"Termasuk pakaian dalam?"
"APA!"
Amy berlari ke ruang tengah dan melihat pakaian dalamnya tergeletak di sana. Ia memungutnya dengan meringis menahan malu.
Alfa hanya tersenyum lebar melihat salah tingkahnya.
"Kau sudah sarapann? Mau kubuatkan omelette?" Alfa mengeluarkan beras, mi instan yang ia beli di supermarket, telur, sayur, daging, bahan makanan lain, susu dan beberapa kaleng soda, kopi dan menaruhnya di kulkas.
Sembari merapikan bajunya Amy bertanya pada Alfa.
"Kenapa kau ke supermarket pagi-pagi sekali?"
Alfa bingung harus menjawab apa, namun ia akhirnya beralasan.
"Aku cuma mau menghirup udara pagi, sudah lama tidak jalan jalan dan olahraga, kakiku kaku semua."
"Benarkah hanya itu?"
"Memangnya apa lagi?"
"Bukannya kau sengaja tak mau pergi denganku? Dasar licik."
Mereka berdua sibuk masing-masing. Amy masih merapikan kamar dan ruang tengah. Sedang Alfa di belakang tengah menggoreng telur dan menanak nasi.
"Ayo sarapan bersama."
"Aku sudah sarapan," tolak Alfa dengan agak merasa bersalah.
"Sudah sarapan? Di mana? Dengan siapa? Sendirian?"
Amy menatap Alfa. Alfa berdehem dan mengalihkan pandangannya.
"Setelah bangun dari koma kau jadi aneh sekali. Apa kepalamu terbentur sesuatu? Atau karena kebanyakan tidur?"
"Tidak kok. Aku baik-baik saja. Aku habis makan bersama Kak Dio tadi."
"Dio?"
"Iya." Alfa menelan ludah.
"Apa dia bolos bekerja? Aku akan meneleponnya." Amy hendak mengambil ponselnya namun Alfa menarik lengannya menghentikannya.
"Jangan!" paniknya.
"Alfa. Apa ada yang kau sembunyikan dariku? Kau ingat saat aku bertanya siapa yang meneleponmu saat itu? Kau berbohong dan bilang itu bukan siapa-siapa. Kau sebenarnya berbohong kan?"
"Amy…"
"Sudahlah. Aku tahu kau tak mau membicarakan hal itu, tapi kau tahu, Al? Mengetahui kau ada masalah tapi aku terlambat melakukan sesuatu, membuatku merasa tidak berguna, kita teman kan?"
Alfa membisu.
"Baiklah. Akan aku anggap kau makan dengan Dio tadi. Aku juga tidak peduli kau pergi ke mana sejak pagi. Toh kita bukan siapa-siapa selain teman. Kalau begitu cepat buatkan aku makanan. Tuanmu sudah kelaparan ini."
Amy melipat lengan depan dada lalu melengos meninggalkan Alfa menuju sofa ruang tengah.
Alfa membisu dan menunduk, tangannya mengepal menahan sesuatu, namun akhirnya ia mendekati Amy, lalu tiba-tiba Alfa menarik lengan Amy lagi, Amy kaget dan hendak protes namun terlambat, bibirnya sudah dikunci oleh bibir Alfa. Ia terkejut hingga membelalakkan matanya. Sedang Alfa memejamkan matanya.
Alfa tak hanya mengecupnya kali ini, namun juga melumatnya, tak seperti ciuman mereka yang pertama kali saat itu. Bibir Alfa bergerak begitu juga lidahnya. Amy terkejut, Alfa memegang tengkuk lehernya dan ciuman itu semakin dalam dan panas. Amy mendorongnya pelan dan mengambil napas karena kehabisan udara.
"Alfa! Apa yang kau lakukan?"
"Teman? Kau bilang teman? Aku menyukaimu! Aku sangat sangat menyukaimu sampai jadi lupa diri!"
Amy terkejut mendengar Alfa yang berteriak namun lebih mirip meronta, matanya juga berkaca-kaca.
"Aku menyukaimu! Karena itu aku tidak mau kau terluka karena aku! Aku tidak tahu apa yang akan terjadi denganku kalau kau terluka! Aku adalah pria egois yang hanya memikirkan perasaanku sendiri. Maafkan aku, My. Maafkan aku karena menyukai dengan cara seperti ini."
Alfa menunduk. Tangannya terjatuh lemas.ia teringat dirinya sendiri saat masih berada di tempat tinggal sempit. Setiap hari menunggu anggota sekte itu mengirim alkohol, wine, wiski, bahkan kokain. Setiap hari hanya menyebut nama Amanda tanpa henti dan membayangkannya dalam mimpi dalam imajinasi tiada henti. Sebegitu menjijikkan cintanya hingga tidak patut disebut sebuah cinta. Alfa malu mengingat dirinya saat itu. Matanya berkaca-kaca.
