Chereads / The Gladiol / Chapter 134 - Majikan

Chapter 134 - Majikan

Rataka berdiri di depan sebuah pintu sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana. Ia terus berdiam dan menatap pintu itu.

Setelah beberapa menit, ia akhirnya mengeluarkan ponsel dari coatnya, sembari terus menatap pintu itu. Dihubunginya seseorang.

"Akhir akhir ini dia menunjukkan emosi yang netral," kata seseorang dari seberang telepon. "Jangan memancingnya dengan hal hal yang dia takuti."

"Apa itu aku?"

"Iya. Aku harap kau tidak memaksanya."

"Aku sudah cukup menekannya beberapa tahun yang lalu."

"Ini gara gara kau. Perlakukan dia dengan baik."

"Aku tidak memperlakukannya dengan buruk saat itu. Aku hanya tidak sengaja melihatnya bersama keponakanmu. Sepertinya dia bisa saja mati saat aku tidak di sana.

Orang yang diteleponnya ternyata adalah Holan, kawannya.

"Aku masih tidak percaya kau sudah mengenal Arvy sejak saat itu."

"Yah begitulah. Aku sendiri tidak akan menyangka. Arvy masih mencurigaiku sampai sekarang, aku jadi penasaran seperti apa wajahnya jika dia tahu aku lah yang menyelamatkannya waktu itu."

"Setelah gagal mendapatkan Dio sebagai muridmu, kini kau mengincar keponakanku?"

"Tidak tidak tidak. Arvy berbeda dengan Dio. Mereka memiliki nuansa yang berbeda, aura keduanya sangat sangat berbeda. Dio tidak terlahir sebagai striker, tapi keponakanmu sungguh luar biasa. Bukankah kau sudah setuju kalau kita harus mendapatkannya?"

"Apa? Siapa yang mendapatkan siapa? Jadi kau ini merencanakan apa sebenarnya?"

"Tentang anak ini, aku tidak akan minta izin siapapun tapi…" Rataka menatap pintu putih di hadapannya. "Aku akan menyiksanya sekali lagi," matanya menajam, ada kilatan merah di sana.

Klik.

Taka menutup panggilannya.

"Taka! Taka!" Holan mendecakkan lidah. "Apa yang sebenarnya orang tua ini rencanakan?"

***

Dari jauh Rey tengah berdiri dari balik pohon besar nan tinggi. Ia mengenakan jaket bertudung. Ingatan tentang Arvy masih terlihat jelas, separuh wajahnya rusak karena peristiwa saat itu. Dimana saat ia sempat terjatuh dari gedung lewat jendela apartemennya gara gara Arvy. Rey menatapnya penuh dendam.

"Sialan kau Arvy! Kau membuat wajahku jadi begini dan kau enak-enakkan pacaran dengan gadis yang kuincar lebih dulu. Sialan! Sialan! Sialan!" gumamnya sembari meninju batang pohon kayu berkali-kali.

Ia kemudian naik ke atas pohon dengan cepat seolah melayang lalu mengawasi Arvy dan Gita dari atas.

"Aku akan mengambil gadis itu dan menghabisimu si br*ngsek itu!"

Rey bersiap meloncat ke bawah namun tiba-tiba seseorang yang mangkring di salah satu cabang pohon menarik bajunya. Rey terkejut setengah mati. Ia tak menduga seseorang akan berada di sana. (cek bab 44) orang itu adalah Rataka, penyebab mimpi buruk dalam hidupnya. Rey sendiri tidak tahu mengapa fyber fyber dalam tubuhnya yang notabenenya jiwa jiwa istimewa yang ia serap masih ketakutan padanya. Ia sendiri masih tidak mengerti seberapa hebat kekuatan Rataka, hingga ia memutuskan bersembunyi di apartemen musuhnya sendiri saat itu, di tempat Arvy. Karena ia tidak mungkin pulang.

"Pergi kau! Pergi! Pergi!"

Rey membuka matanya dengan tergesa, ekspresinya panik, ketakutan seolah dikejar seseorang, diburu dan hendak dibunuh oleh seseorang. Napasnya tersengal dan tidak beraturan. Ia masih tidur di ranjang dingin itu sembari tangannya ia pukul pukulkan ke udara. I berkeringat sangat banyak hingga rambutnya basah.

"Aaarggggh!" teriaknya.

Ia terduduk dan menatap sekelilingnya. Semuanya serba putih, dinding putih, gorden putih, ranjang dan selimut putih, bahkan meja bertaplak putih polos, begitu juga baju yang ia kenakan, putih bersih seperti kain mayat.

Penglihatan matanya masih belum terlalu jelas, namun ia mendapati seseorang berpakaian cokelat mencolok berdiri tidak jauh darinya, menatapnya. Ia tak bisa mengenali wajahnya yang masih blur. Ia menyipitkan mata sembari mengatur napas.

