Chereads / For a Youth / Chapter 99 - Misterius

Chapter 99 - Misterius

Kotak anting itu nampak cantik terkena sinar-sinar lampu, memantulkan warna yang mewah dan mahal. Maya makin sedih, dirinya merasa tidak lebih berharga dari kotak anting itu. Ia memegang jarinya dimana cincin yang ia berikan pada Nico berada.

"Mana mungkin aku percaya kalau cincin itu murah? Dia pikir aku bodoh atau apa?" Maya mengingat saat Nico bilang itu cincin murah. Matanya berkaca-kaca.

"Apa aku pantas berteman dengan orang-orang itu? Nico, kak Tian, Kak Oska, Kak Nando dan Ella..." Maya merasa buruk.

Tiba-tiba dia pergi jalan entah kemana, ia sampai pada sebuah tempat mirip toko namun bernuansa aneh. Terdapat sebuah papan kain yang menutupi bagian teras, tertulis Tenda Peramal. Seorang pria muda tampan tiba-tiba keluar dari sana dan menyapa Maya.

"Apa anda ingin masuk?"

"Eh?" Maya menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada siapapun.

"Saya bertanya pada anda, Nona."

"Pada saya?" Maya tersadar hanya ada dirinya seorang di situ. "Apakah di sini memang ada tempat peramal?" Maya bingung sendiri karena seingatnya tidak ada tempat itu setiap dia pulang.

Ia mengecek jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 17.00 sebentar lagi dia harus bekerja di bar. Namun pria itu tiba-tiba mendekatinya dan tersenyum lebar dengan tampan seolah wajahnya bersinar. Maya terpana. Pria itu menggandeng tangannya lembut lalu mengajaknya masuk ke dalam.

"Duduklah," katanya.

Tempat itu seperti misterius. Ada banyak pernak-pernik ramalan dan juga vas-vas mahal. Dia duduk lesehan di meja kecil dengan banyak kartu. Ada bantalan bantal merah untuk duduk. Maya hanya bisa melihat-lihat sekitarnya yang asing namun indah untuk diperhatikan. Apalagi pria itu juga nampak seperti orang baik.

Seorang perempuan tambun dengan membawa kipas angin berwarna merah di tangannya. Ia duduk di hadapan Maya.

"Pria tampan itu adalah asistenku," kata perempuan itu. Ia memakai semacam headband yang juga berwarna merah menyala dengan bulu cantik warna-warni, khas ibu peramal.

"Saya tidak punya uang untuk kemari, tapi pria itu...."

"Ssssttt!" peramal meletakkan jarinya di bibir Maya. "Tidak apa sayang, tidak apa. Kau punya darah domba yang tersesat. Darahmu manis dan mengundang para pria tampan sepertinya untuk mendekat."

"Apa? Do...domba?" Maya tidak percaya, bahkan dalam ramalan pun dia selalu dapat karakter lemah.

"Kenapa kau tampak kesal? Kau punya darah domba yang menarik para serigala untuk memangsamu."

"Ya, saya adalah domba!" Maya tiba-tiba marah.

Peramal dan asistennya bingung.

"Saya memang terlahir lemah dan makan rumput! Saya akan jadi domba selamanya!" Maya berdiri lalu keluar dari sana dan pergi dengan hati dongkol.

"Padahal maksudku kalau serigala adalah para laki-laki. Serigala yang melihatnya sangat tertarik dan ingin terus menempel padanya."

"Apa itu tadi? Dia marah?" tanya asistennya sembari menahan tawa.

"Entahlah," sahut sang peramal santai. "Mungkin dia memang tidak suka menjadi domba yang diburu para serigala."

Peramal itu hanya mengukir senyum sembari kipas-kipas dengan kipas bulunya.

***

Brak!

Pagi hari yang biasa, Tian mengawali harinya dengan perasaan jengkel karena pertemuan kemarin. Sangat menjengkelkan.

"Pergi tanpa pamit, sekarang apalagi? Apa dia benar benar niat masuk club? Dan si Nico sialan itu... ah sumpah deh!" gerutu Tian sembari membuang sampah di depan.

Oska keluar dengan rambut basah, ia membawa kantong plastik dan juga hendak membuang sampah. Mereka berdua canggung. Tian berhenti menggerutu.

"Bagaimana keadaan Maya?"

Tian menoleh dengan terkejut.

"Apa dia baik-baik saja?" Oska menatapnya.

"Kau... Bagaimana..."

"Hem."

Tian menghela napas dan mendecakkan lidahnya. Ia merasa malu sekaligus merasa buruk.

