"Kau tahu siapa aku?" Rowlett heran seorang asing itu memanggil namanya.
"Tak kusangka kita akan bertemu secepat ini…Rowlett."
Rowlett mematung, terpaku mendengar namanya keluar dari mulut orang asing itu.
Tubuhnya bereaksi, fyber-fyber dalam otot dan nadinya berteriak layaknya cacing-cacing yang bergerombol memaksa keluar. Amarah adalah kelemahan Rowlett, karena itulah anggota pilar lainnya tidak memperbolehkan dia keluar tanpa izin, namun Rowlett yang mudah bosan dan penasaran akan dunia luar tidak pernah menurut. Ia senang keluar bermain-main sembari memakai seragam sekolah tanpa identitas, namun kali ini ia bertemu dengan orang yang cukup membuatnya bergairah hingga sampai merasakan hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Aku memiliki sense yang buruk tentang aura," kata Rowlett. "Tapi aku masih bisa merasakan aura kakak dan orang biasa. Bagaimana bisa kau memiliki aura yang sama kuatnya dengan kakak? Atau bahkan lebih kuat lagi?"
"Hahahaha."
Suara Rataka terdengar menggelegar di tengah hujan yang deras. Keduanya basah kuyup dan saling berhadapan setidaknya tiga meter di halaman yang dipenuhi rumput hijau, depan gedung tua itu.
"Kau menertawakanku karena menganggapku bodoh, huh?!" teriak Rowlett marah.
"Tidak, tidak. Justru sebaliknya. Aku tidak pernah bertemu dengan fiber yang paling jujur sepertimu. Ah apa boleh kupanggil kau fiber saja? Sepertinya tubuhmu sudah tidak bisa menahannya. Dengan badanmu yang mirip Hulk itu apa kau bisa merobohkan gedung berlantai ini? Aku jadi penasaran."
"Katakan siapa kau sebenarnya?!"
"Aku memang punya urusan dengan kakakmu dan berniat mencarimu juga, tapi luar biasanya kau malah mendatangiku di sini. Kau kira kakakmu akan datang kemari bukan?"
"A…apa? Aku tidak punya pemikiran seperti itu sialan!"
"Tidak! Kau memang berpikir seperti itu!"
Kali ini Rataka balas meneriakinya, ia serius. Rataka berjalan mendekat.
"Bukankah nyalimu ciut ketika merasakan aura milikku sama kuatnya dengan kakakmu? Kau tidak tahu kan, kakak-kakakmu itu…" Rataka berteriak lagi. "Semuanya baji*an!"
"Aaaaarrrrrrkkkhhh." Rowlett emosi mendengarnya. Ia berlari ke arah Rataka dan mengayunkan tangannya yang besar untuk meninjunya.
Debummmm!
Tangannya meninju tanah hingga retak dan berlubang menyerupai kawah agak besar. Rowlett tertegun tak mendapati Rataka ikut terlindas di sana.
"Sialan! Sialan! Sialan!" umpatnya berkali-kali.
Ia berbalik dan mencari ke kanan dan kiri. Namun tak mendapati siapapun.
"Tinjumu selemah itu?" terdengar suara Rataka.
Rowlett melihat ke atas pohon yang tak jauh dari ia berdiri. Rataka tengah duduk sembari menyilangkan kaki di salah satu dahannya dengan santai. Ia tak habis pikir.
"Sejak kapan dia ada di sana? Kenapa aku tidak melihatnya beranjak dari tempat dia berdiri tadi?" paniknya dalam hati.
"Padahal kau salah satu anggota pilar tapi kau selemah ini?! itulah kenapa kubilang kakak-kakakmu adalah baji*an. Rowlett! Kau benar-benar berakhir seperti sampah!"
"Diam kau! Jangan main-main denganku! Turun kau br*gsek!"
"Main-main! Aku bahkan tidak sedang bermain-main denganmu. Aku belum mengeluarkan satu persen kekuatanku."
"Apa maumu sebenarnya huh? Kenapa kau mengganggu waktu bermainku?!"
Rowlett mengguncang pohon itu seolah angin topan tengah menghantamnya. Namun setelah dilihat, lagi-lagi Rataka tidak ada di tempat yang sama. Rowlett makin kesal dan kesal, urat-urat di seluruh tubuhnya menonjol keluar, wajahnya yang imut kini sudah tertutup oleh ekspresi menyeramkannya. Baju kemejanya juga rusak parah dan sobek-sobek karena pertumbuhan otot yang disebabkan oleh fiber-fiber yang memakan emosinya.
"Arrrrrkkkhhhh!" Rowlett berteriak penuh amarah.
"Mau sampai kapan kau dibodohi?" Rataka berdiri di belakangnya agak jauh.
"Apa?"
"Panggil kakakmu sekarang."
"Kau kira kau siapa huh?! kenapa dari tadi merendahkan kakakku?!"
"Aku memang mencari orang yang memukuli Alfa. Bukankah kau tahu siapa dia?"
"Ah Alfa sialan yang lupa diri itu! Aku yang membuatnya babak belur! Aku yang membunuhnya! Kenapa? Kau ada urusan denganku huh?!"
