Dengan angkuhnya Cherry mendekati Elias. Tanpa semua orang duga, tiba-tiba ia mengarahkan pistol itu ke arah Elias.
"Astaga!" Sano kaget.
Begitu juga semua pengawal yang bersamaan mengeluarkan pistol dan mengarahkannya ke Cherry. Dean memberi tanda untuk menurunkan pistol. Situasi jadi semakin genting.
"Che..Cherry. Apa yang sedang kau lakukan?" Dean berusaha mendekat.
"Berhenti!" teriak Cherry saat melihat Dean mendekatinya. "Jika kau menyentuhku, aku akan melubangi kepala pria ini," ancamnya.
"Sebenarnya kau ini kenapa lagi huh? Apa kau tidak bosan selalu membuat kekacauan?" teriak Sano.
"Kau..." Cherry mendekat ke Elias dan berdiri di hadapannya tepat dengan tatapan benci. "Kenapa kau membunuh kakakku?"
Semua orang tambah panik dan terkejut mendengar tuduhan Cherry yang tak berdasar.
"Kakakmu?" Elias sendiri tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Nama asliku adalah Ria, aku adalah adik dari Raya."
"APA?!"
Semua orang kaget. Para pengawal berbisik bahwa Raya adalah tunangan Elias yang dahulu meninggal. Jadi selama ini Cherry tidak lupa ingatan. Semua orang terkejut mendapati fakta yang mencengangkan itu.
Elias hampir limbung, Dean berlari ke arahnya dan membantunya agar tetap sadar. Ia lalu berdiri di depan Elias dan menghadang Cherry.
"Kau...apa ini wajahmu yang sebenarnya?"
"Kenapa? Kau kesal karena aku bukan gadis baik?" Cherry ganti mengarahkan pistol itu ke arah Dean. "Aku sangat menyukai ciuman kita, Dean. Aku mencintaimu sampai-sampai aku ingin membunuhmu."
"Ini salah paham, Cherry, maksudku Ria! Kami tidak pernah membunuh siapapun!" teriak Sano.
"Lalu siapa? Siapa yang membunuhnya?! Siapa yang harus aku salahkan?!" teriaknya putus asa. Ia mengarahkan pistol itu ke kepala Dean.
Semua pengawal mengangkat pistolnya lagi dan mengarahkannya ke Cherry.
"Kubilang turunkan pistol kalian!" teriak Dean.
"Apa kau tahu cara menembak? Lepaskan pistol itu," kata Dean berusaha berbicara halus.
"Berkat seseorang aku jadi tahu bagaimana caranya. Iya kan Tuan Muda?"
Dean menggertakkan giginya kesal.
"Kalian semua membunuhnya! Kalian pembunuh!"
Dorr!
Cherry menembakkan pistol ke langit-langit. Semua orang panik karena Dean meminta semua pengawal menurunkan senjata.
"Ini salah paham, Ria! Kau tidak tahu keseluruhan ceritanya! Kami tidak membunuh Raya!" Dean berusaha meluruskan mati-matian.
"Apa aku harus mati dan bertanya padanya?"
Ria lalu mengarahkan pistol ke dirinya sendiri. Semua orang panik.
"Bagaimana bisa aku membunuhnya?!" Elias menghampiri Cherry. Wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca. "Raya...adalah tunanganku. Dia calon istriku! Kenapa aku harus membunuhnya?!"
Ria terkejut dan tidak tahu menahu mengenai fakta bahwa kakaknya sudah bertunangan. Ia ingat memang ada catatan di buku harian yang mengatakan bahwa Raya menyukai cincin di jari manisnya.
"Aku tahu," kata Ria kemudian. Matanya berkaca-kaca. "Pasti gara-gara kau. Gara-gara kau kakakku mati!" Cherry menangis. Ia mengarahkan pistol itu ke Elias, namun kemudian, perlahan ia menjatuhkannya lalu terduduk di lantai dengan pilu.
"Kenapa kau membunuhnya? Kenapa?!" Cherry menangis tersedu-sedu.
Sano mendekat dan mengambil pistolnya lalu menyerahkannya pada pengawal.
Elias membeku mendengarnya. Memang kata-kata itulah yang selama ini ingin ia dengar. Bahwa semua adalah salahnya. Jika Raya tidak bertunangan dengannya, jika ia tidak jatuh cinta padanya. Jika gadis itu tidak pernah datang ke rumah, dia pasti masih hidup.
Elias melangkah sempoyongan mendekati Cherry. Ia berjongkok dan memeluknya. Keduanya menangis pilu. Dean dan Sano tidak tahu harus melakukan apa.
Setelah itu, Elias dibawa ke kamar karena sakit. Sedangkan Cherry dikurung di kamar seperti biasanya dan dijaga ketat.
