Chereads / The Gladiol / Chapter 157 - Sebelum Penyerangan

Chapter 157 - Sebelum Penyerangan

"Kau memikirkan ibumu?"

Arvy menggeleng. Ia meraih gelas wine nya lalu menghabiskannya dalam sekali tenggak.

"Kau akan mendapatkan informasi lebih banyak lagi saat bertemu Rataka nanti. Tapi kuharap kau tidak memukulnya seperti kemarin."

"Untuk itu aku juga tidak akan meminta maaf. Tidak akan."

Arvy mengiris steak nya dengan ekspresi datar lalu memakan hidangan daging itu. Kakek hanya bisa menatapnya.

FLASHBACK

Arvy 13 tahun, sebelum Amy di adopsi, dan Dio masih berusia 9 tahun. Raziva dan Nadia masih sehat.

Keluarga itu mengadakan acara makan malam keluarga.

Holan dan Ardana tidak pernah berkomunikasi dengan akrab. Namun mereka masih bersikap biasa saja satu sama lain dan juga sedikit canggung.

"Kau tidak mau memegang salah satu perusahaan?" tawar Rossan pada Holan.

"Tidak. Aku masih banyak pekerjaan di kepolisian," jawab Holan tanpa menatap ayah mertuanya. Ia sibuk menikmati salad di piringnya dan juga mengambilkan salad untuk Dio.

"Ayah," panggil Ardana. "Aku bisa menjalankannya untukmu."

"Kau?" Rossan hanya meliriknya dan memasang wajah kecut. "Apa kau bisa menjalankannya sebaik Holan?"

Dana tidak terkejut lagi. Ia lalu diam dan melanjutkan makannya. Ia memang putra kandungnya namun menantunya Holan memang sangat dibanggakan Rossan entah karena apa. Mengetahui itu, Raziva yang penyabar hanya bisa memegang tangannya di bawah meja dan menenangkannya. Seolah berkata tidak apa apa.

Arvy juga menyadari kedua orang tuanya yang sebenarnya tidak puas atas perlakuan pilih kasih kakeknya.

"Makan yang banyak," kata Holan pada putranya yang masih berusia 9 tahun.

Dio anak yang pendiam, penurut dan juga ceria. Dia adalah putra idaman semua orang tua. Tampan, baik dan manis. Persisi seperti anak kucing yang selalu menurut dan bermanja manja. Adik adik Rossan bahkan memujinya.

"Kau manis sekali."

"Dio usianya berapa tahun sayang?" salah satunya ada yang mencolek pipinya.

"Setelan jas sangat cocok untuknya. Dia pasti akan jadi pria tampan dan rupawan saat besar nanti."

"Kelas berapa sekarang?"

"Maunya duduk dekat ibunya terus ya."

"Iya sangat menempel sama ibunya. Manis sekali."

Nadia merangkul pundaknya dan memeluknya dari samping. Ia juga mencium pipi putranya.

"Usianya 9 tahun, baru duduk di kelas 4." kata Nadia.

"Sepertinya dia akan jadi dokter di masa depan," tambah kakek membanggakannya.

Holan tersenyum simpul melirik isteri dan putranya yang duduk di sampingnya.

Ardana dan Raziva serta Arvy memperhatikannya.

Arvy dan Dio tiba tiba tidak sengaja mata mereka saling bertemu. Keduanya menatap lama satu sama lain. Keluarga Ardana duduk berseberangan dari keluarga Holan. Sembari memakan saladnya, Arvy menatap Dio dengan ekspresi muka datar dan terlihat dingin.

"Jangan makan sayur terus. Ini," Ziva menaruh piring steak di depan putranya.

Arvy menoleh ke ibunya.

"Makan juga dagingnya. Makanlah yang banyak," Ziva tersenyum dan mengelus puncak rambut.

Arvy yang tadinya memasang ekspresi datar seketika berubah drastis tersenyum lebar pada ibunya dan menerima daging itu dengan senang hati.

"Arvy lulus dengan nilai yang memuaskan kemarin. Dia akan masuk ke SMP tahun ini," Ardana mencoba menarik perhatian ayahnya dengan membanggakan anaknya juga. Meskipun ia lebih tertarik pada Dio.

"Baru lulus sekolah dasar apa yang perlu dibanggakan," ketus Rossan.

Arvy mendengarnya bisa menunduk sedih. Steak yang sudah dipotong potongkan ibunya tadi hanya dilihatnya. Ia tidak nafsu makan.

Begitu juga Ardana dan Raziva yang hanya bisa saling tersenyum terpaksa dia tas meja keluarga itu. Mereka berusaha terlihat baik baik aja agar Arvy tidak terlalu kecewa dengan perlakuan kakeknya.

"Aku mendapat peringkat satu di angkatanku, Kek." kata Arvy tiba tiba.

