Chereads / For a Youth / Chapter 92 - Menerobos

Chapter 92 - Menerobos

Maya melihat Jeffry diusir Dean keluar. Sebelum dia melihatnya, maya memutuskan untuk bersembunyi di ujung lorong, dibalik belokan. Ia mengeluarkan ponselnya panik.

"Astaga, kenapa aku harus mengalami ini sih?" gerutu Maya.

Ia menghubungi Mary. Beruntung dia menjawab.

"Nyonya, ada seorang pria yang membawa pistol ke kamar gadis asing tadi."

"Apa?" Mary mengingat-ingat informasi yang didapat dari Onyx. "Apa dia kelihatan di bawah umur?"

"Aku tadi kan sudah bilang kalau gadis itu masih di bawah umur. Dia juga bilang lupa ingatan. Cepatlah kesini Nyonya. Ada pria asing yang membawa pistol," Maya ketakutan.

"Kau tenanglah. Aku akan ke sana. Sampai aku kembali tutup pintu kamar itu."

Setelah panggilan berakhir. Maya mendekat ke pintu dan menutupnya. Meskipun ia sempat melihat pria yang membawa pistol tadi menindih gadis di bawah umur itu. Maya terpaksa tidak ikut campur.

"Apa pria itu mafia? Apa mafia benar-benar ada di dunia ini?" Maya menggeleng, bukan saatnya memikirkan itu.

Setelah mendapat informasi dari Maya, Mary menghubungi Onyx dan saat itulah mereka segera memeriksa CCTV.

"Apa kau tidak lihat itu?" Onyx menunjuk kamera pengawas dengan panik.

"Apa kau khawatir pengunjung VVIP ku bersikap kasar pada gadis itu? Woy! Kau pikir aku...."

"Sebaliknya, aku khawatir kepala pelangganmu itu akan dilubangi pistol oleh Dean."

"Yah, tidak kaget juga sih," sahut Mary.

Onyx berlari keluar dari ruangan setelah melihat pintu kamar terbuka dan melihat Dean masuk ke sana. Onyx berusaha secepatnya sampai di sana. Namun jarak ruang kendali cctv jauh dari kamar VVIP.

Tidak ada yang bisa menghentikan singa ketika marah. Nyawa Jeffry hampir melayang di tangan Dean.

"Sial!!"

Mary ikut berlari keluar menyusul Onyx. Mereka naik lift dengan tergesa.

Sesampainya di sana, ia melihat Onyx bersembunyi di balik dinding dengan wajah lega.

"Kenapa kau tidak masuk ke dalam?" bisik Mary.

"Aman."

"Aman apanya?" Mary panik.

"Tamu VVIP mu sudah keluar dari tadi."

"Ah sial aku sampai lupa," Mary menemukan Jeffry duduk di depan meja bartender dan memesan alkohol. Ia lantas menghampirinya dengan sopan dan mengajaknya ke tempat khusus. Tanpa mereka tahu Maya mengikuti Mary dan menguping pembicaraan keduanya.

"Tuan," panggil Mary.

"Apa kau mempermainkanku! Ada gadis pencuri di sana dan preman yang membawa pistol! Aku benar-benar kecewa dengan tempat ini!"

"Tuan Jeffry! T..tunggu Tuan!" Mary mengikuti Jeffry.

Maya membisu mendengarkan mereka. Ia memang tahu kalau Jeffry itu brengsek, namun ia tidak menyangka kalau dia adalah pria VVIP di bar tempat ia bekerja. Entah kenapa Maya sakit hati mengetahuinya. Ia benar-benar menyesal pernah pacaran dengan Jeffry.

Onyx masih memperhatikan Dean dan Cherry dari luar. Pintu sedikit terbuka, saat melihat keduanya berpelukan, ia akhirnya bisa bernapas lega.

"Akhirnya aku menemukan keduanya dengan aman, huft," ia menghela napas sembari menyandarkan punggungnya di dinding sembari menutup matanya.

Tadi itu benar-benar gawat dan kacau keadaannya. Pistol yang dibawa Dean tidak pernah kosong dan selalu terisi penuh. Onyx sangat khawatir terutama jika Dean jika sudah sangat marah. Ia tidak akan segan menembak siapapun yang menghalanginya. Namun kali ini berbeda, Dean mampu mengendalikannya, tidak seperti dirinya yang biasanya.

"Apakah gara-gara gadis itu?" gumam Onyx.

Mary akhirnya kembali dan melihat Onyx menyandarkan punggung di dinding. Ia khawatir.

"Kau baik-baik saja?"

"Iya. Semuanya sudah aman."

"Syukurlah." Mary menepuk punggungnya. "Kau mengamati mereka sejauh ini. Kau sudah bekerja keras."

Onyx hanya menghela napas sembari menunduk. Ia lelah sekali.

Kediaman utama Sky Lynx

Ian keluar dengan baju pasien sembari melempar apel ke arah Sano yang tengah mondar-mandir di ruang tengah bersama Zen. Sano menangkap apel dengan sigap namun wajahnya kaget.

"Kukira kau lebih butuh vitamin daripada aku," goda Ian. Ia tersenyum simpul.

"Dasar anak ini! Setidaknya bersikaplah sopan dengan orang yang lebih tua darimu!"

"Apa kau tidak capek marah-marah mulu dari tadi huh?"

