Chereads / The Gladiol / Chapter 10 - Paranoid

Chapter 10 - Paranoid

"Aaaaaaaaaaa…."

"Amy! Amy!" Dio memanggil Amy yang bermimpi buruk. "Bangun Amy!"

Amy membuka matanya kaget. Dahinya berkeringat, kedua tangannya mengepal. Ia berteriak-teriak panik dan ketakutan. Dilihatnya Dio di hadapannya dengan raut muka khawatir setengah mati.

"Dio?" pikiran Amy masih melayang.

"Kau bermimpi buruk?"

"Dio!" Amy lega melihat kakaknya masih hidup, hingga memeluknya dengan erat.

Dio tertegun sejenak namun membalas pelukannya sembari menepuk-nepuk punggung adiknya yang gemetaran. Ia bisa merasakan nafasnya yang sesak dan tak beraturan.

Mereka masih berada di dalam mobil. Namun supir terpaksa menepikannya karena kondisi Amy yang mengkhawatirkan.

"Nona baik-baik saja?" tanya supir "Haruskah kita mampir ke kafe sebentar?" ia menunjuk sebuah kafe yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka menepi mobil.

Dio meminta supir untuk mampir dulu ke sana. Ia menggandeng tangan kecil Amy, keduanya masuk ke dalam kafe, supir memayungi merek. Tempat itu hangat dan nyaman, juga tidak terlalu ramai.

"Aku akan memesan susu hangat," kata supir, ia meninggalkan Dio dan Amy yang duduk di sofa, di samping dinding kaca. Mereka masih bisa menyaksikan hujan yang semakin deras. Beberapa orang yang berada di kafe itu mungkin tertahan dan memutuskan keluar sampai hujan reda.

"Apa kau pusing?" tanya Dio.

Amy menggeleng.

"Mau cake?"

Amy menggeleng.

"Sini bersandar, pejamkan matamu sebentar. Rileks-kan pikiranmu." Dio memegang kepala Amy lalu menyandarkannya di bahunya. Sebelumnya ia membuka jasnya, lalu menyelimutkannya pada adiknya. Meskipun Amy memejamkan mata, ia bisa melihat dahinya berkerut dan bibirnya tertarik ke dalam. Seperti mengkhawatirkan sesuatu.

"Sebenarnya apa yang dia impikan sampai jadi sepeerti ini?" batin Dio, namun ia memutuskan untuk tidak bertanya.

Dari luar kafe, seseorang yang mengenakan mantel hitam bertudung memperhatikan keduanya dengan seksama. Sorot matanya tajam dan menakutkan. Orang asing itu nampak kesal, ia mengepalkan tangan dan menggertakan gigi. Rencananya untuk membuat kecelakaan itu digagalkan oleh Amy.

"Sialan!"

***

"Kunci segel itu terlalu berat untuk ditanggungnya. Jika nanti aku masih punya sisa waktu, aku akan membukanya sendiri dengan tanganku tanpa melibatkannya."

"Jadi kau sudah bersiap untuk mati, Holan?" gurau Rataka. Seorang pria muda pemilik bar salah satu kenalan mayor.

Rataka tengah mengelap gelas-gelas kecil kesayangannya. Sedang mayor duduk di depannya yang dihalangi meja bar yang panjang. Rataka meracik minumannya sendiri sesuai keinginan pelanggan, tapi mayor tidak pernah memesan apapun kecuali minuman beralkohol rendah. Mana mungkin mayor pulang dalam keadaan mabuk.

"Meskipun kita setara, apa kau tidak merasa aneh jika orang-orang mendengar kau memanggilk pak tua ini dengan nama?"

Rataka tersenyum. "Apa aku perlu memanggilmu ayah juga?"

"Dasar bocah ini." mayor meneggak minumannya.

"Sekte segitiga merah itu hampir setara dengan kita," kata Rataka tiba-tiba dengan serius.

"Aku tahu."

"Kau harus secepatnya mengajari putrimu cara menangkal mantra hitam. Mereka lebih dekat dari yang kita kira."

"Aku tidak bisa sembarangan. Selama Rossan masih hidup aku tidak bisa leluasa menggunakan kekuatanku. Yah maksudku bukan berarti ingin dia cepat mati. Dia kakek yang cukup baik untuk Amy dan Dio."

"Apa Amy tahu tentang kakeknya?

"Amy tidak tahu. Oh ya, kau ingat saat kuminta menyelidiki Ardana, kakak mendiang isteriku?"

"Ya. Kenapa?"

