Chereads / The Gladiol / Chapter 79 - Arvy

Chapter 79 - Arvy

"Tapi sepertinya kau pernah membunuh orang beberapa kali. Bukankah begitu?" Arvy tertawa sinis.

"Bocah sialan ini. Kau makin tidak tahu diri rupanya!"

Valen mengangkat tangannya dan bersiap meninju, namun ditangkis oleh Arvy, Arvy memegang bahunya yang turun lalu menendang kakinya hingga jatuh.

"Akh!" Valen jatuh.

"Bunuh aku sekarang sialan! Kau pikir kau juga akan selamat jika membunuhku? Kau akan mati di tangan bos mu atau di tangan polisi atau di tangan orang yang lebih kuat lagi. Kau bisa memilihnya."

Arvy berjongkok dan menampar pipinya berkali kali dengan santai namun penuh penekanan dan tegang. Valen menelan ludah, baru kali ini ia merasa merinding di hadapan seorang manusia biasa.

"Kau tahu siapa aku? Kau pikir aku tidak bisa mengarang skenario juga sepertimu? Kalau begitu begini saja, seorang pria tampan kaya raya membunuh seorang pencuri yang menyusup ke apartemen untuk membela diri. Bukankah judul artikelnya bagus? Kau tidak hanya mati, namun juga dikenal sebagai pencuri. Haha"

"Psikopat!"

Valen tak bisa bergerak karena luka di tubuhnya dan kekuatannya melemah. Untuk beberapa hari ini ia pasti akan dengan mudah ditemukan karena saat ini ia kehilangan banyak kekuatan gara gara kejadian kacau kemarin

"Keluar dari apartemenku." kata Arvy. "Sebelum aku membunuhmu. Aku tahu kau terluka, dan itu membutuhkan waktu yang lama untuk pulih. Kau tidak bisa menjamin tidak akan membunuhku setelah kekuatanmu kembali kan?"

"Dia sudah memperhitungkan sejauh itu?" batin Valen.

"Tentu saja."

"Apa? Dia mendengar apa yang kupikirkan! Siapa dia ini!" batin Valen berontak. Ia kini yakin 100 persen bahwa pria di hadapannya ini bukan hanya psikopat namun juga orang ber supranatural tinggi.

"Kau…" Valen gemetar. "Siapa kau sebenarnya?"

Arvy menaikkan salah satu sudut bibirnya."

"Tidak usah penasaran. Kau akan semakin dalam bahaya kalau tahu siapa aku."

Buaghhh!

Arvy memutuskan mengakhirinya dengan satu pukulan pamungkas penuh. Ia meninju bagian vital leher dan dagu hingga membuat Valen tumbang dan pingsan seketika. Ia menyeretnya masuk ke dalam basemen bersama Rey, namun kali ini ia mengikatnya dengan besi, bukan hanya tangan namun juga kaki. Serta menutupi kepalanya dengan kain hitam dan menutup mulutnya dengan lakban.

"Kau kira aku menyelamatkanmu tanpa alasan? Dasar bodoh." Arvy mengunci pintu basemen lalu kembali naik ke atas.

"Sepertinya aku harus menambah jatah beras sekarang," kata Arvy dengan senyuman licik di bibirnya.

***

Letnan Holan melangkah melewati koridor dan tak sengaja melihat pintu tim investigasi terbuka setengah. Ia masuk dan mendapati Asya tengah termenung melihat video rekaman yang didapat dari mewawancarai Alfa kemarin.

"Apa yang kau amati sampai menonton videonya seperti itu?" Letnan memergoki Asya mengulang ulang videonya.

"Letnan."

"Kau mencarinya apa dia berbohong atau tidak?"

"Aku tidak perlu menjawab sepertinya."

"Kau…benar benar ya…" Letnan tersenyum.

"Kenapa? Ada apa denganku? Apa yang kulakukan salah?"

"Pernyataannya sudah lebih dari cukup. Gunakan itu sebagai bukti utama."

"Aku tahu anda akan berkata seperti itu, tapi pemikiranku tidak begitu. Dia memberi rincian pelaku yang berbeda dari bukti kamera cctv yang ditemukan."

"Terus?"

"Letnan," Asya melihat Letnan dengan serius. "Aku menanyai anak penyintas itu tentang foto pria yang tertangkap cctv."

"Apa jawabannya."

"Dia terlihat…sangat gugup."

"Hahaha."

"Eh?" Asya terkejut melihat responnya.

"Bukankah kau tahu mengapa dia gugup?"

"Apa? Apa maksudnya?"

"Kau mendesaknya bukan?" tanya Letnan yang lebih mirip pembenaran.

"Tidak mungkin aku melakukannya."

"Coba kau ingat ingat lagi."

"Tapi aku…" Asya terdiam. Ia mengingat percakapannya dengan Alfa kemarin."

Kemarin.

"Ini." Asya memberikan sekaleng minuman ke Alfa setelah wawancara selesai.

"Terima kasih."

"Ingat lagi kata kataku tadi. Jika kau memalsukan pernyataan kau akan dihukum."

"Aku ingat."

"Oh ya, apa pekerjaanmu?"

