Chereads / The Gladiol / Chapter 127 - Mark

Chapter 127 - Mark

Amy mengukurnya dengan tangan. Ia hanya sampai di ulu hatinya.

"Mark, kenapa kau tinggi sekali?"

"Aku 189 senti."

"Ha? 190?!"

"Bukan bukan, 189."

"Sama saja."

"Tentu saja beda. 189 tidak sama dengan 190."

"Ah sial! Berapapun itu kau tetap terlalu tinggi. Berapa usiamu?"

Mark berjongkok sedikit dan berbisik di telinganya. "Aku berada di akhir 20-an."

"Benarkah? Seumuran dengan Yohan."

"Yohan?"

"Temanku, dia seorang dokter."

"Sepertinya aku juga perlu berteman dengannya," usilnya.

Keduanya tertawa.

Arvy melihatnya dari atas. Ia tersenyum sebal sembari melihat tawa Amy yang lebar.

"Kenapa dia sesenang itu?" batinnya heran. "Ketika orang ekstrover bertemu dengan orang ekstrover. Ckckck." ia menggeleng, lalu turun menghampiri mereka berdua.

"Sepertinya seru sekali." Arvy bergabung. Mereka bertiga duduk di kursi stool atau kursi bar. Amy di tengah.

Keduanya hanya tersenyum. Arvy hanya minum wine dan mendengarkan mereka berdua yang asyik.

"Mark, kalau aku membutuhkan jasa pengawal, bolehkah aku mengambilmu?"

"Tentu saja. Itu terdengar menyenangkan."

"Iya kan?"

"Kau bilang tadi kau punya teman seumuran denganku, benarkah?"

"Tentu saja. Yohan orang yang baik, dia sangat disiplin dan hampir tidak bisa bercanda."

"seperti Arvy?"

Amy tertawa, diikuti mark.

"Sepertinya kau punya banyak teman laki laki," tebak Mark.

"Emmm entahlah," Amy berpikir. Lalu menghitung dengan jari jarinya.

"Dio, Alfa, Arvy, Yohan..emm."

"Sepertinya banyak laki laki di sekitarmu."

"Ah iya ada lagi."

"Siapa?"

"Ayahku dan kakekku."

"Ada ada saja." Mark tersenyum melihatnya.

"Kalau kau? Apa kau punya banyak teman perempuan? Kau pasti punya pacar."

"Ah tidak."

"Ayo mengaku saja. Apa dia cantik?"

"Aku punya satu, tapi bukan pacar."

"Eh? Siapa? Jangan bilang kau…"

"Isteriku." jawab Mark cepat.

Arvy hampir memuntahkan kembali minumannya.

"Isteri?" Amy bersemangat. "Waaah keren!"

"Begitukah?"

"Tentu saja."

Namun air muka ceria Mark tiba tiba hilang, wajahnya tertekuk dan diam. Arvy menyadari sesuatu.

"Jadi…apa kau sudah punya anak?" tanya Amy dengan polosnya.

Setelah melihat mata Amy yang berbinar, Mark jadi mengingat putri kecilnya yang manis. Ia memasang wajah sedih,

Amy menyadarinya, ia merasa salah bicara.

"Maaf, Mark. Apa aku bertanya terlalu banyak?"

"Tidak bukan begitu. Aku punya putri kecil yang manis, dia sering tersenyum lebar dan ceria sepertimu."

"Benarkah?"

"Tentu saja."

"Aku jadi ingin bertemu dengannya."

Tapi sekarang dia…"

Zraaaaashhh….

Tiba tiba hujan turun disertai angin kencang dan mendung hitam tebal. Orang orang yang berada di dalam kasak kusuk dan yang berada luar kacau. Mereka yang berada di dekat bar terpaksa masuk ke bangunan terdekat dengan mereka. Ada banyak pelanggan yang datang ke bar sekarang.

"Hujan," kata Amy, sembari melihat keluar. "Padahal aku harus pulang."

"Aku ke belakang dulu, ayo Mark," ajak Arvy.

Mereka berdua melangkah ke belakang dan mengambil banyak gelas dan botol untuk para pelanggan yang datang, pelayan yang lain juga sibuk mengambil serbet dan tisu.

"Kau baik baik saja?" tanya Arvy.

Mark menoleh. Mereka bertatapan sejenak.

"Bos," panggil Mark. "Apa kau peduli padaku sekarang?" Mark tersenyum nakal sembari menaikkan alisnya lalu menyenggol bahu Arvy dengan bahunya.

