Chereads / The Gladiol / Chapter 92 - Di Kafe

Chapter 92 - Di Kafe

"Apa aku harus mengikuti skenario?"

Rataka mengangguk.

"T…tuan apa kau tidak apa-apa?" tanya pelayan yang khawatir melihat Alfa yang basah kuyup. "Kau pasti kedinginan."

"Tidak apa-apa, Mbak. Kopinya memang sangat dingin. Aku harus mengeringkan pakaianku. Bisakah kau tunjukkan kamar mandinya?"

Pelayan mengantar Alfa ke kamar mandi.

Arvy berusaha melihat wajah pria bertudung itu, namun tidak terlihat.

"Maafkan aku sudah menjatuhkan kopi yang anda buat dengan susah payah. Tiba tiba saja tanganku tergelincir. Bisakah kau memberiku yang baru? Aku akan membayar kedunya." pinta Taka dengan sopan pada pelayan.

"Baiklah." pelayan tersenyum. "Apa tangannya benar benar tergelincir? Sepertinya dia tadi sengaja menjatuhkannya?" batin pelayan itu yang tentu bisa terdengar oleh Taka.

"Kau baik baik saja?" tanya Arvy begitu Taka duduk di depannya sembari membawa kopi yang baru.

"Aku merasa bersalah pada pria tadi."

"Yah, sepertinya kau bernasib sial hari ini."

"Hem? Apa maksudmu?"

"Tadi aku hampir menabrakmu, sekarang kau menabrak orang lain."

"Kau percaya kesialan dan keberuntungan?"

"Kau tidak?"

"Tentu saja. Tentu saja aku percaya."

Keduanya berbicara dengan saling membaca karakter satu sama lain. Arvy tidak bisa lepas dari membaca Rataka melalui matanya. Sedang Taka tidak terlalu kentara, ia merasakan aura di sekitar Arvy makin lama makin menguat. Ia menebak anak itu sedang berusaha membacanya meskipun itu sulit.

"Dia pasti kesulitan membacaku. Sepertinya dia bisa memiliki subjek dengan baik." batin Taka sembari meminum kopinya.

Arvy melihat tangan Taka.

"Kau kidal?"

"Iya."

"Ah. Maaf."

"Kenapa minta maaf? Aku tidak tersinggung."

Arvy tersenyum dan mengagguk sopan.

Ting!

Sebuah pesan masuk ke ponsel Taka. Itu dari Alfa.

"Apa yang harus aku lakukan, Kak?"

"Untuk saat ini tetaplah di kamar mandi. Aku akan mengakhirinya dengan cepat."

"Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Aku bertemu dengan Arvy."

"Apa?! Kak Arvy? bagaimana bisa?!"

"Nanti aku jelaskan. Pokoknya kau tetaplah di sana."

"Kenapa orang yang kau tabrak tadi lama sekali di kamar mandi ya?" Arvy penasaran.

"Eh?" Taka memasukkan ponselnya ke saku jaket. "Sepertinya dia tipe yang fashionable dan memperhatikan penampilan."

"Bukankah kau juga begitu?"

"Aku?"

"Iya. Kau bahkan cosplay hari ini. Bolehkah aku memegang pedang mainan itu?"

"Tidak bisa! Maaf, tapi ini sangat mahal. Aku tidak bisa meminjamkannya."

"Baiklah. Aku mengerti. Barang barang cosplay memang mahal."

"Sebenarnya apa yang orang ini bicarakan? Cosplay itu apa? Apa aku perlu mencarinya di Google? Tapi syukurlah dia mengira ini mainan," batinnya.

Mereka berdua menikmati kopi mereka masing masing.

Rataka tidak sengaja melihat kunci di samping ponsel Arvy.

"Kunci? Bukankah dia tinggal di apartemen bintang lima? Kenapa pakai kunci?" batin Taka bertanya tanya.

"Apa kau tinggal di sekitar sini?" basa basinya.

"Tidak. Aku tinggal di apartemen Blue Sky," jawabnya sembari menyeruput kopinya.

"Wah, itu apartemen paling mewah di ibu kota. Aku jadi penasaran apa pekerjaanmu. Itu lumayan jauh dari sini, apa kau bawa mobil atau bagaimana? Omong omong aku naik bisa ke sini. Pemandangan taman kota bagus sangat bagus, ramai juga yang datang ternyata. Aku jarang pergi ke taman."

"Aku bawa mobil. Kalau mau aku bisa memberimu tumpangan. Oh ya, kita dari tadi ngobrol tapi belum tahu nama satu sama lain." Arvy mengulurkan tangannya. "Namaku Arvy, Arvy Satria."

Taka menerima tangannya dan bersalaman dengannya.

"Aku Taka, Rataka."

Arvy memiringkan kepalanya.

