Seorang wanita yang akan genap berusia 21 tahun pada bulan November ini merebahkan tubuhnya di atas karpet yang menjadi alas tidurnya setiap malam.
"Gak disangka, novelku yang berjudul 'Istri Terlarang milik Mafia Posesif' itu malah cukup ramai pembacanya," gumam wanita yang kerap dipanggil dengan nama Vale itu.
Vale terkekeh lirih, "yah, apa gunanya kalau ramai? Semua penghasilan juga tetap diambil oleh keluarga untuk membayar hutang."
Semua kerja keras Vale, dari sejak sekolah hingga saat ini, selalu dirampas secara paksa oleh keluarganya, terutama sang Ayah.
"Tapi aku kasihan sama Raven."
Benak Vale melayang pada tokoh pria yang mendapat takdir menyedihkan.
"Raven, tenang aja.. aku bakal buat kamu bahagia di ceritamu sendiri. Tapi, entah kenapa rasanya aku ingin diriku sendiri yang membuat Raven bahagia."
Vale terus saja berbicara sendirian, ia tak punya teman, keluarganya pun tak peduli pada dirinya, yang mereka pedulikan hanya uang hasil kerjanya. Meski sudah cukup dewasa, Vale masih saja dikurung tanpa boleh keluar dari rumah itu selangkah pun.
"Dasar gila, Vale. Gimana bisa kamu mencintai karakter novel karanganmu? Sadarlah, Raven itu gak nyata, kamu gak bisa terus-terusan kayak gini," ujar Vale sembari menepuk-nepuk pipinya sendiri untuk menyadarkan diri.
Sebelum tidur, Vale menatap gambar tokoh karakter bernama Raven Orlando yang ia gambar sendiri. Vale benar-benar sangat jatuh cinta dengan pria karangannya. Setiap detail wajah Raven itu sangat sempurna, tubuhnya juga tak main-main. Vale mencurahkan usaha terbaiknya untuk menggambar pria itu.
*****
Baru beberapa jam terlelap, kini Vale menjerit terkejut saat merasakan sebuah tangan kasar menjamah tubuhnya.
"OM SIAPA?!" jerit Vale sembari beringsut mundur. Ia tersudut, karena gudang yang menjadi tempat tidurnya ini memang sangat sempit.
Pria yang menjamah tubuhnya adalah seorang pria baruh baya dengan perut buncit, wajah mesum, dan beberapa gigi yang ompong.
"Kamu tanya siapa aku? Astaga, sayangku." Pria itu terkekeh, "kenalkan namaku Tio, calon suamimu. Besok siang kita akan menikah, dan malam ini aku diberi izin oleh Ayahmu untuk memeriksa tubuhmu. Aku membayar mahal pada Anto agar bisa menikahimu loh. Kamu tau maksudku? Ayahmu itu sudah menjual putrinya padaku."
"Apa?" Vale tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Sayang, jangan terkejut begitu. Untuk hari ini sepertinya aku sudah cukup melihatmu, sampai bertemu besok Vale, calon istriku."
Tio—pria paruh baya yang katanya calon suami Vale itu pergi begitu saja sembari tertawa senang. Meninggalkan Vale yang terduduk diam namun sedetik kemudian ia bangkit dan melangkah keluar dari gudang itu untuk mencari keberadaan sang Ayah.
"Papa!" seru Vale ketika melihat Anto tengah menghitung uang tunai yang cukup banyak, terdapat beberapa kardus yang berisi uang lembaran berwarna merah.
"Apa?" balas Anto dengan nada malas. Ibunya yang duduk di samping Anto pun memasang wajah tanpa ekspresi, seolah tak peduli putrinya dinikahkan secara paksa pada pria berperut buncit yang bahkan usianya seumuran dengan Anto.
"Papa jual aku?" tanya Vale dengan suara parau.
PLAK!
Wajah Vale terhempas ke arah kiri ketika pipi kanannya ditampar oleh Anto.
"Sembarangan kamu! Jual apanya? Memangnya kamu seberapa berharga sampai bisa dijual, hah?! Ini uang dari calon suami kamu, sebagai bayaran karena kami sudah mau membesarkan anak sialan seperti kamu!" geram Anto.
"Pa, aku gak mau nikah sama Om itu," lirih Vale. Meminta belas kasihan dari sang Ayah.
Namun, bukannya iba, Anto justru semakin kesal. Tangannya mencengkram dagu Vale erat, "kamu gak bisa bilang gak mau. Kamu mau atau gak mau, tetap harus menikah dengan Tio. Kapan lagi kamu yang hidup macam kecoak ini bisa punya suami kaya raya, Val?" hina Anto.
Air mata Vale mengalir deras, makian, hinaan, siksaan, hingga kekerasan fisik yang tiada akhirnya dari keluarganya ini sungguh menyiksa. Vale tak tahan lagi.
"Lebih baik aku mati aja dari pada nikah sama Om itu!" jerit Vale yang sudah lelah menjadi anak lemah.
Anto tertawa keras dan menghempaskan Vale, "memangnya kamu berani? Ya udah, kalau berani ya mati aja. Tapi Papa sih yakin kamu gak akan berani."
Tidak berani? Vale tersenyum miris, kemudian memutar kakinya untuk kembali ke gudang yang dijadikan kamarnya itu.
"Capek.."