"Ha? Jadi kau rupanya? Kukira orang lemah sepertimu tidak bisa memukul orang," cibir Rataka. "Harusnya kau bilang dari tadi kalau kau membuat Alfa jadi begitu."
"Jadi kau sekutu dengannya? Jadi benar firasatku kalau Alfa bawahan sialan itu adalah pengkhianat! Jadi kau rupanya!"
"Jadi mulai sekarang aku tidak perlu menahan diri, kan?" Rataka berjalan mendekat ke arah Rowlett. Matanya menajam.
"Apa maksudmu?"
Rataka berjalan mendekat hingga menyisakan jarak diantara mereka hanya sejengkal kaki. Rowlett yang besar menunduk dan hendak menginjak Rataka. Namun ia sejenak tertegun melihat mata merahnya yang menyala. Rataka meletakkan telapak tangan kirinya di kaki besar Rowlett dan berkata sesuatu dengan air muka yang serius.
"Kuberitahu satu hal tentang siapa diriku. Sampaikan ini pada kakak-kakakmu."
"Kurang ajar! Hiyaaaa!" Rowlett hendak mengangkat kakinya namun kakinya tak bisa bergerak. Ia sadar itu karena Rataka menempelkan tangannya langsung di kulitnya. Ia kaget bukan main.
"Kenapa kakiku tak bisa bergerak?" batinnya.
"Siapa kau! Kenapa kau terus menggangguku!"
"Kuberitahu satu hal," Rataka menatapnya. "Aku…seorang kidal."
Whuuussshhhh
Braaaaakkk
Seolah terlempar angin, Rowlett terbang ke belakang seperti terdorong angin yang kuat padahal tubuhnya 3 kali dari ukuran manusia biasa. Ia akhirnya terbentur pohon di ujung pembatas hingga pohon itu tumbang. Rowlette jatuh terlentang dengan darah yang keluar dari mulutnya. Ukuran tubuhnya perlahan menyusut, ia kembali menjadi orang bertubuh normal.
Rataka mendekatinya yang sudah tak kuat untuk berdiri. Matanya memicing melirik ke bawah dengan tangan yang di belakang punggung. Rowlett yang menahan kesakitan samar-samar melihat keberadaannya dengan buram.
"Kakak…kakak…selamatkan aku…"
"Aku tidak punya masalah denganmu, Nak. Tapi aku tidak mau minta maaf."
Rataka berjongkok dan memegang sisa kemeja putihnya yang sudah robek-robek dan diletakkan di samping sembari mengelus ujung kepalanya.
"Si…siapa kau sebenarnya?" dengan sisa tenaga Rowlett berusaha mencari tahu siapa Rataka.
"Sudah kukatakan kan tadi. Aku seorang kidal. Katakan itu pada kakakmu, ah tidak. Maksudku katakan itu pada Ramon."
Degh
Saking terkejutnya mendengar seorang asing memanggil petinggi sekte dengan panggilan nama langsung tanpa embel-embel membuatnya begitu shock, bahwa pria yang di hadapinya ini memang setara dengan pemimpin mereka.
Rowlett tak mengatakan apa-apa. Pendengaran dan penglihatannya samar, tubuhnya sudah mencapai batasnya, sekitarnya menjadi gelap, ia tak sadarkan diri.
Rataka meletakkan kemejanya di samping Rowlett. Air mukanya datar dan dingin. Matanya yang merah kembali berubah cokelat. Ia berdiri. Rataka hendak berbalik namun ia sengaja hanya menoleh ke samping dan melirik ke belakang sedikit. Dirinya sudah mengira akan seperti ini.
"Seperti biasa, kau melampiaskan kemarahanmu pada orang lain. Taka."
Seseorang berdiri di belakang agak jauh dari Rataka. Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya. Lalu berbalik.
"Bukankah situasi ini jadi menarik, Valen?"
Pria yang disapa Valen itu tertawa.
"Sepertinya kau terlalu bahagia melihatku sampai tertawa begitu."
Valen memiringkan kepala, memeriksa keadaan Rowlett yang terlentang di belakang Rataka.
"Jangan khawatir. Aku tidak membunuhnya."
"Kau datang dengan tangan kosong. Dimana gitarmu?"
"Valen, kau tahu? Kau benar-benar orang yang membosankan."
"Aku tahu."
"Bukankah kau sudah melewati batas?"
"Siapa? Pada Alfa? Cih." Valen tertawa miris. "Apa kau sudah bertanya langsung pada anak itu? Asal kau tahu saja, dialah yang berhutang."
"Ha?"
"Bukankah kau penasaran, sejak kapan kutukan ilusi itu ada di tangannya?"
"Aku bisa saja menghabisimu di sini, br*ngsek." Rataka berusaha tenang.
"Aku jadi ingat terakhir kali bertemu denganmu saat itu. Bukankah kau juga ke panti asuhan?"
Degh
Rataka tertegun mendengarnya. Rataka memang berada di sana saat Amy dituduh membunuh Marina. Ia mengawasinya saat itu, karena suruhan direktur Rossan.
"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?"
"Anak itu," Valen menunjuk Rowlett dengan dagunya. "Dia juga berasal dari sana?"
Mata Rataka membulat, tertegun mendengarnya.