"Aku akan memeriksa cctv sepanjang jalan menuju rumah sakit dan tempat-tempat yang kemungkinan menjadi tempat penyiksaan mereka."
"Oh untuk tempat…" Rataka menyela, "Sepertinya kau tidak perlu mencarinya. Aku hanya perlu menangkap orangnya. Kau fokus saja dengan orang yang meletakkan Alfa ke depan rumah sakit."
"Taka," panggil Holan. Ia menatapnya.
"Apa? Kenapa menatapku begitu?" Rataka meminum minumannya.
"Apa ada sesuatu yang lain yang tak bisa aku tangani?"
"Ha?"
"Aku tidak tahu kau tengah meremehkanku atau kau tengah menyembunyikan sesuatu dariku. Yang mana kau?"
"Kau sudah tidak waras?"
"Ah aku hanya merasa kau menyembunyikan banyak hal padaku. Kau datang dan menjelaskan semuanya dengan rinci lalu menyimpulkan dengan baik. Kau memberiku solusi yang membuatku puas dan tidak bertele-tele."
"Wah.. harusnya kau sering-sering memujiku seperti ini? Bukankah aku tipe pria yang beyond the expectation?" Rataka tertawa.
"Bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Insting polisi tidak hilang dariku begitu saja meskipun aku menua. Tapi…bagaimana kau bisa yakin kalau pelaku meletakkan tubuh Alfa dengan biak-baik? Bagaimana jika pelaku melemparnya? Kau mengulanginya dua kali seolah melihatnya sendiri."
"Aku memang melihatnya sendiri."
"HA!"
"Apa ada yang salah?"
"Kenapa tidak mengatakan detail penting seperti ini?"
"Apa itu penting untuk penyelidikan?"
"Dasra bocah ini. Bagaimana jika jejakmu juga terekam cctv? Kau malah akan jadi tersangka nanti. Astaga."
"Jadi apa yang harus aku lakukan."
"Dari pada itu, kenapa kau tidak menangkapnya?"
"Kau serius tanya itu? Woy! Apa aku akan kemari dan memintamu menyelidiki jika aku sudah menangkapnya? Aku pasti sudah menggoroknya dengan pedangku yang tengah sakit di sana! Ah sialan!"
"Aku melihat ada salah satu dokter di sana. Oh ya untuk lokasinya, selidiki semuanya. Kalau kau sudah menemukannya bahas itu denganku," kata Rataka. "Dan ketika kau mulai mengetahuinya aku akan menceritakannya tentangs ekte itu sedikit demi sedikit," batinnya kemudian.
Tidak mungkin Rataka tidak ketahuan oleh Holan, sedang dialah yang menggendong Alfa hingga ke rumah sakit. Ia sengaja tak memberitahunya supaya Holan memikirkannya dengan matang-matang oleh dirinya sendiri, apa akhirnya dia akan sadar bahwa musuhnya adalah musuh bebuyutan dari bangsa di masa lalu, bangsa yang hanya menyisakan keluarga Satria hingga sekarang.
***
Operasi telah selesai, Alfa dipindahkan ke unit perawatan intensif. Sayangnya Alfa membutuhkan waktu untuk siuman. Amy duduk di sisi ranjang dan memegang tangan kanannya, ia tak sengaja melirik tangan kirinya dan mendapati bahwa tangannya diperban.
"Telapak tangan kirinya dibalut perban," kata Amy, "Tubuhnya banyak yang terluka, dia pasti kesakitan.
Ada Dio dan Dr. Yohan di sana, sedang Arvy di luar ruangan.
Amy menunduk sembari memegang tangan Alfa. Ia mati-matian menahan agar tidak menangis. Dio berdiri di sampingnya, selama ini dirinya tidak pernah melihatnya menangis, kecuali saat kejadian ayah tertusuk dulu. Alfa memang sepenting itu untuknya.
Tidak ada suara di sana, kecuali monitor yang berbunyi bip bip dengan stabil. Dr. Yohan mendekati Dio dan berbisik pelan.
"Dokter utama ingin membahas kondisi pasien dengan wali."
"Aku saja. Aku akan jadi walinya."
Dr. Yohan mengangguk. Keduanya keluar dari ruangan dan membiarkan Amy sendirian di dalam. Dio meminta Arvy tetap di sana meskipun di luar tak apa.
"Tolong temani Amy sebentar, Kak," pinta Dio.
"Kau tidak perlu khawatir, pergilah dan urus itu," kata Arvy dengan tenang.
"Terima kasih."
"Bersemangatlah." Arvy menepuk bahunya.
