"Dasar tidak bertanggung jawab!"
Alfa melihat Amy yang mulai kesal. Dan benar saja, Amy mengikuti Arvy yang hendak membuka pintu, namun Amy menutup kembali pintu itu.
"Waktu kita tinggal besok. Tapi kau mau pergi begitu saja? Seperti ini?"
Arvy menghela napas.
"Kau tahu? Aku juga tidak mau bertemu dengannya!" Arvy hampir saja menumpahkan kekesalannya terhadap kakek pada Amy.
"Kasus kita lebih penting, kau tidak lihat? Hidup seorang anak 9 tahun tengah dipertaruhkan!"
Alfa yang melihat keduanya sembari garuk garuk kepala. Ia ragu menghentikan keduanya yang mungkin sebentar lagi akan bertengkar hebat. Namun ia juga ingin kak Arvy tidak pergi begitu saja. Sedangkan besok mereka harus pergi ke luar kota.
"Aku bilang bahas nanti malam saja kan? Kau tidak dengar alternatif ku tadi?"
"Aku sudah punya firasat dari tadi." Amy menyipitkan matanya. "Kau bau alkohol yang sangat menyengat, wajahmu pucat, matamu sayu dan kau terus melamun saat mengobrol tadi. Aku tahu ada yang kau sembunyikan. Apa itu?"
Arvy dan Amy saling pandang. Arvy tentu tidak bisa memberitahunya dan gesture nya memang nampak tidak baik baik saja sejak tadi. Ia sudah mengira Amy pasti akan menyadarinya ada yang tidak beres.
"Maafkan aku, Amy." kata pamungkas akhirnya keluar. "Tapi aku harus menemui seseorang."
"Bukankah tadi kau tidak mau menemuinya?"
"Itu…." Arvy menghela napas. Amy masih mencegah pintunya terbuka.
"Kenapa?"
"Aku harus menemuinya meskipun tidak suka. Karena ini bukan sesuatu yang bisa aku putuskan. Aku harus pergi."
Amy melihat wajah Arvy sangat melas dan memohon. Amy juga tahu ia tidak sedang berbohong. Mereka berdua diam dan hening sejenak. Hingga akhirnya Amy menarik tangannya untuk mencekal pintu itu.
Alfa dan Arvy memahami keputusannya.
"Datanglah ke apartemen kami nanti malam," kata Amy kemudian, tanpa menatap Arvy. Ia lalu membuka pintunya. "Ayo, Al. Kita pulang."
Dengan wajah merengut, Amy meneriaki Alfa agar pergi dari apartemen Arvy.
Alfa lalu berlari mengikuti Amy keluar.
"Dia memang begitu sifatnya. Tolong dimaklumi," kata Alfa pada Arvy tanpa bersuara. Ia lalu melewatinya yang berdiri di depan pintu lalu akhirnya keluar.
"Kami pergi dulu, Kak. Sampai ketemu nanti malam." Alfa melambai lalu meninggalkan apartemen Arvy.
Arvy hanya bisa menunduk merasa bersalah. Ia lalu mengecek ponselnya dan melihat isi pesan teks dari direktur Rossan yang menyuruh untuk segera datang ke tempat yang ia kirimkan.
"Dasar kakek tua ini," umpatnya. "Di benar benar tidak tahu waktu yang tepat, aiishhh."
***
Arvy masuk memarkirkan mobilnya di parkiran lalu masuk ke restoran super mewah itu. Ia berdiri di meja resepsionis.
"Sudah memesan tempat Tuan?" tanya pegawai perempuan itu ramah.
"Arvy…Satria." entah mengapa ia agak ragu menyebutkan nama terakhirnya.
"Ah Tuan Satria ya. Silahkan." pegawai itu berjalan di depan Arvy untuk menunjukkan mejanya.
Mejanya ada di lantai dua dan harus naik tangga. Sampai di sebuah ruangan yang tenang, ia masuk dan duduk di sana. Ada bermacam macam hidangan hidangan mahal buatan chef ternama di sana. Hidangan yang penuh seni dan bernilai artistik. Arvy duduk di sana. Ia bertanya pada pegawai.
"Direktur Rossan?"
"Beliau akan datang sebentar lagi, Tuan."
Setelah itu pegawai pergi.
Rataka menatap semua hidangan mahal itu lalu menatap sekeliling.
"Pak Tua itu… dia menghambur hamburkan uang untuk tempat sepi ini dan makanan yang tidak akan aku makan," kata Arvy sembari menatap tajam seekor ikan yang matanya melotot ke arahnya.
