Chereads / The Gladiol / Chapter 120 - Polisi Wanita

Chapter 120 - Polisi Wanita

"Permisi."

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Di mana ruangan ay... maksudku Letnan Holan Satria?"

Petugas itu melihat Amy yang terlihat masih sangat muda.

"Apa sudah membuat janji sebelumnya?"

"Belum."

"Boleh saya tahu nama adik siapa?"

"Nam saya Amy."

"Kalau belum membuat janji…"

"Kalau begitu telpon saja orang tua itu! Katakan kalau Amy datang mencarinya!" teriaknya.

Petugas itu terkejut, dia tidak habis pikir ada yang berani menyebut letnan dengan panggilan 'orang tua'. tapi petugas itu berusaha menasihatinya.

"Begini ya, Dik…"

"Ah sudahlah, aku akan mencari ruangannya sendiri!"

Amy pergi dari sana.

"Dik! Tunggu dulu Dik!" teriak petugas itu namun tidak diindahkan oleh Amy. "Anak jaman sekarang memang tidak belajar sopan santun."

Petugas itu lalu menghubungi Letnan.

"Maaf, Pak. Tadi ada gadis muda yang mencari anda dengan marah marah. Saya berusaha menahannya tapi…"

"Siapa namanya?"

"Katanya namanya Amy."

"APA?!"

"Apa ada sesuatu yang serius, Pak?"

"Dia itu putri saya!"

"APA?!"

"Kenapa kau malah meneriakiku? Dimana dia sekarang?"

"M…maafkan saya pak. Saya tidak tahu kalau itu putri Bapak."

"Sudahlah, tidak apa apa. Dia pasti mengomelimu tadi, jadi di mana dia sekarang?"

"Dia menuju ruanganmu."

Amy berhenti di depan lift dan menunggu lift terbuka.

Ting!

Pintu terbuka dan Amy masuk. Ada Asya yang berdiri di depan tombol lift di sana. Ia menekan tombol 9.

"Kau mau ke lantai berapa, Dik?" tanya Asya.

Amy diam.

"Dik?"

"Apa anda tahu di mana kantor Letnan Holan Satria?"

"Kau mau ke sana?"

Amy mengangguk.

"Berarti tujuan kita sama. Aku juga ada urusan dengannya."

Di dalam lift Amy diam dan tenang. Sementara Asya terus penasaran pada gadis muda di sampingnya ini.

"Dik," panggil Asya.

Amy menoleh.

"Kau terlihat sangat muda. Kau masih sekolah?"

"Aku sudah lulus tahun kemarin." kata Amy datar dan dingin.

"Ah pantas saja kau terlihat muda. Ada urusan apa dengan Letnan?"

"Apa saya harus memberitahukannya pada anda?"

"Astaga dingin sekali anak ini," batinnya.

"Ah maaf maaf. Aku hanya penasaran." Asya berusaha ramah. "Begini dik, kalau kau ingin bertemu dengan orang yang jabatannya lebih tinggi kau harus membuat janji lebih dulu. Apa kau sud…"

Amy menghela napas karena sedari tadi ia ditanya hal itu. "Apa aku harus membuat janji untuk bertemu ayahku?!" suaranya meninggi.

"Yah tetap saja kau harus memb…eh tunggu, Apa? Ayah?!"

Ting!

Pintu lift terbuka, Amy segera keluar sementara Asya masih mematung.

"Apa? Jadi itu putri Letnan? Pantas saja sama dinginnya dengan Letnan." batinnya.

"Apa yang anda lakukan? Tidak keluar?" tanya Amy.

Asya melihat pintu lift akan tertutup lagi, namun ia berhasil mengganjalnya dengan tangan dan keluar.

"Kau ingin barengan denganku?"

"Tentu saja tidak. Anda hanya perlu menunjukkan di mana ruangannya. Aku yang akan berbicara lebih dulu dengan ayahku yang sialan itu!"

"Si..sialan katamu?" Asya menelan ludah.

Melihat sifatnya, Asya yakin kalau dia memang putri atasannya. Sesampainya di depan ruangan Letnan, Amy mengangguk berterima kasih, namun dengan nada dingin dan setengah hati.

"Terima kasih, Bu Polwan. Sudah menunjukkannya. Selamat bertugas."

Brak!

Amy membuka pintunya kemudian masuk ke dalam dan menutup pintu dengan kasar.

Asya tersentak kaget lalu menggeleng.

"Wah…benar benar….karakter yang menurun 100 persen."

Setelah itu Asya melenggang pergi dari sana.

"AMY!" Holan berdiri dari kursinya dan melangkah mendekat ke sana.

"Kenapa ayah panik begitu?"

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Ayah khawatir aku akan mengacau? Ayah khawatir kalau aku berbuat semakin seperti saat aku pertama kali datang menemuimu? Di ruangan ini?"

Mendengar Amy berbicara begitu dengan wajah marah, mengingatkan Holan pada kejadian saat di aman Amy kecil mendatanginya untuk pertama kali. Pasca pembunuhan Marina, saat ada ratusan fyber dalam tubuh Amy, hingga anak gadis yang polos tidak tahu apa apa itu hampir mati oleh kekuatan indigonya sendiri.

"Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?" Ayah agak kesal mendengarnya, namun ia tidak mau membentak putrinya.

"Kenapa ayah selalu memutuskan semuanya sendirian? Kenapa ayah tidak pernah memberitahuku? Kenapa ayah selalu berbohong tentang Dio? Kenapa tidak mendiskusikannya dulu denganku? Kenapa?!" teriaknya. Ia menahan air di pelupuk matanya agar tidak jatuh, namun itu gagal, ia menangis di hadapan ayahnya.

Ayah lalu berjalan menuju jendela dan menutup tirainya dan mengunci pintunya agar tidak ada yang emndengar percakapn ekduanya.

"Tenang dulu, tenangkan dulu dirimu, Amy." Ayah memegang bahu kecil anak gadisnya yang naik turun.

Namun Amy melepaskannya dengan kasar.

"Dio kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dio, Yah?! apa yang ayah sembunyikan dariku?!"

"Bukankah Dio sudah memberitahumu? Dia ingin yang mendapatkan pengalaman baru, ia sendiri yang ingin keluar dari zona nyamannya. Usianya 22 tahun, dia sadar apa yang diambilnya."

"Jadi maksud ayah karena aku baru 20 tahun jadi aku tidak boleh tahu apa apa?"

"Bukan begitu maksud ayah, ayah hanya…" ayah tersentak begitu melihat putrinya menunduk dan menangis.

"Ayah tidak akan memberitahumu dimana dia Dio bekerja sekarang."

"Kenapa?"

"Aku tahu kau akan mendatanginya ke sana? Kau boleh marah dengan ayah, tapi jangan marah kepada Dio." Ayah mendekat dan memeluk putrinya yang sesenggukan. "Ayah minta maaf."

"Maaf aku sudah mengungkit hal itu lagi," Amy sadar sudah mengungkit kejadian 11 tahun yang lalu. "Aku tidak tahu kenapa tiba tiba mengatakannya."

"Amy, tolong katakan pada ayah kalau fyber fyber itu menyakitimu. Jangan menahannya seorang diri karena itu akan mempersulit dirimu sendiri."

"Maaf ayah. Aku tidak akan begitu lagi."

Amy sudah mulai tenang.

"Apa kau mau pergi keluar?"

Amy mengangguk.

Keduanya pergi ke kantin dan menikmati jus.

"Ayah benar benar tidak akan memberitahuku di mana Dio bekerja?"

Holan hanya menatapnya. Amy pun menunduk dan sudah mengetahui apa jawabannya.

"Oh? Kamu gadis yang tadi?"

"Bu Polwan?"

"Wah kita bertemu lagi, ya."

Asya yang membawa secangkir kopi tidak sengaja lewat dan melihat Letnan minum jus dengan anak perempuan di kantin.

"Bolehkah aku bergabung?" tanya Asya.

"Kenapa kau selalu bergabung saat aku sedang bersama keluargaku?" Letnan heran, kemarin saat bersama Arvy dan Alfa, sekarang saat bersama Amy.

"Aku juga tidak tahu, Pak." Asya tertawa kecil.

Mereka bertiga menikmati minuman mereka.

"Tadi katanya ada yang ingin anda bicarakan dengan ayahku," kata Amy tiba tiba.

Mendadak Asya tersedak.

"Uhuk uhuk."

"Kau baik baik saja?" tanya Letnan.

"Ah iya aku tidak apa apa."

"Jadi apa itu maksudnya? Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Tidak… itu hanya tentang kasus buronan."

"Buronan? Jangan jangan…." Amy menebak. "Kalian belum menangkap pelakunya?!"

"Sssst!" Asya menaruh jari telunjuknya di bibir. "Kenapa kau bicara keras sekali?"

"Maaf aku keceplosan."

"Ya sudah nanti bicarakan di kantorku saja," sahut ayah.

"Kenapa? Bicara saja di sini."

Holan dan Asya melihatnya dengan tatapan mencurigakan.

"Apa? Kenapa melihatku seperti itu?"

"Kenapa kau aneh sekali?" Holan juga penasaran dengan anaknya yang bersikap berlebihan.

"Anak kecil, ini kasus yang penting dan bukan pembicaraan anak ingusan sepertimu," kata Asya.

"Anak ingusan? Siapa yang masih anak kecil?"

"Kau bilang kau lulus sekolah tahun kemarin kan?"

Amy mengangguk.

"Kenapa tidak mencoba jadi polisi?"

"EH?!" Holan tidak sadar berteriak.

Asya dan Amy melihatnya bersamaan dengan terkejut.

"Ada apa?!" Amy kaget.

"Tidak boleh. Amy tidak boleh jadi polisi! Dasar Asya! Jangan bicara ngawur kau!"

"Aku hanya bercanda, Pak." Asya mengengeh.

"Hemmm…sepertinya tidak buruk juga jadi polwan," kata Amy sembari tersenyum.

Ayah berteriak kaget.

"EEEEHHH!"