"Aku freelance writer."

"Kau pasti kaya. Akhir akhir pekerjaan semacam itu populer di kalangan anak muda. Berapa usiamu?"

"21 tahun."

Asya melihat kanan kiri, di ruangan itu hanya ada dia dan Alfa. Rekannya yang merekam tadi keluar. Begitu mengamati sekitarnya sepi dna tidak ada satupun yang mengawasi mereka. Asya mengeluarkan secarik foto dari buku note yang dipegangnya.

"Aku ingin bertanya sesuatu yang berkaitan kasus itu, tapi ini berada di luar investigasi. Bolehkah aku bertanya?"

"Eh? Tanya apa?"

Asya menyodorkan foto itu.

"Kau tahu foto ini?"

Alfa memegang foto itu dan wajahnya menegang.

"Kau bisa melihat tanggal kejadiannya di pojok, itu rekaman cctv di depan rumah sakit."

"Kenapa bisa… ada foto semacam ini?"

Asya mengamati ekspresi Alfa yang mencurigakan.

"Kau tahu sesuatu kan?"

"Apa ini aku yang digendong?"

"Tentu saja itu kau, siapa lagi?! aishh" Asya mendecakkan lidah.

"Aku kira aku akan mati. Saat itu…kukira aku tidak akan kembali." Alfa menatap foto itu dengan serius. Air mukanya berubah, seperti merenungkan sesuatu.

Asya menyadarinya. Ia tahu ini berat bagi Alfa juga. Setelah berminggu minggu koma karena kejadiaan naas itu, ia pasti bersyukur karena akhirnya bisa kembali ke kehidupan normalnya. Asya memahami hal itu.

"Syukurlah," Asya memegang bahunya dan menepuknya pelan. "Sekarang kau sudah kembali."

Alfa tersenyum lega.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu siapa pria ini." Alfa meletakkannya di meja.

"Kau tidak ingat sesuatu?"

"Aku tidak pernah melihatnya. Sebelum maupun sesudah bertemu pelaku. Mungkin dia tidak sengaja lewat dan menyelamatkanku."

"Sepertinya begitu."

"Berarti aku harus mengucapkan terima kasih padanya. Padahal saat itu hujan deras, tapi dia menggendongku sampai rumah sakit. Apa Bu polisi mencurigai orang ini?"

"Aku mencurigainya karena dia tidak membawamu ke dalam tapi malah menelatarkanmu di depan gedung. Jika dia berniat menolong harusnya tidak setengah setengah dengan meletakkanmu yang hampir mati di depan gedung dalam kondisi hujan. Air hujan bisa membahayakan luka lukamu."

"Benarkah? Mungkin dia sedang bergegas." Alfa sedikit gugup memang.

"Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku. Padahal ini di luar wawancara resmi."

"Tidak apa apa. Aku malah senang bisa membantu. Temui aku saja jika ada yang masih perlu anda ketahui." Alfa tersenyum ramah.

Flashback End

"Sudah ingat?" tanya Letnan.

Asya diam saja tak menyahut. Ia hanya meminum minumannya di samping laptopnya

"Bukankah dia bekerja sama dengan baik? Apalagi yang kurang. Tidak perlu mengusik anak itu lagi, pernyataanya sudah kau rekam kan? Itu sudah lebih dari cukup."

"Letnan, kenapa kau terdengar sangat ingin menyingkirkannya dari penyelidikan ini? Dia ini korban sekaligus saksi yang kita dapatkan satu satunya," Asya menegaskan. "Bukankah anda terlalu terburu buru mengusirnya?"

"Siapa yang mengusir siapa? Apa yang ingin kau tanyakan sebenarnya?"

"Aku sangat ingin tahu sih. Apa aku boleh menanyakannya?"

"Terserah kau saja," Holan meminum kopinya dengan santai.

"Apa dia menantumu?"

Crat!

Minuman yang diminum Letnan muncrat ke samping dari mulutnya. Asya berdehem melihat reaksinya. Ia menduga itu bukan hanya rumor tapi fakta.

"Dari mana kau mendapatkan gosip semacam itu sih?!"

"Anda pasti tidak tahu. Itu gosip yang sangat populer akhir akhir ini."

"Ah ternyata seorang detektif kritis sepertimu bisa termakan rumor juga. Rupanya kau normal."

"Ha? Apa maksud anda?"

Holan tertawa kecil.

"Dia bukan menantuku sih, tapi dia memang pacar putriku. Mereka masih muda, mana mungkin aku memperbolehkan mereka menikah sedini itu?"

"sudahlah, kau tak perlu mempercayai rumor semacam itu. Apa sketsa pelakunya sudah selesai?"

"Kami sedang memprosesnya."

"Ya sudah. Berikan padaku kalau sudah selesai." Holan meminum kopinya lagi. Ia berbalik dan melangkah keluar ruangan.

"Dasar anak itu. Ada ada saja. Memang ada gosip seperti itu di kantor ya? Kenapa aku tidak tahu?" Letnan berjalan melewati lorong sembari memiringkan kepalanya, penasaran siapa yang menyebarkan gosip tidak benar itu.