"Di mana aku? Siapa itu yang berdiri di sana? Kenapa aku di sini?" gumamnya sembari memegang kepalanya yang sakit dan nyut nyutan seolah ditimpa tengah ribuan batu.

"Akhhh, kepalaku…"

Orang asing yang berpakaian serba cokelat itu mendekat, Rey menyipitkan matanya dan menajamkan penglihatannya. Memperhatikan baik baik siapa orang mencolok berpakaian cokelat di tengah tengah ruangan putih ini.

Perlahan lahan pria itu mendekat, mendekat dan berdiri tepat di hadapan Rey.

"Kau bukan manusia tapi bermimpi buruk?" Taka tersenyum sinis.

Penglihatan Rey perlahan menjadi jelas, suara Taka perlahan keras dan disitulah dia terkejut seolah akan mati. Ia ketakutan, bertemu dengannya adalah mimpi buruk,memang benar bahwa rumah Arvy adalah yang paling aman, orang ini juga tidak akan mengetahuinya jika dirinya bersembunyi di sana, namun semuanya hancur sejak ada Valen mengacau di basemen. Bibir Rey gemetaran begitu juga dengan tubuhnya.

"Kudengar kau bersembunyi di apartemen orang yang kaus erang waktu itu. Aa kau tidak punya harga diri?"

"Pergi kau! Pergi!pergi!" Rey melempar semua barang barang di dekatnya, bantal, selimut bahkan Vas bunga hingga bersuara prang dan pecah berserakan di lantai. Rataka menghindarinya dengan muda.

"Sepertinya kau belum stabil. Padahal aku mau bicara serius."

"Kenapa? Kenapa kau ada di sini? Kenapa?!!" teriak Rey ketakutan. Wajahnya pucat.

"Tenanglah, jangan mengamuk terus!" Taka tak habis pikir.

"Itu sudah cerita lama, aku tidak datang untuk membunuhmu. Lagipula sejak dulu aku tidak ada niatan untuk membunuhmu."

"Kau tahu, kau itu manusia fyber, harusnya kau tidak ketakutan seperti manusia lemah."

Rey masih membisu dan menutupi wajahnya.

"Aku tahu sepatu wajahmu rusak. Tapi itu bukan salah Arvy, kau yang menyerangnya, kau berhutang maaf dengannya, setelah dia mengurusmu di apartemennya. Apa kau tidak tahu balas budi? Ah ya, kau kan bukan manusia."

"Ah sial! Aku seperti bicara sama orang gila."

"Kenapa kau datang kemari?" kata Rey tiba tiba.

Taka etrkejut dan menatapnya lama.

"Kau sudah kembali normal?"

Taka mengangkat sebuah dokumen.

"Kau…sudah berapa lama berada di tubuh anak itu?"

"Alasan kenapa orang tuamu tidak mencarimu adalah karena sebenarnya Rey yang sesungguhnya telah mati. Sama seperti Marina saat itu."

Taka melempar dokumen itu ke lantai, ia melangkah mendekat. Rey ketakutan ia bergerak mundur namun ia sadar dirinya masih di atas ranjang sempit dan tak bisa kemana mana.

"Jangan mendekat! Jangan mendekat!"

"Aishhh kapan kau akan sadar sialan!"

Buaghh

Taka berteriak lalu dengan kecepatan kilat ia mendekatinya lalu meninju wajahnya.

Rey memelototinya.

"Beraninya kau memelototiku? Kau mau mati lagi dua kali?!"

Rataka memegang meraih leher Rey dan mencekiknya.

"Katakan padaku, makhluk rendahan!" Rataka menyudutkannya, ia berkata pelan namun penuh penekanan "Apa kekuatanmu sebenarnya? Berhentilah jadi orang gila dan jadilah orangku! Huh!"

"Aarrkk." Rey memegang tangan Taka berusaha melepaskan tangannya dari lehernya. Namun cekikan Rataka malah semakin kencang.

"Kau…harusnya mati di tanganku," Dengan sekuat tenaga Taka mencekiknya.

"Arkk…aku…ak…akan memberitahu….mu…arkkk"

Tiba tiba Rey buka suara. Sedetik kemudian Taka melepaskannya.

"Uhuk uhuk uhuk," Rey memegang lehernya yang merah.

Taka terus menatapnya tajam dan menunggunya sadar. Ada kilatan merah di matanya. Ia memang hampir tidak bisa menahan amarahnya. Rey masih batuk batuk sembari memegang lehernya kesakitan. Dirinya seolah hampir mati, wajahnya pucat seperti mayat, ia seperti pengguna narkoba yang kecanduan dan penyakitan. Setelah agak lama Rey duduk dengan tegap, ia menarik napas dan barulah ia bisa menatap Taka dengan benar.

"Tidak usah sok pura pura takut denganku. Kau takut kuburu dan kubunuh? Cih yang benar saja."