Chereads / The Gladiol / Chapter 17 - Nekrolalia

Chapter 17 - Nekrolalia

"Siapa dia?" batin Dio.

Amy membuka matanya perlahan dan mendapati seorang pria dewasa menatapnya. Pria itu memiliki mata sipit yang tajam. Telapak tangan kanannya diletakkan di dahi Amy.

"Syang sekali, kau tidak akan mengingatku setelah ini, Nak."

Sesaat kemudian ia berhembus seolah angin menyeretnya dalam diam.

Whuuushhh

Waktu berputar kembali. Dio berlari menyeberang jalan dan mendapati Amy tergeletak sendirian. Pria asing tadi telah menghilang, tanpa jejak.

Dari jauh Rataka menatap keduanya.

"Rupanya si sialan Ando lebih gesit dari dugaanku."

Ia memegang sebilah pedang panjang mirip samurai berwarna keemasan, namun sisi bawah pedang itu bercucuran darah. Rataka mengangkat pedangnya ke depan muka dan memeriksanya dengan jeli.

"Liska chaaaan, kau pasti kesakitan. Maafkan aku, yah" Rataka memasang wajah cemberut yang imut sembari mengelus pedangnya yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah merah. "Setelah ini aku akan memandikanmu dengan kembang tujuh rupa. Aku janji, huhu."

***

Di dalam kereta yang melaju, Rataka menggendong sebuah tas berbentuk gitar di punggungnya. Tentu saja hal itu untuk menyamarkan keberadaan pedang yang dibawanya. Ia berdiri di samping pintu, sembari berpegangan pada pegangan gantungan yang berbentuk segitiga. Kanan kirinya penuh dengan orang-orang yang memiliki aura yang berbeda-beda, namun sejatinya sama. Di matanya, ada yang berwarna merah menyala, hitam legam, putih bersih dan lainnya. Aura manusia terpancar di sekitar tubuhnya, seolah menempel di sisi badan mereka. Mulai dari bahu, lengan, hingga ubun-ubun. Ada seorang laki-laki botak yang menerima telepon, memiliki warna merah muda yang hangat. Ada juga perempuan pendiam yang memakai headphone, memiliki aura berwarna hitam pekat. Ada juga yang memiliki aura oranye, nila, ungu muda dan lain-lainnya. Manusia memang memiliki aura yang berbeda-beda, namun sejatinya mereka sama.

Seorang anak kecil yang duduk di depan Rataka, terus menatapnya dengan penasaran. Ia berusaha menghindari tatapannya, ia tidak nyaman dengannya. Hingga anak kecil itu bertanya.

"Apa kau menggendong sesuatu di punggungmu?" tanyanya dengan polos.

"Eh jangan tanya pada paman itu," kata ibunya yang duduk di sampingnya. Ia minta maaf pada Rataka.

"Apa tidak berat?" tanya anak itu lagi. "Apa itu pedang sungguhan?"

"Kamu ini tanya apa sih. Jangan aneh-aneh," tegur ibunya lagi.

Rataka hanya tersenyum. Ia melihat aura magenta di diri anak itu.

"Padahal kamu masih kecil, tapi tahu apa yang Paman bawa," Rataka memegang puncak kepalanya.

"Darimana kau mendapatkan pedang itu, Paman?"

"Maafkan putraku ya. Dia sering menonton acara animasi perang-perangan di televisi," Ibunya nampak merasa bersalah.

"Apa kau akan menuju ke rumah sakit?" tanya Rataka.

"Bagaimana anda tahu?" Ibu anak itu heran.

"Hanya menebak saja. Kalau begitu semoga selamat sampai tujuan. Saya berhenti di sini."

"Baiklah. Silahkan."

Kereta berhenti, pintu terbuka. Rataka melambai pada anak kecil itu sembari melempar senyum. Ia juga mengangguk sopan pada ibu anak itu.

"Bu, aku tidak bohong. Paman itu tadi bawa pedang di punggungnya. Aku bisa melihat."

"Hush jangan aneh-aneh. Paman itu membawa gitar, bukan pedang. Mungkin dia suka bermain band."