"Aku melihat kalian kemarin."

"Tidak tahu. Aku cuma sangat kesal," sahut Tian setengah marah.

"Pada Maya atau pada pria yang satunya?"

"Entahlah."

Tian menceritakan mereka bertiga yang sempat ngobrol di kafe.

Flashback

Nico menyodorkan berbagai macam dessert dan minuman choco milkshake kesukaan Maya di depannya. Dia merasa canggung sekaligus excited karena akhirnya melihat Maya lagi.

"Makan yang banyak, May."

"Nico, aku..."

"Kenapa? Kau tidak suka? Kau biasanya menyukai semua dessert. Apa kau mau yang lain? Aku akan membelikannya." Nico hendak berdiri, namun Maya memegang tangannya.

"Hentikan, Co," pinta Maya. "Aku tidak ingin makan apapun."

Tian di luar cafe, hanya bisa melihat keduanya yang entah membicarakan apa. Ia berdiri di luar sembari memasukkan kedua tangannya dalam saku dan memperhatikan keduanya dari dinding kaca.

"Apa sih yang mereka bicarakan?" gumamnya. "Dasar Nico sialan. Kenapa aku harus menunggu di sini sih!"

Tian menghela napas berat.

"Aku minta maaf karena tadi berteriak. Aku tidak bermaksud begitu, May."

"Tidak. Ini salahku. Aku yang membuatmu memilih pilihan sulit tadi. Aku cuma mau mengatakan kalau kau tidak seharusnya menyukaiku. Maksudku..." Maya sendiri nampak bingung karena mendapat pengakuan cinta dari sahabatnya. "kenapa kau menyukaiku? Aku miskin, jelek, pendek, bodoh. Kau menyatakannya dengan begitu mudah. Harusnya kau tahu aku tidak mungkin dalam hubungan dengan seseorang. La..lagipula kita teman lama kan?" Maya canggung, ia malu menatap Nico sekarang.

"Maaf membuatmu tidak nyaman. Maaf sudah merusak pertemanan kita." Nico murung.

"Astaga...." Maya memutar bola matanya. "Bukan itu maksudku, Co."

Nico mendongak. "Lalu?"

"Keluargamu sudah sangat baik. Kak Andra dan Kak Nina, kau..." Maya gugup. "Kau juga sangat baik padaku. Sekarang aku ingin berhenti, aku ingin berhenti menyusahkan orang lain."

"Kau...mungkinkah... kau sengaja meninggalkan kotak anting di mobilku?" Nico menyadarinya.

Maya tertegun, Nico akhirnya tahu itu.

Sebenarnya malam itu Maya memang sengaja meninggalkannya di sana.

"Ya ampun Maaaaay," Nico menyisir rambutnya ke belakang frustasi. Ia lalu mengambil kotak anting itu di tasnya.

"Baiklah. Aku tidak akan memintamu jadi pacarku atau apa. Aku tidak akan menuntutmu banyak hal. AKu cuma ingin kau menyayangi dirimu sendiri. Aku cuma..."

"Tidak bisa," sela Maya. "Aku tidak bisa melakukannya. Ibuku....sedang...." Maya tak kuasa menceritakannya.

"Ibumu kenapa?"

"Pokoknya ada masalah. Sekalipun aku tak pernah memikirkan tentang kencan dan pacaran. Aku tak punya waktu memikirkannya. Aku..." Maya menunduk, tangannya mengepal di atas paha. "Aku akan menangani semuanya. Aku yang akan menyelesaikan semua masalahku. Jika aku terus bergantung padamu, aku tidak bisa lagi."

"Maya..." Nico baru kali ini mendengar suara hati gadis itu yang sebenarnya.

Gadis itu, dia selalu ceria. Bekerja siang malam, mengerjakan tugas kuliah sampe tidur di perpustakaan, tak pernah makan siang di kantin, gadis kecil itu dan semua setumpuk masalahnya yang tidak ia ceritakan pada orang lain. Nico terhenyak mendengarkannya.

"Jadi, tolong biarkan aku sendiri dulu. Aku juga ingin semuanya kembali normal. Aku ingin pergi kuliah, aku ingin bekerja di kafe Kak Nando, aku ingin main badminton di club, aku ingin baca buku di perpustakaan dan makan siang di kantin. Aku juga...ingin berbaikan dengan Ella. AKu ingin melakukan semuanya!" suara Maya meninggi.

"Maya..."

Terdengar suara seseorang yang memanggil Maya tak jauh dari meja mereka. Nico dan Maya menoleh. Itu adalah Tian.