Raziva tiba tiba memegang tangan kecilnya di bawah meja sembari menggeleng pelan ke arahnya, sembari memberi tanda agar tidak mengucapkan apapun lagi. Namun Arvy menolak.

"Benarkah?" tanya kakek dengan nada tidak percaya. Atau tidak mau percaya.

"Sungguh," kata Arvy. "Aku masuk ke SMP favorit yang cuma bisa dimasuki anak anak cerdas. Aku akan masuk ke sana."

"Apa kau bisa? Aku tidak yakin." Kakek melengos lalu melanjutkan makan makanannya.

Nadia menatap keluarga adiknya dengan tatapan sedih. Ia sebenarnya juga tidak senang kakek memperlakukan keluarga Ardana seperti itu namun ia tidak berani membantah ayahnya.

"Nak Arvy pasti sangat pintar," puji Nadia sembari tersenyum.

Raziva yang mendengarnya memandang Nadia dengan senyum lebar.

"Iya. Putraku juga sangat pintar."

'Kalau begitu bagus. Dio dan Arvy sama sama anak yang cerdas. Bukankah itu sangat membanggakan? Iya kan ayah?" pancing Nadia.

"Iya iya." jawab Rossan dengan setengah hati.

Sesampai di rumah. Arvy bertanya pada ibu dan ayahnya.

"Apa kakek membenci kita, Bu?"

Ardana dan Raziva saling pandang satu sama lain. Ardana memalingkan muka sembari menghela napas panjang. Ia tidak menjawab pertanyaannya dan melangkah menaiki tangga sembari mencopot dasinya dengan sebal.

"Seharusnya kita tidak perlu datang ke acara makan keluarga itu. Keluarga apanya? omong kosong!" gumam Ardana yang masih bisa didengar oleh Raziva an Arvy.

"Tidak, tentu saja tidak. Kakek tidak mungkin membenci kita."

"Kalau begitu, apa kakek membenci ayah?"

Ardana yang sampai di pertengahan anak tangga menoleh ke bawah. Lalu mendecih dan melanjutkan naik ke atas. Ia tidak peduli dibenci atau diakui anak sekalipun. Ia menyesal tadi menawarkan diri untuk mengurus perusahaan cabang padahal ia sudah mengurus perusahaannya sendiri. Tidak ada gunanya mencari perhatian di depan kakek tua itu. Di kamar, Ardana membuka jasnya dan melonggarkan kancing kemejanya lalu bersantai di sofa panjang. Tidak lama ia malah tertidur di sana karena kelelahan.

Sedangkan Arvy dan Ziva masih berbincang di bawah.

"Sepertinya Kakek memang benci dengan ayah, Bu." kata Arvy dengan cemberut.

Ibu mengelus kepalanya. "Mau makan es krim?"

"Memangnya aku anak kecil apa? Sebentar lagi aku akan jadi anak SMP tahu."

Raziva tertawa lebar.

"Kenapa ibu tertawa?"

"Maaf maaf hanya saja tinggimu saja masih kalah banyak dari ibu. Itu artinya kau belum dewasa."

"Apa harus begitu?"

Raziva mengangguk.

"Baiklah. Aku akan rajin minum susu agar lebih tinggi dari ibu dan juga dari ayah."

"Mau beli susu sekarang?"

Arvy mengangguk bersemangat.

Seorang pelayan laki laki menghampiri mereka.

"Apa perlu saya antar, Bu?"

"Iya, Pak. Antar kami ke supermarket ya."

Keduanya lalu meluncur ke supermarket terdekat untuk berbelanja.

Ketika di jalan Arvy melihat keluar jendela dan melihat sepanjang jalan trotoar di samping.

"Lihat apa sih?" tanya ibu.

"Jalan untuk pejalan kaki namanya trotoar kan, Bu?"

"Iya. Pintar sekali Arvy."

"Tentu saja." Arvy membanggakan diri.

"Arvy mau jalan di sana?"

Arvy menoleh dengan bersemangat. "Apa boleh?" 

"Tentu saja." kata ibu. "Berhenti di sini saja pak."

"Eh tapi tempatnya ada di seberang jalan, Bu."

"Tidak apa-apa nanti saya bisa menyeberang sendiri."

"Baiklah kalau begitu. Saya berhenti kalau jaraknya sudah agak dekat saja ya bu."

"Iya. Terima kasih ya pak. Nanti saya jemput jam berapa bu?"

"Saya naik bis saja pak."

"Waduh. Jangan bu. Nanti saya dimarahi Tuan Ardana."

"Bilang saja saya yang suruh."

"Iya bu tapi saya tetap dimarahi."

"Nanti biar saya yang meneleponnya sendiri."

"Benar tidak apa apa Bu?"