Ia sebenarnya mendengar percakapan Dean dengan Sano kemarin saat membahas akan memburu seorang gadis bernama Maya. Semakin ia memikirkannya semakin marah. Ia lalu nekat mengambil pistol di ruang gym dan melampiaskan amarahnya.
"Kau memberiku uang banyak, tapi kau meninggalkan aku. Apa gunanya?" Cherry menangis di ranjang. Ia mengingat waktu yang ia habiskan bersama kakaknya saat masih kecil.
Ia sejujurnya tidak ingin menembak siapapun. Namun kini, Cherry menargetkan Maya. Ia menginginkan seseorang bertanggung jawab atas kematian kakaknya.
***
Dean menunjukkan foto-foto dimana Maya tinggal yang didapat dari anak buahnya yang menguntitnya.
"Kita harus membawa gadis ini."
"Menculiknya? Kita bukan penjahat Dean! Aku sudah bilang untuk menghilangkan opsi itu kan?" Sano marah mendengar Dean masih memikirkan cara itu.
"Aku tidak bisa menunggu lagi. Aku tidak mau melihat Elias menderita lagi, dan juga Cherry."
"Aku juga menginginkannya, bukan cuma kau!"
"Cuma cara itu agar si pengkhianat Richy datang ke hadapan kita!"
Sano menghela napas. Ia memegang salah satu foto Maya yang keluar dari pintu apartemen nomor 1011.
"Kalau begitu aku akan mendatanginya."
Oska tengah berjalan santai di jalan setapak menuju apartemen, namun ia melihat orang berbadan besar yang mencurigakan. Ia tahu semua penghuni apartemen ini dan tidak ada yang berbadan kekar sepertinya. Secepat kilat ia bersembunyi di pagar tanaman dan memperhatikan orang itu dengan hati-hati.
Sano berjalan di lorong dan merasa ada seseorang yang mengikutinya di belakang. Ia lalu memutuskan untuk lewat tangga darurat. Oska yang berbelok ke arah tangga kehilangan jejaknya. Tiba-tiba.
Hap!
Sano mengunci leher Oska dari belakang. Oska susah bergerak di tempat sempit, tangan Sano sangat besar sampai ia kesulitan bernapas.
Oska mengangkat kakinya dan menumpukannya ke dinding lalu memutar tubuhnya hingga kuncian Sano terlepas. Ia lalu melayangkan tinju ke wajah Sano, namun Sano menghindar dan tinjunya mengenai dinding. Sano mengambil kesempatan itu untuk memukul wajahnya. Oska oleng dan hampir jatuh namun ia berdiri dan memukul perutnya. Sano terpental mundur.
"Bocah ini boleh juga," batin Sano.
"Sialan!" Oska mengincar kaki kanannya.
Ia memutar tubuhnya dan menendang kaki Sano dengan kakinya. Sano terkejut melihat gerakan Oska yang gesit, ia oleng dan jatuh. Oska meraih kerahnya dan meninjunya, Sano menangkisnya. Ia masih dalam posisi terduduk.
"Siapa kau?" teriak Oska .
"Aku yang harusnya tanya!" Di posisi Oska yang jongkok, Sano melihat ada tanda tato di bahu kanan pria itu. Ia curiga, lalu berdiri dan memukulnya. Lalu kembali menguncinya di kuncian leher. Sano menyingkap kaus bagian bahunya dan betapa terkejutnya melihat ada tato elang di sana.
"Black Bird, sialan!" teriaknya lalu menendang Oska hingga jatuh tersungkur.
Sano berlari naik ke atas. Oska memegang punggungnya yang nyeri. Ia berdiri dan mengejarnya. Sampai di atas Sano sampai di depan pintu 1011, kamar Maya. Tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke arahnya dari samping. Itu adalah Oska.
"Masih belum menyerah kau?!"
Bugh!
Sano memukulnya lagi. Oska juga balas memukulnya. Koridor itu dipenuhi keduanya yang sedang bertarung. Sano lalu meraih kerahnya dan hendak memukulnya dengan pukulan pamungkas.
"Sano!"
Sano terkejut mendengar seseorang memanggilnya. Ia tak asing dengan suaranya.
"Ri...Richy?"
Richy mendorong Sano dan membantu Oska berdiri. Ia mengira Richy berkomplot dengan Black Bird.
"Richy, kenapa kau bersamanya?"
"Sano, aku juga punya tato itu." Richy menyingkap kaus dan menunjukkan pinggang belakangnya.
Sano terkejut melihat Richy juga memiliki tato yang sama.
"Apa kau benar-benar pengkhianat?" Sano tidak percaya melihatnya. Ia menggeleng.
"Bukan itu maksudku!"