"Band itu apa, Bu?"

Rataka samar-samar mendengar pembicaraan ibu dan anak itu ketika pintu tertutup. Ia memasukkan telapak tangannya ke saku dan berjalan keluar stasiun.

"Ada begitu banyak anak istimewa yang menarik di dunia ini. Orang dewasa lah yang tidak tahu apa-apa. Sayang sekali." Rataka tersenyum simpul.

Sesampainya di sebuah gedung kosong, Rataka memasuki pintu masuk yang sudah rusak total, berkarat, berdebu dan usang. Hampir sudah tidak berfungsi.

Ia berjalan lurus hingga ke ujung. Ada sebuah tangga batu bata yang masih kokoh. Dinaikinya anak tangga tersebut. Terdapat beberapa ruangan yang tidak tertutup, ia masuk ke dalamnya.

"Kau lapar? Kau pasti lelah menungguku." Rataka bersenandung santai sembari menaruh cake cokelat di meja yang kotor. Ia meniup debunya sebelum meletakkan kotak berisi cake kesukaannya di sana.

"Sampai kapan kau akan menyanderaku?" kata seorang pria yang duduk terikat di tengah ruangan, itu adalah Ando. Air mukanya tenang namun nampak bahwa ia menyembunyikan kekhawatirannya.

Rataka membersihkan kursi yang berdebu lalu duduk sembari memotong cake-nya dengan berhati-hati. Ia menikmatinya santai seolah sedang liburan.

"Hemmm enak sekali cake zaman sekarang," Rataka memejamkan mata dan mengunyah dengan penuh penghayatan.

Sedang sandera yang ia sekap, sebal melihat sikapnya.

"Kukira kau kuat, ternyata cuma orang kekananak-kanakkan. Cih!"

"Oi kau tahu bagaimana rasanya hidup di zaman di mana pria hanya mengenakan pakaian dalam? Sungguh, Itu sangat memalukan jika kau melihatnya dari sudut pandang era ini! Aku tidak bohong!" Rataka menggebu.

"Serius kau bercanda seperti ini padaku? Kau menyekapku untuk berbincang hal konyol?"

"Tunggu, tunggu. Apa ya?" Rataka berpikir sejenak, ia bersemangat. "Ah ya! Naik kuda! Wah benar-benar gila. Itu akan jadi wisata di era ini. Aku pikir akan membuka pacuan kuda beberapa tahun mendatang. Kau tertarik? Kau mau bekerja untukku dan jadi pawang kuda?"

"Argggghhhhhh. Bisa gila aku! Kenapa kau tidak mengajakku bertarung saja?! Kenapa membuat orang frustasi dengan cara ini sih?! HUH! Aiiiissshhhh."

Pria yang disekap itu menggoyang-goyang tubuhnya ingin lepas dari ikatan tali yang melilitnya. Rataka memang tidak serius menanggapinya. Ia menyilangkan dua kaki dan menikmati cake cokelatnya sembari menatap Ando yang berlebihan.

"Woi," Rataka tiba-tiba menatapnya. "Mengecoh Amy dengan datang ke rumah sakit dimana ibunya dirawat, hampir menyelakainya dengan truk saat pulang sekolah, dan yang paling baru kemarin…" Rataka memotong cake-nya. Pisaunya berwarna merah karena dipenuhi cream strawberry. "Kau hampir membuatnya tertabrak mobil. Sebenarnya apa motifmu?"

Ando menunduk, tersenyum licik. "Kenapa? Kau tidak bisa menerawang aura milikku? Tidak bisa membaca isi kepalaku? Ternyata kau tidak sekuat yang dibicarakan."

Rataka tiba-tiba tertawa keras.

"Kau masih saja bodoh. Padahal aku sudah menyiapkan cake cokelat beserta cream strawaberry merah kesukaan putrimu."

Degh!

Ando membeku. Matanya terbelalak, mulutnya menganga. Rataka menarik salah satu sudut bibirnya melihat ekspresi Ando.

"Skakmat. Pria ini sudah skakmat," batin Rataka.

