"Ajari aku menembak," pinta Cherry.
"Biasanya anak gen Z punya mata yang buruk karena kebanyakan main ponsel."
"Apa itu ada hubungannya?"
Dean tak menjawab, ia masih sibuk menggerakkan mouse dan mengerjakan sesuatu di laptopnya.
"Ah Deaaan." Cherry merajuk lalu duduk di pangkuannya. "Aku punya mata yang bagus, mataku tidak minus. Aku pasti bisa menembak dengan baik."
"Kau kira mata sehat saja cukup?"
"Terus apa lagi?
"Kau lahir tahun berapa?"
"Oi kau harus minta maaf pada semua anak yang gen Z di dunia ini. Kenapa kau menjudge huh?"
"Jangan bilang kau.... lahir setelah tahun 2000." Dean berhenti melihat laptopnya dan menatap Cherry yang duduk di depannya.
"A...apa?" Cherry memeluknya dan merayunya. "Tidak. Aku lahir tahun....em tahun berapa ya...99. Aku lahir sebelum tahun 2000."
"Ketahuan sekali kalau bohong." Dean tersenyum miris. "Menyingkir dariku."
"Tidak mau! Sampai kau mau mengajariku menembak."
Dean berdiri namun Cherry masih bergelayutan dan menempel di depannya. Dean akhirnya menyerah dan membawanya ke tempat latihan menembak di lantai dua. Ada Sano juga di sana yang masih nge-gym. Tempat menembak dan gym berdekatan.
"Sano!" teriak Cherry.
"Hai kalian berdua." Sano mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya. Ia mengambil minumannya dan menghampiri mereka yang baru masuk.
"Mau latihan?" Sano menatap Dean yang memakai kaus dan celana pendek, sedangkan Cherry memakai crop top dan rok pendek. "Kalian sudah seperti couple."
"Kami kan memang sudah couple," Cherry memeluk lengan Dean. "Iya, kan?"
Dean cuma memegang keningnya.
Sano menepuk pundaknya dan berlalu dari sana.
"Cherry, kau harus konsisten kalau mau merayu es ini."
"Siap!" Cherry memberi tanda hormat dan tersenyum lebar pada Sano.
Setelah Sano keluar, Dean mengajaknya untuk menuju ruang menembak.
"Apa biasanya selalu sepi di sini?"
"Em. Tidak ada jadwal latihan anggota hari ini."
"Apa kita barus saja mengusir Sano?" Cherry merasa bersalah.
"Kau merasa bersalah?" olok Dean.
"Cih."
"Dia sudah di sini sejak subuh."
"Subuh?" Cherry terkejut.
"Kau tidak lihat badannya yang paling kekar dan besar di antara kami. Dia mantan boxer."
"Wah? Benarkah?" Cherry berbinar. "Harusnya aku menyukai Kakak Sano saja."
"Apa? Kau berubah cuma gara-gara itu?"
"Kenapa? Lagian kau kan tidak menyukaiku." Cherry cemberut.
Tanpa Cherry sadari Dean meliriknya dari samping.
Dean mengambil pistol di loker khusus yang ada di sana, lalu mengajak Cherry masuk ke sekat-sekat yang terpisah dengan kaca transparan. Ia memakaikan Cherry penutup telinga.
"Pegang baik-baik pistolnya."
Cherry mengangguk dan mengikuti instruksi Dean, baru kali ini dia menurut.
"Tubuhmu akan terpental ke belakang dan itu bisa membuat kau menjatuhkan pistolnya karena kaget. Dorongan dari tembakan pistol bisa membuatmu terdorong atau terjatuh."
"Sekuat itu?"
"Iya. Pegang seperti ini."
Dean memegang tangan Cherry dengan lembut, membuatnya terkejut dan pipinya merona.
"Bersiap!" Dean dan Cherry sama-sama fokus. "Tembak!"
Dorr!
Cherry terdorong ke belakang namun tubuhnya ditahan Dean. Mereka berhasil menembak di titik 8.
"Kau tidak buruk juga," komentar Dean. "Kau coba sendirian."
Cherry lalu mencobanya sendiri. Sekali, dua kali, tiga kali. Dean manggut-manggut melihat progress Cherry yang bagus. Mereka lalu beristirahat sebentar.
"Apa aku hebat?" Cherry tersenyum lebar.
"Kau senang?"
"Tentu saja. Belikan aku pizza nanti ya."
"Ha?"
"Hehe." Cherry mengengeh.
Dean tersenyum melihat senyumannya yang lebar. "Apa dia selalu secantik ini?" batinnya.
"Dean!" teriak Cherry tiba-tiba padahal dia duduk di sampingnya.
Dean menoleh dan cup!
Cherry tiba-tiba mengecupnya. Dean membeku, hatinya berdegup kencang, sedangkan gadis itu tertawa kecil seolah menggodanya.
"Apa kau benar-benar menyukaiku?"
