"Maaf, Ketua Tim." petugas geleng geleng. "Dia sudah tewas ketika kami menemukannya."
"Tidak mungkin!"
Asya mendekat dan memeriksa denyut nadi di leher dan pergelangan tangannya. Wajah Valen telah memutih dan memucat. Begitu juga ujung jari jarinya yang telah kehabisan darah. Nafasnya berhenti dan organ dalamnya berhenti beroperasi. Dokter datang dan segera memeriksanya.
"Apa yang terjadi dengannya, dok?"
"Pasien diberi racun euthanasia."
"APA?!"
Petugas rumah sakit kemudian membawanya dan hendak memindahkannya ke ruang mayat sebelum dipindahkan Asya sempat melihat ada luka di telapak kirinya mirip bekas luka bakar namun ia tidak yakin dan tidak memeriksanya lebih lanjut, toh Valen sudah meninggal.
Dokter kembali menjelaskan mengenai racun itu.
"Apa racun itu bisa membunuh dalam waktu kurang dari 24 jam?"
"Itu tergantung dari pasiennya. Untuk kasus pasien ini, dia memang sudah lemah dan sakit, jadi bisa merangsang lebih cepat hingga ke sel sel tubuhnya. Euthanasia adalah semacam obat bunuh diri legal di luar negeri namun ilegal di negara kita. Saya kira orang memberikannya mendapatkannya dengan cara tidak sah secara hukum."
Asya juga menanyai petugas polisi yang menjaga ruangan tadi.
"Maafkan aku, Ketua," katanya. "Dia memakai baju jas dan mempunyai id card dokter yang sama persis dengan penampilan luarnya, gaya rambut dan kacamatanya juga sama, namun kami tidak memintanya membuka masker."
Polisi satunya lagi juga meminta maaf.
"Gara gara kami, narapidana jadi meninggal. Maafkan kami, Ketua."
"Sudahlah," Asya menepuk lengan mereka santai. "Valen adalah pengedar, itu pasti salah satu organisasi pengedar narkoba yang membunuhnya. Untuk saat ini periksa dulu jejak di cctv. Siapa saja yang melewati koridor ini rentang waktu beberapa jam sebelum pelaku datang dan juga cctv kamera belakang gedung, kemungkinan pelaku melewati tangga darurat dan keluar melalui pintu belakang."
Dua petugas itu mendapat laporan dari petugas polisi lain yang memeriksa cctv belakang area tangga darurat menuju parkiran.
"Ketua, maafkan kami, tapi…"
"Apa yang kalian dapatkan?"
"Kameranya mati. Rentang waktu sejam sebelum kejadian."
Panggilan lain masuk dari parkiran bawah, mereka melaporkan hal yang sama. Dari area lobi juga tidak terlihat tanda tanda orang mencurigakan.
"Itu berarti pelaku masuk maupun keluar melalui area parkir dan tangga belakang bukan lobi." Asya berpikir jernih dan cepat. "Kalau begitu, perluas area pencarian, rentang 3 kilometer dari area rumah sakit di gedung bagian belakang dan mobil yang parkir di sekitarnya!" perintahnya.
Dua anggota polisi itu mengangguk dan memberi perintah pada anggota yang lain. Sedang Okta yang tengah dicari polisi itu tersenyum puas. Karena ia sebenarnya masih berada di dalam mobil di parkiran bawah. Polisi akan mencurigai kalau ada mobil yang pergi sesaat setelah kejadian, jadi dia menunggu kiranya polisi tenang dan lengah. Di dalam mobil Okta mengganti pakaiannya dan mengubah gaya rambutnya, ia juga melepas kontak lensa, itu untuk berhati hati kalau kalau scan matanya ditemukan jejaknya di cctv.
Ponselnya di sakunya bergetar, itu adalah panggilan dari Genio.
"Aku tahu kau akan melakukannya," kata Genio yang terdengar datar dari seberang telepon.
"Kalau begitu jangan halangi aku."
"Valen akan mati jika kembali ke rumah utama."
"Aku akan mengurusnya."
"Kau ada di mana sekarang?"
"Di parkiran belakang rumah sakit. Aku akan kembali nanti saat polisi berhenti mencari."
"Jangan sampai tertangkap."
"Jarang sekali mendengar kau mengkhawatirkanku." Okta menertawakannya.
Klik.
Seperti biasa Genio akan menutup telepon sepihak jika apa yang ingin ia katakan sudah disampaikan. Ia memang sangat dingin seperti es.
