. Karena itu, mulai sekarang aku harus segera menjauhinya dan melupakan hal yang baru saja terjadi." batinku.