Chereads / For a Youth / Chapter 135 - Mimeomia

Chapter 135 - Mimeomia

Beberapa minggu kemudian.

Cherry kini berada di rehabilitasi, ia didiagnosa memiliki gangguan mental yaitu bipolar, ia kesulitan dalam mengontrol amarah. Dr. Roy adalah dokter pribadi yang menanganinya. Ia datang ke rumah utama dan memeriksa keadaannya.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Onyx. Ada Ian dan Zen di sana.

"Kakak kalian baik-baik saja."

"Terima kasih Dr. Roy. Kami sangat terbantu, beruntung kami mengenalmu," kata Onyx.

"Terima kasih, Om," imbuh Zen.

Roy mengelus ujung kepala Zen dan tersenyum hangat.

"Kalian semua anak-anak yang dewasa. Kakak Cherry pasti akan baik-baik saja. Apa kakak-kakak kalian tidak ada di rumah?"

Onyx dan Ian saling melihat. Ia tahu Dr. Roy pasti akan bertanya Elias, Dean dan Sano.

"Mereka..." Ian tak bisa menjawabnya.

Sementara itu Sano dirawat dengan baik oleh Elias sendiri di rumah sakit. Keadaan Sano jauh membaik karena mendapat pertolongan pertama dan operasi darurat dari Elias. Sayangnya ia masih belum siuman. Elias selalu memantaunya.

"Maafkan aku, San." Elias menatap wajah Sano yang teduh dan tertidur.

Dean datang dan membuka pintu. Elias menoleh.

"Bagaimana keadaannya?"

"Sejauh ini stabil. Syukurlah ada banyak stok darah untuknya saat itu."

"Gara-gara aku...Sano jadi begini.." Dean menyesal karena tidak cukup mampu menghindar saat itu. Cherry bahkan berdiri di depannya.

Elias memegang bahunya.

"Jangan menyalahkan diri sendiri. Sano tidak akan senang melihatmu seperti ini."

Namun Dean masih merasa bersalah. Ia menghela napas sedih.

"Cherry?" tanya Elias.

"Kata Dr. Roy dia baik-baik saja."

"Syukurlah."

"Kau sudah menemuinya?"

Elias menggeleng. Ia tak sampai hati menemui Richy. Pria yang sudah membunuh Raya di depan matanya sendiri. Meskipun dari kata-kata Rey bahwa Raya adalah anggota Black Bird yang menjalankan misi. Fakta bahwa Richy sepertinya tidak bersalah membuatnya makin tidak bisa menerimanya.

"Benar kata Cherry. Jika semua orang memiliki alasan, siapa yang harus aku salahkan dari kematiannya?"

Degh

Dari luar Richy ternyata mendengarkan percakapan keduanya. Ia tadinya hendak masuk namun mengurungkan niatnya. Karena merasa tidak pantas menemui Sano apalagi berbicara dengan Dean dan Elias. Mendengar kata-kata Elias benar-benar menamparnya. Ia mengeluarkan amplop dari jaketnya dan merasa tidak pantas menemui adik Raya.

"Apa aku masih pantas menemuinya?"

Richy lalu berjalan menjauhi kamar. Ia memasukkan kembali amplop itu lalu melangkah di koridor dengan murung. Sesampainya di luar rumah sakit, tiba-tiba seseorang memanggilnya.

"Richy!"

Richy menoleh ke belakang dan terkejut mendapati itu adalah Dean. Dean menghampirinya.

"Kau...kenapa di sini?"

"Aku tahu kau di depan pintu tadi. Aku tahu kau menjenguk Sano."

Richy membuang muka.

"Kau bukan pengkhianat, Rick."

"Hentikan. Jangan bicara apapun lagi."

"Elias tidak membencimu. Dia hanya sedih saat tahu bahwa kau diam-diam menjalankan misi sendirian. Dia sedih saat kau dan Raya menyembunyikan hal yang sangat penting darinya. Dia marah karena kalian berdua egois berusaha melindungi Sky Lynx tapi mengorbankan diri sendiri."

Richy tak berani menatap Dean. Matanya berkaca-kaca, ia menghapus air matanya.

"Aku ingin kalian membenciku. Kebencian akan membuat kalian terus melanjutkan hidup," kata Richy.

"Semua sudah terjadi. Kembalilah bersama kami."

"Raya...dia menderita Leukimia stadium akhir."

Dean terkejut mendengarnya.

"Saat bertunangan dengan Elias, rambutnya sudah tidak banyak lagi. Dia harus memakai wig. Dan hari itu aku mengantarkannya ke rumah sakit untuk kemoterapi terakhir. Sudah tidak ada sehelai rambut di kepalanya. Black Bird tahu aku adalah penyusup dan Raya adalah pengkhianat. Mereka mengirim Oska dan mengejar kami, dan Raya semakin lemah."

"Oska?"