Memar di punggungnya akibat libasan tali pinggang Anto bahkan belum hilang. Sudut bibirnya masih sedikit perih karena kemarin ditampar Anto berulang kali, dan malam ini juga ditampar sekali lagi. Vale bahkan tak tau apa salahnya, kenapa orang tua dan Kakak Abangnya memperlakukannya seperti ini. Yang Vale tau, ia pernah tanpa sengaja mencuri dengar bahwa dirinya ini hanyalah anak haram yang Ibunya kandung dari pria lain, Anto bukanlah Ayah kandungnya.
Apalagi yang membuat Vale bertahan di dunia ini kalau begitu? Tak ada. Bahkan, pria yang ia cintai pun hanyalah tokoh karangannya di dalam novel yang ia tulis.
Ekor mata Vale melirik ke arah cutter yang tergeletak di lantai begitu saja. Pikirannya sudah buntu.
Garis demi garis ia gambarkan di pergelangan tangannya, cairan merah pekat terus mengalir hingga kepala Vale mulai terasa pusing.
"Hentikan itu, Roses Valerie!" sentak sebuah suara pria.
Vale tersentak saat nama lengkapnya disebut. Gerakannya benar-benar terhenti, dan seorang pria dengan pakaian aneh muncul di hadapannya. Hanya sebuah kain berwarna hitam yang ditarik ke sana kemari untuk menutupi tubuhnya begitu. Siapa pria ini?
"Kamu mau mati?" tanya pria itu.
"Apa urusannya denganmu?" balas Vale datar.
Pria itu tertawa, nadanya terdengar merdu di telinga Vale, "namaku Aphisto. Aku adalah iblis yang bisa mengabulkan semua permintaanmu."
"Lalu?" Vale membalas dengan nada dingin.
"Hei, ayolah. Masa kamu tidak terpikirkan apapun ketika aku bilang bisa mengabulkan semua permintaanmu?" gerutu Aphisto.
"Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untukku?" Vale menantang.
"Kamu ternyata sama sekali tidak terkejut ataupun takut ya? Padahal aku ini seorang iblis loh, iblis, kau tau?" kekeh Aphisto dengan nada menyebalkan.
"Ya, tau. Buat apa aku takut atau terkejut? Ayahku bahkan lebih cocok disebut iblis dari pada kamu," ujar Vale santai.
Aphisto tertawa girang dan mengacungkan jempolnya, "benar! Kamu memang hebat! Kuakui, Ayahmu itu memang lebih cocok disebut iblis dari pada aku yang lucu dan keren ini kan?"
"Jangan bercanda. Aku harus secepatnya mati sebelum ditemukan oleh Ayahku," ketus Vale.
"Apa yang bisa kamu lakukan untukku, Aphisto?"
"Apapun, Vale. Bukankah kamu mencintai Raven Orlando si tokoh novelmu itu?" tanya Aphisto dengan seringaian iblis. Kali ini, Vale benar-benar melihat iblis menyeringai. Keren juga ternyata.
"Ya, lalu?"
"Aku bisa membuatmu bertemu dengannya! Aku bisa memasukkan kamu ke dalam dunia novel buatanmu, karena dunia karanganmu itu benar-benar ada, Vale," jelas Aphisto.
Jujur saja, Vale amat sangat tertarik.
"Apa bayarannya?" tanya Vale to the point.
"Nyawaku? Jiwaku yang kamu jadikan tawanan setelah meninggal? Atau kamu butuh darahku?"
"Tidak," Aphisto menggeleng, "bayarannya akan ku tagih suatu hari nanti, jelasnya kapan aku tidak tau. Intinya, bayarannya adalah pengorbanan. Bisa saja pengorbanan nyawa, jiwa, darah, atau yang lainnya. Lihat nanti ya, tergantung suasana hatiku. Karena saat ini aku sedang tak butuh apapun," kekehnya.
"Iblis mah bebas, Val," ucapnya dengan nada sombong.
"Hm, oke. Aku setuju, ayo buat kontraknya," ajak Vale.
"Eh, astaga. Kamu ini sungguh tidak takut sedikitpun ya? Padahal kamu ini akan bertransaksi dengan iblis loh, Vale."
Vale tersenyum sendu, "apa lagi yang aku takutkan? Toh, kalaupun kamu meminta nyawaku suatu hari nanti, sama saja. Karena sebenarnya hari ini aku berniat untuk mati jika tidak bertemu denganmu," ucap Vale pasrah.
"Tidak perlu kontrak, Vale. Aku akan langsung mengirimmu ke dunia dimana Raven Orlando hidup secara nyata," balas Aphisto dengan senyum misterius.
"Memangnya tidak apa-apa? Setauku, di film ataupun novel, setiap melakukan perjanjian dengan iblis ada kontraknya. Jadi suatu saat jika ditagih benar-benar bisa," gumam Vale.
"Aku berbeda." Lagi-lagi Aphisto tersenyum misterius, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Sudah siap? Aku akan mengirimmu sekarang juga tepat di hadapan Raven," ujar Aphisto lembut.
"Ya. Aku siap." Vale tersenyum, ia merasa jantungnya berdebar tak karuan karena gugup.
Aphisto mulai merapalkan mantra, cahaya terang melingkupi tubuh Vale secara perlahan.
"Aphisto, terima kasih," ucap Vale sebelum benar-benar menghilang dari gudang itu.
"Yah, sama-sama Vale. Maaf karena setengah dari perkataanku adalah kebohongan, itu demi kebaikanmu, anakku yang kucintai," lirih Aphisto kemudian menghilang begitu saja.