"Beberapa tahun setelah Nadia meninggal, dia dan keluarganya pindah ke Jerman dan baru pulang baru-baru ini. Isteri dan anak laki-lakinya tidak pernah muncul sejak itu. Tapi dia mengatakan keduanya sedang menikmati pekerjaan hingga terlalu sibuk untuk mengikuti acara makan bersama keluarga."

"Apa kau menaruh curiga padanya?"

"Tidak. Dia mengetahui ayahnya bukan orang biasa. Tapi aku tidak tahu apakah direktur memberitahunya tentang aku atau tidak. Saat kau melaporkan bahwa dia punya kekebalan yang kuat meski tergolong orang biasa dan berbeda dengan Nadia, aku pikir dia sama dengan direktur. Ternyata tidak, tapi baru-baru ini dia agak aneh, sepertinya ada sesuatu yang tak beres dengan keluarganya."

"Apa kau memintaku menyelidiknya lagi?"

"Kali ini tidak. Aku tidak tahu ini firasat baik atau buruk. Tapi aku cukup waspada dengannya. Tidak perlu mengorek dia lagi, selama tidak berulah dia bukan ancaman."

***

Mayor Holan baru kembali sekitar pukul tujuh. Ia melonggarkan dasinya, wajahnya lesu dan kelelahan. Saat ia masuk melewati pintu rumah utama, keadaan hening dan tenang. Tidak terlihat sesuatu yang serius terjadi, namun tiba-tiba pikirannya yang tadi kosong terisi dengan Amy. Ia merasakan putrinya sedang kesakitan.

"Amy!" teriaknya kaget. Ia meletakkan tas-nya di sofa lalu ke dapur mencari bibi. Tapi terdengar suara bibi dari depan.

"Pak Satria! Pak Satria!" panggilnyai dari arah tangga.

Mayor berhenti dan menghampiri bibi yang panik.

"Anak-anak kemana, Bi?!" Mayor khawatir hingga suaranya meninggi.

"Tuan Muda baru saja menelepon kami. Katanya Nona Muda pingsan di kafe."

"Apa!" Mayor memegang dadanya yang nyeri. Ia hampir limbung.

Supir datang dan hendak mengantar mayor, namun ia seketika meraih kuncinya dengan cepat lalu keluar menuju garasi. Supir memanggilnya namun mayor tak menggubrisnya.

Mayor menyalakan mesin mobil, mengemudikannya sendiri keluar gerbang. Di tengah jalan ia menghubungi Dio.

"Ayah!" terdengar suara Dio yang panik.

"Di mana kalian?"

"Kami ada di kafe. Dari arah sekolah ada perempatan jalan, lalu belok kanan. Ada kafe berdinding kaca yang lumayan besar. Kami ada di sana. Ayah cepatlah datang, Amy…Amy pingsan!"

Mayor melajukan mobilnya kencang diatas batas normal. Hujan sudah lama reda meskipun agak mendung. Lima menit kemudian ia sampai. Mayor berlari ke dalam dan melihat pelanggan dan karyawan mengerubungi seseorang.

"Amy!" teriak mayor. Semua orang yang ada di sana menoleh.

Mayor mendekati putrinya. Tubuhnya dingin dan wajahnya pucat, ada sebuah serat tipis seperti sebuah benang terlihat melintas di leher sebelah kirinya. Sesaat hilan,g sesaat muncul lagi seperti berkilauan di dalam kulit. Tentu saja itu hanya mayor yang dapat melihatnya.

"Astaga apa ini!" teriak mayor dalam hati.

"Aku akan membawanya ke mobil." mayor berusaha tenang, lalu mengangkatnya dan membawanya keluar, kemudian masuk ke dalam mobil. "Dio, pak supir, kalian ke mobilku saja. Cepat!"

Mayor berlari sembari menggendong Amy diikuti Dio dan supir. Mayor duduk di belakang sembari menidurkan Amy di pahanya. Sedang supir dan Dio di depan.

"Ayah apa yang terjadi?" Dio berkaca-kaca hingga suaranya serak.

"Untuk sekarang kita ke pulang dulu. Cepat, Pak!"

Supir mengangguk. Mobil melaju meninggalkan kafe.

Tanpa mereka sadar. Diantara kerumunan pelanggan ada seorang yang menyamar menjadi orang biasa. Dia adalah pria bertudung yang sebelumnya mengintai dan hampir membuat mobil yang membawa Amy dan Dio kecelakaan. Sayangnya mayor tidak bisa menyadari keberadaannya karena terlalu panik dan khawatir pada putri semata wayangnya.

Pria itu tersenyum sembari mengeratkan jaketnya. Ia merapatkan maskernya dan kembali memakai topi lalu keluar kafe dengan puas.