"Amy pasti juga membutuhkan waktu," katanya sembari melihat adiknya yang begitu tersiksa dari balik kaca kecil di pintu. "Hatiku sakit sekali melihatnya seperti itu."
"Seiring berjalannya waktu, semua akan membaik. Termasuk Alfa dan Amy. Jadi bersemangatlah, kita hanya perlu menunggu. Masa kritis Alfa sudah lewat, setidaknya kita harus bersyukur untuk itu."
Dio mengangguk sembari menunduk.
Dr. Yohan dan Dio meninggalkan ruangan dan melangkah menjauh dari ruangan. Arvy masih bisa melihat bahu Dio yang turun dan tak bertenaga. Ia juga melirik Amy dari balik kaca pintu. Wajahnya sendu dan sembab. Mendadak ingatannya melayang ke malam saat ia mabuk. Ia semakin merasa bersalah dan mengacak rambutnya frustasi.
"Apa tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang ini?" Arvy kecewa pada dirinya sendiri.
***
"Kau sudah melakukan apa yang kuminta kan?"
"Tentu saja. Aku sudah meminta Yohan membalut telapak tangan kirinya."
"Putrimu pasti akan berada di sana 24 jam. Saat ini anak itu masih dalam pengaruh sihir ilusi, dia akan koma dalam waktu yang lama."
"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus melihat kondisinya?"
"Siapa?"
"Maksudku Amy."
"Dio sudah meneleponmu?"
Holan menggeleng.
"Mungkin dia tidak ingin ayahnya tahu karena sibuk di kepolisian."
Rataka melihat Holan gusar sembari memegang dua tangannya, kerutan di wajahnya semakin banyak.
"Kalau kau segelisah itu, bukankah kau harus membuat keputusan sebagai ayah?"
***
"Amy," panggil Dio, "Kau belum makan apapun sejak semalam."
Amy diam. Ia terus memperhatikan Alfa kalau-kalau ia bangun.
"Ayo ke kantin dan makan sesuatu. Kakak akan membelikans makanan kesukaanmu, ya."
Tak ada jawaban. Amy hanya menggeleng pelan.
"Kau harus mengisi energi agar bisa terus menemani Alfa, kan? Jangan keras kepala! Amy!"
Adiknya bahkan tak menoleh padanya sama sekali.
"Aku sudah memikirkannya, Kak."
"Apa?"
"Aku melihat dia sering dihubungi orang asing saat bersamaku, bahkan saat kami bekerja di luar. Tapi dia selalu bilang hanya telepon iseng. Kukira hanya sekali dua kali, tapi saat dia menginap di kamarku, dia bahkan mendapat telepon saat tengah malam. Harusnya aku segera bertanya apa yang aneh, harusnya aku curiga, bukannya diam saja dan menunggu dia mengatakannya sendiri. Aku sudah lama bersamanya, tapi tidak bisa mencegah itu terjadi. Jadi ini semua salahku."
"Dengarkan aku, My. Kenapa kau begini?" Dio memegang bahunya yang tak bertenaga. "Apa semua orang di sini menyalahkanmu? Apa dokter berkata ini salahmu? Apa Alfa juga akan bilang bahwa ini salahmu, huh?! Sadarlah!"
"Lalu mau sampai kapan? Mau sampai kapan Alfa akan terus berbaring di sini?!" teriaknya.
Amy melempar tangan kakaknya. Ia berdiri dan hendak keluar dari sana. Ia memegang kepalanya yang mulai pusing. Amy melangkah keluar tak peduli seberapa khawatirnya kakaknya padanya. Ia meringis menahan sakit di kepalanya.
Namun belum mencapai pintu, pintu terbuka. Seseorang masuk ke dalam.
"Amy…" panggil Arvy.
Amy terdiam mematung. Ia reflek mundur beberapa langkah, tangannya terkepal. Dio menyadari ada yang aneh diantara mereka.
"Kenapa kau ke sini?" tanya Amy tanpa melihat Arvy. "Kenapa kau ke sini?!" teriaknya. "Kenapa semua orang melakukan ini padaku? Kenapa?!"
Napas Amy tersengal, wajahnya pucat pasi, bibirnya kering memutih. Tangannya terkepal dan gemetaran. Ia memeluk dirinya sendiri dengan gemetaran.
Arvy mendekatinya namun Amy mundur, begitu juga Dio.
"Jangan mendekat! Aku benci! Aku benci semua orang!"