Sementara itu Holan berada di ruangannya di kantor polisi namun belum mengetahui tentang Valen, sebelum seorang anggota tim mengetuk pintunya.
"Masuk."
"Lapor! Narapidana Valen…telah meninggal dunia."
"APA?!"
***
"A…aaaa aduh!"
Alfa merintih saat Amy hendak mengoleskan salep ke tangannya yang masih agak lebam.
"Aku bahkan belum mengolesnya!" Amy sendiri juga kesal. "Kau teriak dari tadi malah membuatku tidak fokus!"
"Maaf maaf."
"Dari tadi maaf tapi masih teriak. Ini tidak sakit sama sekali! Aishh bisa frustasi aku!"
Alfa mengengeh.
"Kenapa kau jadi marah marah sih?" Alfa cemberut.
"Ini karena kemarin kulihat kau berada di kursi roda?! kaki dan tanganmu diperban! Kepalamu di perban! Siapa yang tidak panik?!" Amy marah karena tidak diberitahu skenario itu. "Untung ayah segera memberitahuku bahwa kau baik baik saja. Lagipula au juga yang aneh. Kenapa lukamu bisa cepat sembuh? Karena terlalu senang aku sampai tidak memikirkan hal itu kemarin."
Alfa gelagapan dan berusaha mencari alasan yang logis.
"Itu karena aku dibawa ke rumah sakit secepatnya, jadi meskipun kritis itu tidak fatal."
"Apa? Benarkah begitu?"
Alfa mengangguk cepat.
"Memangnya kau tahu tentang medis medis seperti itu? Memangnya kau Dio?"
"Ya bisa saja kan. Lagipula aneh jika korban tampil dalam keadaan sehat dan bugar. Selain pelaku tidak dihukum dengan adil, aku pasti akan dihujat netizen. Kau tahu kan hasil persidangan di beritakan, sampai ada fotoku yang duduk di kursi roda tersebar. Aku curiga ada paparazi saat di persidangan."
"Benarkah? Separah itu? Dari mana kau tahu?"
"Aku mencarinya di situs daring. Valen adalah buronan nasional jadi beritanya sempat menduduki peringkat pertama pencarian. Dan kau tahu siapa yang nomor 2?"
"Kau?"
Alfa mengangguk.
"Bukankah bagus?" Amy tersenyum lebar.
"Apanya yang bagus?!" sekarang ganti Alfa yang marah.
"Kau harusnya jadi seleb. Haha."
"Astaga, aku menyerah."
Alfa cemberut dan berdiri namun Amy memegang lengannya dan mendudukkannya kembali. Amy kembali mengoleskan salep ke leher dan bahunya.
"Omong omong tentang Dio, sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya."
"Kenapa? Kau merindukannya?" Alfa tertawa. "Mungkin dia kabur dan menyerah menjadi kakakmu."
"Sialan! Apa yang kau katakan tadi?!"
Plak plak plak.
Amy memukul mukul punggungnya. Alfa meringis merintih kesakitan.
"Ampun…aduh aduh hentikan…"
"Aku serius tahu!"
"Iya iya maaf"
"Apa kau tahu sesuatu tentang dia?"
"haruskah kita ke rumah sakit dan mengganti perbanku? Sekalian bertemu Kak Dio." usul Alfa.
Amy terdiam memikirkannya sejenak, lalu menyetujui usulan Alfa.
Di rumah sakit.
"Kenapa masih ke sini?" Yohan melihat Dio dan Amy di ruangannya. "Apa ada cedera serius lagi?"
"Tidak, Kak," Alfa menjawabnya dengan setengah hati.
"Kenapa bicaramu seperti itu?"
"Amy tidak bisa memasang perban dengan benar." nada suaranya kesal.
Namun dibalas tawa renyah dari Dr. Yohan.
"Apa? Hanya karena itu? Haha kalian ini lucu sekali."
"Serius, Kak. Dia ini tidak becus memasang perban, mengoles salep saja pakai otot, sepertinya luka lukaku akan semakin parah. Sebaiknya Kak Yohan saja yang membantuku. Jantungku berdetak cepat tiap kali dia membuka tutup salepnya."
Dr. Yohan tidak bisa menahan tawanya.
Amy hanya berdehem pelan. Merek berdua saling melirik kesal satu sama lain.
"Ada ada saja. Baiklah aku akan membantumu."
"Oh ya, Kak. Dio dimana?"
"Eh? Kau mencari kakakmu? Tidak seperti biasanya."