Chereads / The Gladiol / Chapter 50 - Son

Chapter 50 - Son

"Ayah…" panggil Ayah begitu melihat ayahnya akhirnya siuman pasca operasi karena penusukan.

Amy dikabari Dio saat ia tengah beradu mulut dengan Arvy (bab 40).

"Tanganmu kenapa?" tanya Ayah yang mendapati tangan putrinya dibalut perban.

"Aku tidak sengaja terluka saat mengupas buah," Amy cari alasan.

"Benarkah?"

"Iya."

"Harusnya kau lebih berhati-hati." Ayah tersenyum lembut.

Amy berkaca-kaca. Ia memegang tangan ayahnya lalu memeluknya. Dio berdiri di sampingnya dan menepuk-nepuk punggung adiknya.

Ayah tertawa pelan. "Putriku bisa menangis juga ya ternyata? Kukira kau hanya bisa marah-marah pada kakakmu."

"Ayah mau makan apa?"

"Sepertinya ayah masih belum boleh makan apapun," sahut Dio.

Dr. Yohan datang. Ia menyapa Amy dan Dio.

"Iya benar. Pak Holan masih belum boleh makan apapun. Kalian akan memberiku izin memeriksa ayah kalian, kan?" candanya.

Ayah tertawa.

Dio mengajak Amy duduk di sofa. Mereka berada di ruang VIP. Dr. Yohan memeriksa Holan.

"Kau pulih agak lambat dari biasanya," kata Dr. Yohan.

"Sepertinya aku makin tua, bukankah begitu Dokter?"

Yohan tersenyum lembut.

Tiba-tiba Amy mendekat dan mempertanyakan pernyataan Dokter.

"Apa katamu tadi, Dok? Lebih lambat dari biasanya?"

"Ah itu…" Dr. Yohan mencari-cari alasan.

"Dulu ayah sering kena luka tusuk saat bertugas saat masih muda."

"Tapi bukankah Dr. Yohan belum menjadi dokter saat itu. Kenapa bisa tahu?" sambung Dio.

"Wah.. selamat Pak Holan, sepertinya anak-anak anda sangat cerdas. Seperti yang anda harapkan." dr. Yohan tersenyum.

Ia kemudian menjelaskan sedikit bahwa saat itu dia masih menjadi dokter magang. Entah kenapa saat itu ia mendapat panggilan dari rumah sakit ternama seperti rumah sakit Satria seperti ini. Saat ia masih magang dulu, Holan sering bolak-balik di meja operasi karena luka tusuk dan tembak. Terutama di bagian bahu dan lengan. Amy dan Dio manggut-manggut.

"Kenapa aku tidak pernah tahu, ya?" Amy bingung sendiri. Dio juga mengatakan hal yang sama.

"Itu karena Pak Holan yang memintanya," sahut Dr. Yohan.

Dari luar pintu Rataka mengawasi mereka lalu memutuskan berlalu dari sana.

"Anak itu tidak buruk juga (Yohan)."

Ia melangkah sampai depan lift dan menunggu lift-nya terbuka. Ada Direktur Rossan di sana. Mereka saling pandang. Rataka akhirnya masuk. Pintu lift tertutup.

"Kau tidak menjenguk menantumu yang sekarat?" tanya Rataka sarkas, namun dibuat bercanda.

Direktur Rossan meletakkan tangannya di belakang sembari menjawab bijak.

"Setidaknya dia masih hidup."

Rataka mendecih pelan. Keduanya tertawa.

"Kau tau dokter magang yang kurekomendasikan dulu?" tanya Rataka.

"Ah Yohan ya."

"Iya, aku tidak menduga dia anak yang cerdas."

"Sekarang ini usianya sama denganmu."

"Benarkah? Waktu cepat berlalu. Seperti baru kemarin dia memakai kacamata dan ransel besar serta celana panjang yang lebar. Persis anak kutu buku yang kolot. Tapi siapa sangka dia secerdas itu."