"Kenapa tidak kau tidak mau memakannya?" suara direktur tiba tiba terdengar. Ia masuk ke dalam dan duduk di hadapan Arvy. "Kau takut aku meracunimu?"
"Aku tidak suka ikan, sebaiknya kau menaruh racunnya di makanan yang lain."
Direktur tersenyum miris. "Seperti biasa, kau selalu seperti ini. Tidak percaya padaku, seolah aku ini orang lain yang memanfaatkanmu."
"Apa aku salah?"
"Aku ini keluargamu, aku kakekmu."
"Aku tidak ingat kau menganggapku sebagai cucumu."
Kakek menghela napas. Arvy selalu saja punya kata kata pedas untuk mengungguli ucapannya.
"Tidak usah basa basi. Apa yang kakek inginkan dariku?"
"Makanlah dulu.kau pasti belum makan kan?"
Arvy ingat makanan yang diberikan Alfa untuknya tadi. Baunya rendang yang sangat harum dan juga ada tumis kacang dan sayur, juga omelette.
"Aku menyimpan makanan di kulkas. Aku kan memakannya nanti."
"Itu pasti junk food. Itu tidak seh…"
"Bukan. Itu makanan rumahan."
"Eh?" kakeknya heran. "Pokoknya makanlah sedikit. Steak di sini sangat enak."
Kakek mengiris daging di piringnya dengan rapi lalu menukarnya dengan punya Alfa yang belum diiris.
"Ini. Makanlah."
Arvy merasa tidak enak. "Kenapa kakek memotongnya untukku?"
"Kau curiga aku akan menaruh racun di makanan lain kan?"
Arvy berdehem pelan sembari memalingkan muka. Ia akhirnya makan seiris saja. Kakek tersenyum melihatnya.
"Apa kau merasa mual?"
"Ha?"
"Berarti makananya tidak ada racunnya,"kakek tertawa pelan.
"Apa sih." Arvy risih kakek terus membahas makanan beracun dari tadi.
"Kau marah karena dokumen palsu yang aku berikan?' tanya kakek tiba tiba.
Arvy menatapnya tajam.
"Kakek pikir aku bodoh?"
"Maafkan kakek, Vy. Kakek punya alasan melakukannya."
"Kau sudah menemukannya atau…" Arvy ragu mengatakannya. "Atau dia benar benar sudah meninggal?"
"Seperti dugaan, kau pasti mengira dua kemungkinan itu."
Arvy menatapnya dengan ekspresi yang seolah menanyakan kebenarannya.
"Aku tidak bisa memberitahumu sekarang."
"Apa?!"
"Itu adalah keinginan Gita."
Degh!
Arvy tertegun mendengarnya.
"Gita….Gita…" matanya berkaca kaca. "Gita masih hidup?"
"Iya. Gadis itu masih hidup. Dia hidup dengan baik, dengan sangat baik."
"Kau tidak bohong kan Kek? Tidak bohong kan?" Arvy menahan air matanya.
"Aku tidak mungkin membohongimu. Kau juga cucuku, Vy. Aku juga berharap kau menemui gadis yang kau cintai."
"Kalau dia masih hidup, apa alasan kakek menyembunyikannya?"
"Bukan aku, tapi gadis itu yang memintanya. Karena itulah, demi gadis itu, aku memalsukan surat keterangan medisnya agar kau berhenti mencari. Jika nanti waktunya sudah tiba, jika nanti gadis itu sudah siap, aku akan memberitahumu. Namun sepertinya aku salah, aku tidak bisa membohongi cucuku yang cerdas ini."
"Gita sendiri yang meminta?"
"Karena itu…berhentilah mencarinya."
Arvy melihat kakeknya yang nampak khawatir padanya.
"Berhentilah mencarinya demi kebaikan gadis itu sendiri. Hargailah pilihannya.dia pasti akan datang kalau dia sudah siap. Dia pasti memiliki masalah yang perlu dia selesaikan sendiri. Kau hanya perlu menunggunya. Fakta bahwa dia baik baik saja, bukanlah sudah cukup bagimu?"
Arvy menunduk, terdiam.
"Sekarang ijinkan aku yang bertanya." kakek meletakkan kedua siku tangan di meja dan menyatukan telapak tangannya. Air mukanya serius.
Arvy menyadari perubahan sikap kakeknya.
"Kemarin kau memukul salah satu teman..ah maksudku salah satu kenalan kakek. Apa kau…." kakek menghela napas. "…sudah tahu semuanya?"