"Ha?!" Arvy Tidak percaya melihat reaksinya. "Astaga." ia keluar dan meninggalkan Mark sendirian di ruang penyimpanan alkohol.

Setelah Arvy keluar, Mark mengambil botol botol itu dengan ekspresi yang berbeda, murung dan sedih.

Jddaaarr!

Gemuruh keras dan kilat bersahutan, awan tebal seolah mengelilingi seluruh kota, angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan material material di jalanan. Udara menjadi sangat dingin menusuk kulit. Tidak ada satupun orang yang berada di luar, semuanya berteduh mencari tempat yang aman dan hangat.

Amy melihat Arvy dan Mark, juga pelayan yang lain sibuk melayani pengunjung. Ia duduk di sudut yang berdinding kaca, ia bisa melihat keadaan luar secara langsung. Angin dan kilat sangat menakutkan. Beberapa kali Amy terkejut karena mendengar suara gemuruh.

Drrffrtt drrfft

Ponselnya berdering, itu adalah Alfa. Ia mengangkatnya.

"Kau ada di mana? Kau baik baik saja?"

"Iya. Aku baik baik saja."

"Dimana kau sekarang?" panik Alfa.

"Jangan khawatir, kau pikir aku anak kecil?"

"Aku serius! Kau Tidak lihat cuacanya sekarang, benar benar buruk. Aku melihat di berita, di luar kondisinya sangat ekstrem. Kau ada dimana sekarang?"

"Iya iya aku mengerti. Aku ada di bar nya Arvy…..fuuuhhh…" Amy menggigil, mengusap usap tangannya dan pahanya yang kedinginan. Ia memakai rok pendek dan baju yang tipis.

"Kau kedinginan?"

"Tidak, aku ada di dalam ruangan jadi Tidak dingin kok."

"Minta selimut yang hangat pada Kak Arvy."

"Todak, dia sangat sibuk, kau tahu, banyak orang yang datang ke bar. Jarang sekali bar nya ramai seperti ini. Sudahlah aku tutup dulu."

"Eh tunggu tunggu."

"Ada apa lagi?"

"Kau ada urusan apa datang ke sana? Aku ragu kalau kau cuma ingin minum sendirian."

"Kalau memang iya kenapa?"

"Apa? Jangan bohong kau! Aku tahu kalau kau bohong. Cepat beritahu ada ap…"

"Nanti kuceritakan. Saat ini…"

Kluk!

Tiba tiba tidak ada sinyal, bersamaan dengan lampu lampu yang mati. Bahkan aula tengah dan lobi depan sangat gelap. Begitu juga Amy yang terkejut. Pandangannya masih jelas hanya saja keadaan agak gelap. Orang orang ngobrol dengan temannya sedang dia duduk sendirian.

Arvy tiba tiba berdiri di tengah tengah pengunjungnya yang tengah menikmati wine dan memberitahukan bahwa terjadi pemadaman untuk beberapa jam ke depan. Ia mendapat informasi dari pusat pelayanan masyarakat. Karena adanya cuaca yang buruk mereka khawatir terjadi konslet dan membahayakan banyak orang. Karena rupanya sudah ada kasus rumah terbakar di daerah selatan akibat cuaca yang buruk.

"Astaga? Apa separah itu?' bisik bisik orang di sana.

"Sampai ada yang rumahnya terbakar."

"Cuacanya sangat buruk hari ini."

"Ah sial, harusnya aku bersenang senang hari ini."

Keluhan keluhan itu terdengar begitu saja di telinga Amy. Ia mendengar dengan jelas di kegelapan, padahal Tidak tahu wajah mereka seperti apa. Ia masih duduk sendirian dan menggigil sembari mengusap usap telapak tangannya lalu ditempelkan ke wajahnya. Ia menghela napas sembari memandangi ponselnya, sayang sekali ia Tidak bisa menghubungi Alfa yang khawatir padanya.

Mark masih berada di salah satu meja bersama pengunjung, ia mencari Arvy namun tidak ada, hingga ia melihat Arvy muncul drai salah satu belokan di koridor dengan membawa selimut dan segelas minuman cokelat hangat. Ia berjalan menuju meja Amy. Mark memandanginya.

"Alfa yang menghubungi tadi?" tanya Arvy.

Amy menoleh.

"Iya, dia bertanya aku dimana."

"Dia pasti khawatir, ini pakai." Arvy meletakkan gelas di depan Amy dan membuka selimut lalu dipakaikan untuk menutupi kakinya.

"Oh?"