Chereads / The Gladiol / Chapter 110 - Penerimaan

Chapter 110 - Penerimaan

"Tapi aku membutuhkannya agar bisa mengetahui kemampuannya. Bagaimana jika dia karyawan baru? Saya tidak mau dijaga oleh yang masih baru."

Pegawai itu tidak ada pilihan lain selain memeriksanya karena menyangkut kepercayaan customer. Namun setelah dicek, pegawai itu malah terkejut.

"Loh? Kok di sini tertulis pengalaman bekerja 20 tahun ya?"

"Apa?"

"Maaf sepertinya sistem input kami ada kesalahan," kata pegawai itu menyesal. "Kenapa bisa 20 tahun di sini? Padahal usianya kan baru 25."

Arvy yang mendengarnya juga terkejut, ia terdiam memikirkannya.

Setelah selesai memesan, ia keluar dari gedung dan kembali ke mobil. Di dalam mobil ia mengunduh aplikasi bodyguard lalu memeriksa pesanannya sekaligus informasi bodyguardnya, Rataka.

Ia serius membacanya, namun informasi yang tertera hanya info yang sama dengan yang diucapkan pegawai perempuan tadi. Arvy menghela napas dan menyandarkan kepalanya di kursi mobil.

***

"Apa yang terjadi sebelum aku datang ke kafe kemarin?" tanya Alfa pada Taka, mereka berdua bertemu di lobi lantai bawah apartemen sembari menikmati kopi.

"Yah begitulah, aku sendiri tidak bisa memprediksinya." kata Taka sembari menyeruput minumannya.

"Aku sangat panik saat di kamar mandi. Sejak kapan kau kenal Kak Arvy?"

"Aku tidak mengenalnya."

"Eh? Terus kenapa kalian ngobrol lama sekali?"

"Makanya aku sendiri juga heran. Dia terus mengatakan bahwa aku orang yang menarik."

"Kak Arvy memang punya mata yang jeli, di juga terlihat cerdas. Aku heran kenapa dia tidak mencoba profesi yang lebih menantang. Kupikir dia tipe orang yang malas, dia pernah bilang hanya menjaga bar seharian dan tidak melakukan apapun. Bukankah itu sia sia? Dia tidak menggunakan energinya jika dia merasa itu tidak penting baginya."

"Kurang lebih begitu. Dia tipe yang agak berbahaya. Kemarin, aku hanya tidak sengaja hampir menabraknya saat mengantre, kami bicara sebentar dan berakhir mengobrol di satu meja. Jujur saja aku juga penasaran dia orang seperti apa?"

"Jika dia sudah membuka mulutnya, dia benar benar akan membuka mulutnya, bicaranya pedas, jarang senyum, kadang sarkas, banyak yang memanggilnya es batu. Tapi dia diam diam perhatian dan baik, kalau lebih mudahnya…" Alfa berpikir sejenak. "Dia itu kebalikan dari Amy yang sulit menyembunyikan sesuatu dan terang terangan."

"Begitukah?"

"Itu sih menurutku."

"Oh ya, kau tahu apa itu cosplay?"

Alfa yang tengah meminum kopinya sampai tersedak. Taka heran melihat reaksinya.

"Ada apa?" tanya Taka. "Apa itu komunitas mainan atau apa?"

"Kau tidak tahu?"

Taka menggeleng.

"Banyak juga sih yang tidak tahu. Maaf, Kak, aku bukannya mengolokmu." Alfa mengengeh.

"Kalau begitu jelaskan padaku apa itu?"

"Cosplay itu semacam orang yang menyukai karakter karakter imajinasi seperti anime, kartun, dan mencoba untuk menirunya di dunia nyata, entah dalam segi fashion seperti baju dan aksesori dan juga make up."

"Ooo." Taka manggut manggut.

'Kau tahu Naruto?"

"Kartun terkenal dari Jepang itu?"

"Itu bukan kartun! Kau akan dihabisi kalau menyebutnya kartu, itu anime."

"Ah begitu ya, terus?"

"Misalnya aku menyukai Naruto, maka aku akan mencoba membuat pakaian sama sepertinya, memakainya sendiri serta memakai aksesorisnya. Misal seperti pedang samurai atau benda khayalan lainnya. Karena kalau membeli pakaian karakter kan pasti tidak ada, jadi biasanya para cosplayer akan membuat sendiri atau memang memiliki perusahaan sendiri yang memproduksinya."

"Pedang samurai, ya. hemmm" Taka mengelus elus dagunya. "Jadi itu bukan semacam acara anak anak ya."

"Tentu saja bukan. Tapi kenapa au tiba tiba tanya tentang itu? Apa akhir akhir ini kau tertarik pada sesuatu?"