Ian melihat Zen yang duduk dengan gugup sembari menggigit kuku.

"Kembalilah ke kamarmu," kata Ian. "Semua orang akan baik-baik saja. Tidurlah."

"T…tapi.…" Zen cemberut namun tetap menurut.

"Sudahlah tidur sana," sahut Sano. Ia meletakkan kedua lengannya di ketiak Zen lalu memaksanya berdiri.

"Sana masuk kamar."

Zen akhirnya melangkah menaiki tangga. Ia masuk ke kamarnya dengan wajah yang masih khawatir.

"Kurasa si kacamata (Elias) benar, tidak akan ada yang terjadi malam ini. Subuh nanti mereka akan pulang dengan sendirinya. Kau juga tidurlah," kata Sano.

"Rumah ini tempat shooting sinetron atau apa sih sebenarnya? Aku tidak akan tidur sampai Dean pulang, juga si tengil Onyx yang main kabur," jawab Sano sembari memakan apel itu dengan emosi.

"Terlambat! Kau sudah kuracuni dengan obat tidur di apel itu."

"Apa?" Sano panik lalu menoleh ke arah Ian dengan marah dan takut.

"Bercanda! Hahaha." Ian tertawa. "Rumah ini jadi seperti kuburan. Aku bosan."

"Kurang ajar kau!"

Tiba-tiba….

Brak!

Sano ambruk di sofa.

"Eh?" Ian mematung sembari mengerjapkan matanya "Padahal aku cuma bercanda," ganti dirinya yang panik sekarang. Dia menghampirinya, terdengar suara aneh dari mulutnya.

"Dia tidur? Cih dasar!"

Ian menatap jam di dinding yang ternyata memang sebentar lagi fajar. Ia lalu berbalik dan kembali ke kamarnya. "Aku juga harus tidur dan beristirahat. Mana ada pasien jalan-jalan tengah malam."

Ia meminta pengawal mengambil selimut dan bantal untuk Sano.

***

Cherry tertidur di kamar dengan mengenakan kemeja milik Dean. Dean hanya mengenakan kaus putihnya. Ia duduk di tepi ranjang sembari berpikir serius mengenai pria asing tadi, sesekali ia menoleh ke arah Cherry dan kembali menyelimutinya ketika selimut tebal itu menyingkap dan memperlihatkan paha gadis itu.

Onyx masih di ruangan Mary. Mereka nampak serius dengan pembicaraan yang cukup serius juga.

"Ini hanya dugaanku," kata Onyx

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika dugaanmu benar,"

Mary memegang memory flash disk yang berisi rekaman cctv tadi.

"Simpan itu untukku."

"Bukan hanya kau yang ingin menyelamatkan Sky Lynx. Aku juga akan mencari tahu lebih lanjut."

"Kita lihat saja. Kurasa mulai sekarang, ini akan lebih kompleks daripada sinetron" Onyx tersenyum kecut. "Aku tidak yakin Elias baik-baik sekarang," sambungnya.

Sementara Elias tengah berdiri di depan jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Ia menyingkap tirainya dan melihat pemandangan di bawah sana yang gelap dan tak terlihat apapun. Entah apa yang membuat kedua matanya seolah menyala.

Ia membisu. Wajahnya datar dan dingin. Entah apa yang dipikirkannya.

Paginya….

"Kau sengaja membawa pulang rongsokan ini?"

Elias menyilangkan kedua tangannya sembari sarkas menatap Onyx yang baru saja memarkir motor Ian yang dipinjamnya di garasi bawah.

"Rongsokan?" Onyx memiringkan kepalanya.

"Kau memang bodoh seperti biasanya."

"Kurasa kau salah" Onyx tertawa. "Aku memang tidak lebih pintar dari dokter jenius sepertimu. Tapi ini..." sembari mengelus spion kaca motor "...setidaknya lebih berguna untuk mencari rekan yang hilang, daripada seseorang yang menghabiskan waktunya semalaman membaca buku hanya karena tak ingin terbebani dengan rasa khawatir."

Elias tersenyum remeh. Matanya memicing tajam ke arahnya.

"Kenyataan bahwa makin hari aku makin malas bicara denganmu, tidak akan berubah." Elias memasukkan telapak tangannya ke saku celana dan berbalik pergi.

"Bukannya kau tahu aku benci pembohong?"

Kalimat Onyx seolah merantai kakinya untuk berhenti melangkah.

"Apa?"

"Tidak. Aku hanya mengatakannya saja padamu. Just for your information, disebut FYI. Itu tren di sosial media. Kau tidak tahu?"

"Apa kau mempermainkanku?"

"Pertama, pagi-pagi buta begini kau sudah ada di sini sebelum aku sampai. Kedua, kau biasanya membawa secangkir teh di tangan kananmu tapi kali ini tidak, artinya kau sedang terburu-buru. Ketiga..." Onyx merapatkan bibirnya ke dalam, ia menahan tawa. "...apa kau sudah bercermin pagi ini? Kau tidak menyisir rambutmu dan hanya merapikannya dengan tangan, bukan? Sebegitunya kau khawatir dengan Dean? Sampai-sampai ada rambut kepalamu yang berdiri?"

"Kau lebih buruk dari anjing pelacak. Kau harusnya menjadi detektif alih-alih menjadi gangster. Kau tidak berencana keluar dari sini?"