"Bagaimana kau…kau benar-benar bisa mengorek isi kepala orang? Katakan padaku, Sialan! Apa yang sudah kau lihat?! Katakan!"

Ando menggerak-gerakkan tubuhnya dengan liar. Kini lebih brutal. Matanya memerah dan giginya menggertak berkali-kali.

"Sudah kuberitahu kan apa mauku tadi. Apa motifmu, eh tidak, maksudku siapa bos-mu yang terlalu bodoh itu, sampai menyuruh ikan teri sepertimu mendekatiku?"

Ando membuang muka. Ia masih keras kepala dan tidak ingin membocorkan rahasianya.

Rataka bangkit dari duduk. Ia membawa pisau plastik yang dipenuhi cream merah dan melangkah mendekat ke Ando.

"Kau tahu apa itu nekrolalia?" tanyanya tiba-tiba sembari mengoleskan cream ke pipi Ando. "Jika kau bisa menjawabnya dengan benar, aku akan melepaskanmu tanpa syarat."

Ando menyipitkan matanya. Ia teringat dengan perintah atasannya yang memakai tudung hitam.

"Kau mungkin akan bertemu dengannya," kata atasan itu pada Ando.

"Aku akan menghadapinya, Tuan."

"Kau mungkin akan mati di tangannya. Kau masih bau kencur."

"Tapi, Tuan…"

"Orang konyol itu maniak metafora."

Ando mengingat percakapan itu, bahkan atasannya yang mengatakan sendiri bahwa Rataka memang orang gila konyol maniak metafora.

"Kutanya sekali lagi, jika kau bisa menjawabnya aku akan membebaskanmu sekarang. Kalau jawabanmu membuatku puas, akan kubelikan cake untuk putrimu sekalian."

"Apa itu penting? Lepaskan aku sekarang!"

"Ah begitu. Rupanya kau tidak tahu, ya. Sayang sekali. Kekuatan zero, otakmu kosong melompong, EQ mu rendah. Aku jadi penasaran, apa bos-mu sebenarnya hanya berniat menyingkirkanmu saja, ya? Hemmm…"

"Apa? Kenapa? Memang apa yang akan kau lakukan? Bunuh saja aku sekarang!"

"'Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?'"

Rataka melantunkan sebuah puisi sembari mengoleskan cream merah ke wajah Ando. Ia tersenyum menikmatinya. Sorot matanya penuh penghayatan. Seolah tengah berimprovisasi di atas panggung. Ia begitu menjiwai puisi itu.

"Apa yang kau lakukan pada wajahku, huh?" Ando berusaha mengelak.

"'Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas. Tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku. Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!'" lanjutnya membaca puisi.

"Dasar maniak puisi Sialan! Kau kira aku semudah itu tertipu? Atasanku yang menjaga putriku sekarang. Kau jangan macam-macam, Br*ngsek!"

Rataka terhenti ditengah-tengah. Ia terdiam sembari mencerna kata-kata Ando.

"Berapa usia putrimu sekarang? Kau menitipkan putrimu pada atasanmu? Sepertinya kau salah haluan. Apa otakmu dimakan udang sampai menitipkan anak gadis pada atasan?! Sudah jelas atasanmu br*ngsek, Sialan!" Rataka meninjunya hingga mulutnya mengeluarkan darah.

"Ah siapa nama atasan br*ngsek-mu itu? Salmon? Kumon? Jamon? Lain kali aku akan memukulnya untuk putrimu. Ah sial! Sudah lama tidak melihat wajahnya yang jelek itu, aku jadi lupa ingatan."

"Tidak mungkin! Kau kenal petinggi Ramon?" Ando membelalakkan mata. "Bagaimana kau tahu… tidak, tidak. Siapa kau… sebenarnya?"

"Aku? Kau tanya siapa aku?" Rataka menjambak rambut Ando ke belakang dan mencengkeram pipinya. Sorot matanya berubah merah.

"Aku adalah…. orang yang akan memenggal kepala si Ramon sialan itu."

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?

Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas.

Tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku.

Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!

Bait pertama pada puisi Aroma Maut oleh Hamid Jabbar, 2004