"Dia pria yang bersamaku kemarin. Dia keluar dari organisasi dan hidup sebagai orang biasa sejak saat itu. Dan darah di bajuku adalah darah yang keluar dari mulut Raya, bukan karena aku memukulinya. Keadaannya sangat kritis. Dia mengatakan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya. Aku hanya menghargai keputusannya, Dean." Richy menatapnya serius. "Gadis itu....dia benar-benar mencintai Elias. Dia tidak lagi menjalankan misi sebagai kaki tangan Rey. Jika kau menganggapku pengkhianat, aku tidak apa-apa, tapi Raya....dia bukan pengkhianat. Dia mencintai Elias sampai harus mati menggantikannya. Kau tahu apa yang dia katakan terakhir kali padaku? Raya berkata bahwa lebih baik aku yang membunuhnya daripada dia yang harus membunuh Elias."

Dean masih shock mendengar cerita itu.

"Aku adalah mantan narapidana, Dean."

"Apa?"

"Aku menyerahkan diri seminggu setelah kejadian itu."

Dean tidak percaya mendengarnya.

"Aku dihantui rasa bersalah pada kalian. Aku tidak bisa menepati janjiku pada Raya untuk menjaga Ria. Dan aku bahkan menyakiti adikku sendiri, Maya. Aku tidak bisa kembali, Dean. Aku tidak bisa menjadi Richy yang kau kenal."

Dean hanya bisa mendengarnya dengan hati berat. Richy mengeluarkan sebuah amplop.

"Berikan ini saat Ria membaik. Ini dari kakaknya. Aku pergi dulu."

"Tunggu. Setidaknya kau harus melihat Sano."

"Kau saja yang kembali dan temani dia," Richy tersenyum sedih. "Aku malu melihatnya. Dia sangat percaya padaku, tapi aku malah melukai kepercayaannya. Sampaikan salamku padanya saat dia siuman."

Setelah itu Richy berbalik dan pergi dari sana. Dean mematung dan hanya bisa menatap punggung Richy yang menjauh perlahan. Ia tak bisa mencegahnya dan semua yang dikatakannya memang benar, bahwa keadaan tak akan bisa kembali seperti semula.

Ting!

Bel kafe berbunyi tanda tamu pelanggan datang. Hari sudah sore menjelang malam. Nagita melihat seorang pria memakai jas rapi dan tampan masuk.

"Silahkan duduk, Tuan." Nagita terperangah melihatnya.

"Apa Maya di sini?"

"Maya?" Gita terkejut sembari menutup mulutnya yang menganga. "Apa ...anda pacarnya?"

Belum sempat Richy menjawab, Maya dan Oska keluar dari arah dapur. Maya terkejut melihat kakaknya di sana. Ia lalu berlari dan memeluknya,

"Kak Richy!"

Maya berlari menghampirinya. Mereka berdua berpelukan senang. Oska melihatnya dengan tersenyum lega.

"Kau baik-baik saja?"

Maya mengangguk. Ia berkaca-kaca.

"Kakak baik-baik saja?"

Richy mengangguk.

"Kakak?!" Gita shock mendengarnya.

Richy lalu memperkenalkan diri pada Nando. Ia menyampaikan terima kasih karena telah menerima Maya bekerja dan juga merawatnya. Oska juga berbicara padanya di luar.

"Apa yang akan kau rencanakan sekarang?"

"Maafkan aku, Ka. Dan terima kasih. Kau sudah merawat Maya selama ini."

"Apa yang kau katakan sih. Aku senang bertemu dengannya." Oska melihat ke dalam dan menatap Maya yang bekerja dengan riang ceria seperti biasa.

Richy melirik tatapan Oska yang tidak biasa.

"Berjuanglah."

"Apanya?"

"Jangan kalah dari Tian."

"Kau gila?" Oska tertawa. "Tian cukup bisa diandalkan. Dia juga pria yang baik."

"Benarkah? Tapi di mataku tidak ada yang sebaik aku dalam merawat Maya."

Oska tertawa mendengar lawakannya. Mereka lega semuanya sudah berakhir, setidaknya untuk saat ini.

Sementara Tian ke kampus seperti biasa. Beberapa area wajahnya masih di plester, bagian pipi kanan dan dahi kirinya. Dion dan Olla bertanya khawatir, namun dia menjawab bohong dan berkata jatuh dari tangga apartemen.

"Maya...bagaimana keadaannya, ya?" batin Tian bertanya-tanya. Namun ia masih belum berani menemuinya.

***

Plak!

"Awww!" Rey meringis dan marah karena Christ menabok kakinya. "Kau pikir kakiku ini apa?!

Christ menatapnya malas.

Rey kakinya pincang setelah kejadian itu dan harus di perban. Mulutnya juga masih banyak bacot. Sementara Joger tangannya patah dan harus diperban dan gantung, namun keadaannya baik-baik saja meskipun banyak area wajah yang di plester. Mereka berdua sama-sama memakai baju pasien. Christ mengunjungi keduanya.

"Kau datang ke bar wanita itu kemarin?" tanya Christ.

"Aku cuma bermain-main," elak Rey

"Gadis bernama Maya itu di sana. Rey memanfaatkan mantan pacarnya untuk mengganggu adik si pengkhianat itu," imbuh Joger.

Rey menyeringai memintanya untuk menutup mulut.

"Apa? Kau memang sudah gila," Christ marah dan lagi-lagi menabok kakinya.

"Awww! Oi hentikan! Sakit tauk!"

Christ sangat kesal melihat Rey.

"Apa aku peduli?"