"Alfa…" Amy memegang pipinya, namun ditampik pelan.
"Aku tidak sebaik yang kau kira. Aku bukan pria baik dan polos seperti yang kau tahu. Aku…aku…" Alfa tak sanggup mengatakannya. "Aku ini brengsek, aku ini bajingan. Jadi untuk apa kau menangisiku hingga sakit? Kenapa?! Kenapa kau membuatku makin menyukaimu?! Aku malu karena kau melihatku seperti itu."
Amy mendekatinya namun Alfa terus mundur. Ia mengingat apa yang dikatakannya sebelum ini.
Kau akan membenci dan mengutukku jika kau mengetahui semua yang telah kulakukan selama ini." kata Alfa pada dirinya sebelum koma. (cek bab 47). Namun Amy kini tak peduli lagi tentang masa lalu Alfa, apapun itu semua sudah berlalu.
"Hentikan! Itu tidak benar!" Amy meraih tubuhnya dan memeluknya. Merengkuhnya yang hilang kendali.
"Aku…"
"Sudah. Jangan bicara lagi."
Amy memeluknya, sembari menepuk punggungnya pelan. Sedang Alfa membalas pelukan itu dengan susah payah, padahal ia tak ingin terlalu terobsesi dengan gadis itu.
Ia kembali mengingat lagi wawancaranya tadi di kantor polisi dengan Asya.
"Aku adalah teman pelaku, kami berhubungan dalam waktu yang lama. Sebelum kami bertemu di gedung itu dia meneleponku."
"Polisi juga menyimpan ponselmu, namun nomornya sudah. Servernya ada di luar negeri dan masih dalam pencarian." Asya menjelaskan. "Apa kau ingat apa yang dikatakannya padamu?"
"Aku tidak ingat, tapi dia bilang…" Alfa mematung tiba-tiba.
"Apa? Apa yang dikatakannya?" Asya penasaran dan menatap tajam Alfa.
Alfa tiba-tiba ingat percakapannya sebelum datang ke kantor dengan Holan.
"Apa aku benar-benar harus mengatakannya dengan jujur, Om?" tanya Alfa kemarin malam.
"Katakan saja dia pengedar narkoba."
"Apa! Bagaimana bisa saya mengatakan itu?"
"Jadi, kau akan mengatakan yang sebenarnya? Yang sejujurnya?"
"Om, apa anda…sebenarnya tahu apa yang terjadi pada saya?" tanya Alfa ragu-ragu.
"Jika aku mengatakan iya, apa akan ada yang berubah?"
Degh…
"Ayah Amy tahu perbuatanku, tapi dia masih menerimaku? Begitu saja? Bagaimana bisa? Ah benar, Rataka. Apa orang itu mengenal ayah Amy? Tapi…" batin ALfa berkecamuk.
"Kenapa diam saja? Kau berpikir lama sekali."
"Om aku…"
"Sudahlah. Terserah dengan apa yang akan kau katakan. Aku hanya memberi saran, jika kau tak mau berlarut-larut di kantor polisi, ikuti saranku dan segera menyingkir dari kasus ini."
Klik.
Telepon diputus secara sepihak. Alfa terdiam.
Kembali lagi ke wawancara Asya.
"Dia bilang apa?"
"Dia mengatakan mendapatkan narkotika dari temannya. Dia sudah bertransaksi dengan mereka dna memintaku mengambil paketnya."
"Lalu, apa yang kau katakan?"
"Kami teman dekat, jadi aku memintanya untuk bertemu denganku lebih dulu. Aku berencana untuk menasihatinya karena kami teman, tapi orang yang tak saya kenal yang datang. Malah pukulan dan tinju yang saya dapatkan."
"Apa dia menyebutkan dimana paket atau sesuatu yang lain?"
"Aku tidak ingat."
Asya terdiam menatapnya. Alfa tahu kalau polisi wanita itu sedang membaca mimik dan gestur nya.
"Kau yakin tidak ingat?"
"Maafkan saya."
"Berapa lama kau saling mengenal dengannya?"
"Sejak sekolah menengah."
"Apa kau punya fotonya?"
"Tidak."
"Bagaimana ciri-cirinya orang yang menemuimu? Karakteristiknya?
"Itu saya juga tidak ingat."
"Di gedung itu tidak ada cctv. Kemungkinan orang yang menemui orang yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti itu."
"Baiklah. Setelah ini aku akan memintamu mengisi formulir korban dan saksi. Terima kasih atas kerja samanya dan sekali lagi selamat atas kesembuhanmu."
Alfa mengangguk sopan.
Setelah kamera dimatikan. Asya menanyainya secara pribadi.