"Tidak," alasannya. "Aku tidak sengaja melihat ada orang memakai pedang panjang kemarin di acara…emmm apa ya…oh ya festival."

"Nah itu, mereka biasanya memang mengadakan pameran atau festival. Aku sering mengikutinya. Benar benar menarik. Aku jadi ingin membeli aksesori sekarang."

Rataka terdiam sembari memikirkan Arvy. Tiba tiba ia tersadar dan segera membahas hal yang lebih penting dari itu.

"Beritahu aku informasi tentang para pilar harimau dan markas Ramon."

Alfa mulai berbicara serius.

"Kak Taka."

"Katakan saja."

"Aku….sebenarnya tidak tahu di mana markas mereka."

Rataka menghela napas berat, sembari memegang dahinya yang pening. Padahal ia sudah serius mendengarkannya.

"Kenapa kau hidup seperti ini?"

"Maafkan aku, Kak. Aku tidak tahu apa apa tentang mereka. Bahkan 7 pilar harimau pun aku tidak tahu semuanya, hanya beberapa saja."

"Katakan semuanya yang kau tahu."

"Baiklah, aku akan memulainya dari Kak Okta."

Taka manggut manggut.

"Kak Okta adalah pilar nomor 2."

Taka sontak menoleh. "Jadi dia yang kau tunggu saat itu?" (saat Rataka menjemputnya saat sesudah dianiaya Valen, Alfa sempat mengira Taka adalah nomor 2).

"Sebenarnya jarang ada anggota yang memanggil pilar dengan nama. Untuk merahasiakan nama mereka, biasanya pilar hanya dipanggil nomor. Karena itulah aku memanggilmu si nomor 2."

"Mantra apa yang dia punya?"

"Itu…" Alfa mendadak tidak nyaman.

"Kenapa?"

"Tidak, hanya saja. Dia…sudah seperti kakak untukku. Selain bersama Valen, Kak Okta sering mengunjungiku di apartemen kecilku yang dulu."

Taka melihat ekspresi Alfa yang sedih dan murung.

"Lain kali kalau kau sudah siap, tunjukkan aku di mana apartemenmu yang dulu."

"Itu hanya rumah susu yang kecil, sekarang mungkin tidak ada penghuninya karena jauh dari perkotaan."

"Apa yang kau lakukan selama di sana?"

"Kak Taka…" Alfa merasa tidak kuat membicarakan itu.

"Apa aku membuatmu tidak nyaman?"

Alfa dan Taka bertatapan sejenak, akhirnya Alfa mengalah.

"Tidak, aku baik baik saja."

"Ya kalau begitu lanjutkan."

"Kak Okta mengirimkan banyak jenis alkohol melalui Valen."

"Alkohol? Kenapa?"

"Karena…" Alfa berusaha untuk tidak gugup. "Aku yang memintanya."

Taka melihat Alfa yang mulai berkeringat.

"Kita hentikan saja sampai disi…"

"Tidak, Kak!" Alfa berusaha tegar dan baik baik saja. "Aku ingin menghadapinya."

"Sungguh?"

"Aku adalah pecandu alkohol."

Rataka bisa menebaknya.

"Aku menderita depresi berkepanjangan karena kutukan ilusi. Bahkan sampai sebelum aku koma, aku masih bisa merasakan tubuhku masih terikat dengan mereka. Apapun yang kulakukan seolah mereka tahu dan mengawasiku dan aku selalu merasakan kalau mereka akan membunuh Amy kapan saja."

"Amy juga memiliki kutukan yang sama denganmu, tapi punyamu lebih rendah. Meski begitu efeknya sangat buruk pada dirimu karena kau bukan indigo penuh."

"Iya, aku paham."

"Jadi kau sudah tahu kalau Amy adalah gadis yang akan ditumbalkan?"

"Tidak! Tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu. Mereka bilang akan mempertemukan ku dengan Amy kalau aku menuruti perintah mereka dengan menjadi mata mata. Aku juga tidak sepenuhnya dalam kewarasanku, karena aku sudah dimantrai sebelumnya."

"Di mana kau berjumpa dengan Amy akhirnya? Maksudku apa Amy tahu saat bertemu denganmu bahwa kau membuntutinya atau mengikutinya selama itu?"

"Tidak tahu. Dia tidak tahu. Kami bertemu saat naik kereta api. Tapi dia lari, kemudian paginya aku sengaja dipindahkan ke sekolah yang sama dengannya oleh Valen. Aku mengira Amy benci padaku ternyata sebaliknya, dia sangat merindukanku, karena itulah ia lari. Bodohnya aku yang lamban memahaminya. Jadi itulah yang membuatku hilang kendali di ruang uks. Aku benar benar…." Alfa memegang kepalanya dan menarik rambutnya. Matanya berkaca kaca.