"Setelah kau merekomendasikananya, aku juga menjadikannya dokter pribadi Nadia dan juga anggota keluarga yang lain. Aku lebih percaya dengannya."

"Kau mencari tahu asal-usulnya?"

"Hem. Dia anak yang sangat biasa. Keluarganya biasa saja dan lingkungan sosialnya juga biasa saja. Bukankah itu sangat cocok dengan kita," Direktur tertawa. "Benar-benar tipeku. Dia seorang anak berlabel biasa, yang kuinginkan selama ini. Biasa dan sangat-sangat biasa." Direktur mendadak menghela napas.

"Jangan bersedih begitu," Rataka menyenggol lengannya. "Bukankah kau bisa mengangkatnya sebagai putramu?"

"Apa? Kau pikir aku tidak pernah berusaha, huh?"

"Ha?! jadi kau benar-benar pernah memintanya jadi putramu?! Ha ha, konyol sekali padahal aku tadi cuma bercanda."

"Sialan kau, kakek tua!"

"Siapa yang kakek di sini, ha ha."

Rataka tertawa puas sedang direktur cemberut dan membuang muka.

"Lalu apa jawaban anak itu?"

"Lain kali saja kuceritakan. Sebal aku dengar ketawamu yang kayak mak lampir itu."

Ting!

Lift berhenti dan terbuka.

Direktur keluar dengan perasaan jengkel, sedang Rataka masih menekan perutnya karena mulas tertawa.

"Ada-ada saja kakek tua itu," ujar Rataka saat pintu tertutup lagi.

Direktur mengingat kembali saat dia menawari Yohan untuk dijadikan salah satu bagian dari keluarga Satria. Jawabannya saat itu benar-benar membuatnya terkejut bukan main.

"Setiap aku mengingat jawaban anak itu, aku selalu merasa bersalah karena terlahir kaya di dunia ini, argggh." Direktur frustasi sendiri.

***

Arvy kembali ke bar. Ia melangkah menuju ruangannya, lalu duduk sembari menyandarkan punggungnya di kursi. Diingatnya lagi tadi saat ia masih bersama Amy di parkiran. Saat kedua tangan keponakannya itu gemetaran dan ekspresinya yang takut padanya. Arvy menghela napas berat. Tidak bisa membayangkan bagaimana ia menghadapinya kedepannya.

"Apa yang harus aku lakukan setelah ini?"

Tiba-tiba seorang karyawan mengetuk pintunya. Arvy menyuruhnya masuk. Pegawai itu mendekat.

"Ada apa?"

"Apakah anda ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi kemarin malam?"

Arvy memperbaiki duduknya. Ia sedikit tegang. Sebenarnya yang ia katakan pada Amy adalah spekulasinya, namun ia tak menyangka Amy akan memeberi respon yang sesuai dugaannya. Ia sendiri tidak terlalu ingat apa yang sudah terjadi. Sampai akhirnya pegawai itu menjelaskan semuanya.

Pegawai itu mengaku tidak sengaja mendengar gelas yang jatuh, tidak ada karyawan yang berani mendekat. Tapi dia memberanikan diri, saat itulah dia melihat saat membuka pintunya sedikit. Bahwa Arvy memang merusak baju yang Amy kenakan dan mendorongnya ke sofa lalu menindihnya.

Arvy tertegun begitu mendengar bahwa apa yang ia katakan pada Amy memanglah kenyataan. Ia menghela napas berat.

"Aku benar-benar pria br*ngsek," Arvy menutupi matanya dengan telapak tangan.

***

Dio melirik tangan Amy yang dibalut.

"Tanganmu itu," ia ragu. "Benar-benar terluka saat mengupas buah?"

"Iya." Amy meliriknya sekilas. "Kenapa? Kalau tidak percaya tanya saja pada Alfa."

"Oh iya, dimana anak itu?"

"Alfa?"

"Tentu saja dia ada di…" Amy mematung.