"Tentu saja?"
"Atau uangku? Rumahku?"
"Tentu saja aku juga suka uangmu." Cherry lalu melingkarkan lengannya di leher Dean. "Aku juga suka tubuhmu."
Dean dengan segera melepaskannya dan mendorongnya.
"Hentikan. Aku tidak bisa menahannya lebih dari ini. Kau paham?"
"Tidak. Aku tidak paham. Kalau kau tidak bisa menahannya, lepaskan saja." Cherry mendekat lalu mengecupnya lagi.
Dean lalu menarik kepala Cherry dan mendekat. Ia memegang tengkuk lehernya.
"Kau tidak akan bisa menanganiku."
"Lakukan saja," bisik Cherry.
Dean mendekat dan menciumnya panas.
Ngiiingg Ngiingg
Tiba-tiba kepala Dean berdenging. Ia refleks menjauh dari Cherry sembari memegang kepalanya yang nyeri.
"Argh!"
"Kau kenapa?" Cherry khawatir.
Namun suara Cherry seperti tenggelam dalam udara.
"Dean! Dean!"
Dean hampir pingsan. Muncul kilasan-kilasan saat dirinya bermain tembak-tembakan bersama seorang anak laki-laki yang ia panggil kakak, di sebuah rumah yang mewah namun bukan rumah Gabriel. Dirinya duduk di kursi roda dan lagi-lagi ada suster yang tak ia kenali tersenyum lebar.
"Kak Andra!"
Anak yang duduk di kursi roda berteriak memanggil kakaknya dengan tertawa riang gembira. Mereka bertiga main tembak-tembakan air dengan bahagia.
"Argghh!" Kepala Dean semakin nyeri, seolah ditusuk-tusuk. Wajahnya pucat dan ia berkeringat. Cherry panik dan hendak menghubungi seseorang namun Dean memegang tangannya.
"Jangan hubungi siapapun."
"Dean! Kau kenapa? Apa kau sakit?" paniknya.
"Tidak. Aku baik-baik saja. Bawa aku keluar dari sini."
Dean kemudian beristirahat di kamarnya, Cherry duduk di tepi ranjang dan menatap Dean yang terbaring pucat.
"Baru kali ini aku melihatnya sakit," batin Cherry merasa bersalah. "Apa karena ciuman tadi?"
Ia lalu naik dan tidur di samping Dean sembari memeluknya.
"Si...siapa kalian?!"
Seorang anak yang duduk di kursi roda didekati dua pria berjas yang tak dikenal. Di tengah hingar bingar taman bermain, tidak ada satupun yang menyadari bahwa itu penculikan. Anak itu dipaksa memakai masker dan kaca mata hitam lalu dibuat pingsan kemudian dimasukkan dalam mobil.
Mobil itu sampai di sebuah rumah. Itu adalah Rumah Gabriel.
"Tidak!!" Dean mengigau dan terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata dan terkejut saat mengetahui bahwa ia hanya bermimpi.
"Mimpi apa itu tadi?" napasnya tersengal.
Saat ia kembali bernapas normal, ia merasa lengan kirinya keram. Ia menoleh dan mendapati Cherry tidur di sampingnya dengan memeluknya.
"Cherry?" Dean lalu menghela napas lega. Ia mengingat ciuman di gym tadi. Ia menutupi matanya dengan lengan. "Astaga, apa yang sudah aku lakukan?"
***
Cekrek cekrek
Seseorang dari jauh, pria bermasker hitam dan bertopi hitam diam-diam mengambil foto Maya diam-diam saat dia berjalan melewati jalan setapak menuju pintu utama apartemen. Pria itu bersembunyi di balik tanaman pagar. Dari atas Richy tersenyu melihat adiknya dari atas. Namun senyumnya berubah marah saat ia melihat pria penguntit itu. Richy segera berlari ke bawah, namun di tangga, Oska melihatnya lalu menghentikannya.
"Richy! Kau mau kemana?" bisiknya cemas.
"Ada seseorang yang mengikuti Maya!"
"Apa!"
Richy turun dan berlari, Oska mengejarnya dan mencekal tangannya.
"Tunggu, Rick! Aku akan menggantikanmu."
"Apa?"
"Bahaya jika mereka tahu kau tinggal bersama Maya. Tetaplah di atas, aku akan turun."
Richy tak bisa berpikir jika itu sudah menyangkut Maya. Ia lalu sadar dan meminta tolong pada Oska.
"Aku terlalu gegabah."
"Naiklah, perhatikan pria itu dari atas. Cepat!"
Richy mengangguk. Oska lalu turun dan menghampiri Maya.
"Maya!"
"Kak Oska!"
Maya melihat Oska yang berkeringat.
"Kau darimana?" tanya Oska.
"Dari belanja."
"Oh begitu. Cepatlah naik, kakakmu mencarimu."
"Benarkah?"