Amy berlari keluar meninggalkan Dio dan Arvy yang membisu dan tak bisa melakukan apa-apa. Keduanya tak berniat mengejar Amy karena tahu itu hanya akan semakin memburuk.
Amy berjalan di koridor rumah sakit sembari menahan air matanya, namun hal itu adalah sesuatu yang tak bisa ia cegah. Air mata luruh ke pipi dan jatuh ke lantai, semakin deras. Ia membekap mulutnya agar tidak ada siapapun yang memperhatikannya. Sedang di sana banyak sekali dokter, suster dan pasien lalu lalang. Ia tidak tahu ingin kemana, kakinya melangkah begitu saja tanpa arah. Tiba-tiba seseorang berdiri di kejauhan sembari menatap Amy. Orang itu berteriak memanggil namanya.
"Amy!"
Amy yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya dna melihat ke depan. Betapa terkejutnya ia melihat orang itu. Pria itu melangkah mendekat dimana Amy berdiri. Amy sangat terkejut, ia tidak percaya melihatnya. Amy memeluknya dengan amat sangat, penuh kerinduan.
"Ayah!"
Holan memeluknya. Memeluk putrinya dengan erat. Dirinya benar-benar tidak tahu akan melihat putrinya sekacau ini. Rambutnya terurai dan agak lecek, wajahnya sembab, hingga matanya membesar.
Amy menangis sesenggukan di dada ayahnya.
Terakhir kali ia melihat putrinya menangis begitu pilu adalah ketika dirinya tertusuk dulu, dan kini beberapa tahun kemudian Holan mendapati AMy menangis pilu bukan untuknya melainkan untuk seorang pria. Matanya berkaca-kaca, tanpa sadar dirinya yang perlahan menua itu menangis melihat putrinya menangis begitu menyedihkan.
"Putriku yang malang. Ayah tidak akan bisa mati dengan tenang jika belum melihatmu bahagia," gumam Holan dalam hatinya.
"Ayah…" Amy terus menangis.
Holan melepaskan pelukannya dan mengusap air mata di pipi putrinya lalu mengelus puncak kepalanya. Rambutnya ia rapikan.
"Tidak apa-apa menangis, tidak apa-apa," kata Holan. "Penampilanmu sangat mengerikan." Holan tertawa miris.
"Aku merindukanmu, Ayah."
Holan mendongak, mencegah air mata terus berjatuhan di pipinya, ia mengusap pipinya.
"Kalau kau mengatakan itu, ayahmu ini akan jadi ayah paling lemah di dunia."
"Kenapa ayah menangis?"
"Kau sudah dewasa rupanya. Apa kau menyukainya?"
Amy terdiam, lalu menunduk. Sedetik kemudian ia mengangguk malu.
Ayah mengusap pipinya yang masih basah. Wajahnya sembab dan pucat.
"Dio pasti sudah memintanya istirahat tapi Amy sendiri yang memang keras kepala," batinnya. Ia tahu Amy belum makan apapun sejak kemarin.
"Kalau kau menyukainya, dia pasti akan sedih melihatmu begini. Ayo ikut ayah."
Ayah melipat lengan kanannya ke dada bak pangeran yang menggandeng putri. Amy melihatnya dan berusaha tersenyum. Ia mengusap pipinya dan menarik napas. Ia sedikit lega setelah bertemu ayahnya.
Mereka berdua memutuskan pergi ke restoran terdekat dan memesan banyak makanan favorit Amy. Keduanya juga ngobrol banyak hal ringan, seperti bagaimana bisa ayahnya tahu dan akhirnya memutuskan kembali dari markas yang tempatnya jauh di ibukota. Membahas pekerjaan Amy, pekerjaan Dio dan lainnya.
Sementara itu Dio ditemani Arvy masih di dalam ruangan menemani Alfa.
"Kau yakin Amy akan baik-baik saja?" tanya Arvy.
Dio menggeleng sedih.
Drfttt
Tiba-tiba ponsel Dio berbunyi. Itu adalah pesan dari ayah.
"Ayah?"
"Ada apa?"
"Ayah tiba-tiba mengirim pesan, Kak."
"Bukankah dia berada di kepolisian?" tanya Arvy heran.
"Entahlah."
Dio membuka pesannya dan membacanya. Ia mendadak tersenyum lega.
"Kenapa?"
Dio menunjukkan pesan itu pada Arvy. Keduanya lalu saling melempar senyum lega.
"Kami sedang makan siang di restoran dekat rumah sakit. Jangan khawatir. Kau juga makan yang banyak dan istirahatlah. Kau sudah melakukannya dengan baik."
-Dari Ayah-