Mereka berdua duduk di sofa dekat ranjang ayah. Amy teringat sesuatu. Ia berlari mendekati ayahnya dan melihat wajah teduhnya yang tidur terlelap. Namun sedetik kemudian wajah itu tiba-tiba berubah menjadi orang lain. Seketika wajahnya berubah menjadi Alfa. Alfa tengah terbaring di sana.

"Alfa!" teriaknya panik.

***

Masa sekarang

"Alfa!"

Amy membuka matanya dan mendapati ia tengah tertidur di bahu kakaknya di ruang tunggu operasi.

"Mimpi buruk?" Dio khawatir.

Amy menatap nanar udara kosong di hadapannya. Keringat mengalir di pelipisnya dan napanya tersengal.

"Alfa? Alfa bagaimana?"

Dio menunduk sedih, lalu melihat ke arah ruang operasi. Amy menyadarinya.

"Kau bermimpi buruk?"

"Tidak," bohongnya. Amy menunduk lalu bersandar di bahu kakaknya lagi.

"Kau mau minum sesuatu?"

"Aku mau melihat Alfa dulu."

"Sudah lama sekali aku bermimpi tentang masa lalu. Apa fyber-fyber sialan itu berusaha mengecohku?" batin Amy.

Beberapa jam kemudian, dokter dan suster keluar. Amy dan Dio mendekati mereka.

"Bagaimana, Dok?" tanya Dio.

"Terjadi pendarahan di kepalanya. Dan juga…" Dokter ragu. "Dia memiliki trauma akibat pukulan."

"Apa? Apa maksudnya itu, Dok."

"Ini sangat berbahaya, nanti saya jelaskan. Namun untuk situasi saat ini dia baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar. Sebelum itu sepertinya anda harus melaporkan ini ke polisi."

Dio dan Amy saling pandang tak mengerti. Dokter kemudian menjelaskan.

"Luka di kepalanya akibat dipukul oleh bayu balok seukuran dua lengan laki-laki. Kami juga menemukan bahwa ia disiksa untuk jangka waktu yang amat lama, karena kami menemukan luka lama di punggung dan dadanya. Sepertinya pasien sering mengalami kekerasan atau penyiksaan."

"Apa maksudmu, Dok?!" suara Amy meninggi, ia tak percaya mendengarnya. "Selama ini dia baik-baik saja denganku! Dia tidak pernah kesakitan sebelumnya!"

"Apa anda yakin?"

Amy tercengang. Ia ingat-ingat lagi. Saat mereka melawan hantu atap apartemen, Dio sempat membuka beberapa kancing bajunya karena kegerahan. Amy tak sengaja melihat ada lebam hitam di sana. Sadar akan tatapan Amy, Alfa segera mengancingkan kembali kemejanya.

"Kau terluka?"

"Ah ini cuma jatuh. Apa kau lupa kau lupa kita sering bertarung dengan para hantu. Kau bahkan tidak sadar kalau aku terluka gara-gara itu. Harusnya kau melindungiku sialan!"

"Cih."

Mereka berdua tertawa.

Sesaat setelah mengingatnya Amy terduduk di lantai. Ia mengetahui keanehan namun tidak pernah berpikir macam-macam sebelumnya.

"Kenapa? Kenapa Alfa menyembunyikan hal sepenting ini dariku? Kenapa?!" Amy berteriak sembari menangis.

Dokter hanya menunduk. Ia meminta Dio datang ke ruangannya untuk informasi penyakit lebih lanjut. Setelah itu dokter meninggalkan mereka.

Dio membantu adiknya berdiri lalu mendudukkannya di kursi tunggu.

"Sejak kapan dia dipukuli, Kak?" Amy menangis, ia meracau sejadi-jadinya karena terlalu shock. "Siapa yang memukulinya? Kenapa dia memukuli Alfa sampai seperti itu? Apa yang orang itu mau?"

"Amy!" teriak Dio sembari memegang kedua bahunya. Ia menyadarkannya dari kepanikan.

"Kakak…"

"Kau harus kuat. Kita harus mencari orang itu."

"A…apa?"

"Kita harus menemukan orang yang melakukan ini pada Alfa."