"Margamu Ra? Atau itu tidak dipisah?" ia penasaran.

"Itu bukan marga. Namaku hanya satu suku kata. Rataka, orang orang memanggilku Taka."

"Jadi…apa itu kunci rumah? Sepertinya apartemen bintang lima tidak memerlukan kunci manual?"

Arvy menatapnya dengan agak panik, namun sejenak kemudian ia tersenyum kecil dan ingin mengetahui pria menarik ini lebih jauh.

"Apa aku harus memancingnya?" batin Arvy.

"Iya tentu saja tidak ada kunci manual di apartemenku. Ini kunci basemen." Arvy melihat dengan seksama reaksi Taka.

"Apa? Kenapa kau membawa kuncinya sedang pintu rumahmu sudah terkunci dengan lebih aman?"

"Kau penasaran apa yang ada di dalamnya?"

"Bocah ini, kurang ajar!" batin Taka. "Ia mempermainkanku. Mari kita lihat siapa yang akan terungkap identitasnya sampai akhir"

"Apa kau psikopat?"

"Apa?"

"Ini tidak seperti kau menyembunyikan korban pembunuhan atau wanita simpanan yang tidak sengaja kau bunuh di ruang bawah tanah kan? Ah…aku pasti mendapat jackpot kalau bertemu orang seperti itu hari ini, terutama di dekat taman. Sepertinya kau cukup berhati hati dengan baseman itu." Taka menyeruput es kopinya.

"Kau pasti penggemar film misteri."

"Ahahaha jangan dianggap serius. Tidak mungkin dengan wajah seperti ini kau seorang psikopat. Kau bahkan bisa menjadi model atau aktor dengan visual semacam ini."

Arvy tiba tiba tertawa kecil. Taka memperhatikannya.

"Kau orang yang menyenangkan, Taka. Haruskah kita berteman. Akan kutunjukkan apa yang ada di basemenku lain kali. Sepertinya kau akan tertarik."

"Aku bahkan tidak bisa melihat aura, atau membaca pikiran dan emosinya. Orang ini benar benar…" Arvy kesal sendiri. Ia tidak biasanya seperti ini. Ia merasa seperti dibodohi dengan percakapan semacam ini.

"Teman? Itu ide bagus. Sepertinya kita punya hobi yang hampir mirip. Bukankah begitu?"

Drrffttt drrffttt

Ponsel Rataka berbunyi.

"Maaf."

"Angkat saja."

"Kak Taka sampai kapan aku harus di sini?" omel Alfa dari seberang telepon.

"Baiklah aku paham. Aku akan segera kembali. Di mana kau sekarang?"

"Cepat akhiri percakapanmu dengan Kak Arvy."

"Pekerjaan penting? Baik, aku akan ke sana."

Obrolan telepon antara Taka dan Alfa yang tidak nyambung itu setidaknya membuat Arvy tidak curiga.

Taka mengirim pesan pada Alfa untuk segera keluar dari kamar mandi dan meninggalkan kafe.

"Sepertinya kau cukup sibuk hari ini."

"Yah begitulah."

Tiba tiba Alfa keluar dengan mengenakan kacamata hitam dan juga masker serta menutupi kepalanya dengan tudung. Arvy melihatnya.

"Bukankah itu orang yang tadi?" Arvy berdiri dan hampir menyusulnya, namun lengannya dicekal oleh Taka.

"Kau tidak mengganti rugi padanya?"

"Aku sudah minta maaf tadi."

"Dia melewatimu begitu saja. Kau yakin dia tidak marah?"

"Berikan aku kartu namamu?"

"Apa?"

Arvy akhirnya kembali duduk. Ia tidak paham pikiran Taka. Orang tadi benar benar terlihat tidak asing. Atau mungkin hanya perasaannya saja. Namun Arvy masih curiga kalau itu orang yang dikenalnya.

"Maaf aku ikut campur urusanmu." Arvy mengeluarkan kartu namanya dan memberikannya pada Taka.

"Tidak apa apa. Dia terlihat buru buru, aku akan memberinya kompensasi nanti. Sepertinya dia pelanggan tetap di sini."

"Insting?"

"Tidak. Aku hanya menduganya."

Mereka berdua melempar tawa kecil satu sama lain. Arvy geleng geleng mendengar jawabannya yang tidak terduga.

"Aku mengelola bar di dekat apartemen. Lokasinya bisa kau scan di name card nya. Kau bisa mengunjungiku kapan saja. Kalau kau bosan aku bisa menemanimu minum."

Taka tersenyum sembari melihat kartu nama itu.

"Haruskah aku memberi kartu namaku juga?" Taka menawarinya.

"Silakan. Aku menerimanya dengan senang hati."

Taka juga memberi satu kartu namanya untuk Arvy.

"Kau bekerja di perusahaan keamanan?"