Onyx hanya bisa memegang dahinya dan bernapas berat. Itu adalah pistol shotgun yang biasa dibawa anak buah lapangan. Itu pistol yang sangat biasa. Dean meminta Elias untuk mencari sidik jari yang menempel di sana.
Braaakk!
Tiba-tiba terdengar suara mengejutkan dari arah kamar Cherry. Mereka semua yang di sana terkejut. Dean keluar dari kamar Ian lalu melangkah cepat di koridor menuju kamar Cherry. Betapa terkejutnya ia melihat pintu sudah terbuka lebar. Cherry telah kabur dari sana.
"Sudah kuduga akan seperti ini. Sial!"
Elias menatap Cherry lurus. Matanya menajam seolah tak sedikit pun ada ampun. Dibalik suara hujan yang deras. Gemuruh di langit seolah menghubungkan satu sama lain. Mata mereka bertemu dan tidak ada yang berniat mengalah. Melewati udara yang mereka hirup bersama. Cherry melangkah mundur hingga punggungnya menabrak dinding. Bising di telinganya adalah segala hal yang diucapkan Elias padanya, pria asing yang menakutkan.
"Siapa kau? Siapa kau sebenarnya?!" Cherry menjerit sekeras-kerasnya. Raungannya putus asa.
"Pertanyaan itu...harusnya kau tujukan pada dirimu sendiri," kata Elias dengan penuh penekanan. sambil mematung melihatnya.
"Arghhhh," jerit Cherry frustasi.
Namun koridor bagian belakang rumah yang menuju pintu keluar, tak dapat meneruskan suaranya. Ia menarik rambut panjangnya dan duduk lemah di lantai. Kedua tangannya gemetaran hebat. Kakinya ia peluk sendiri dan menenggelamkan wajahnya di kaki pahanya.
"Pergilah sekarang juga. Pergi dari sini!"
"Hentikan! Hentikan!" Cherry menggila.
Elias memasukkan tangannya ke saku celana. Ia berbicara pelan namun menyakitkan, sembari menggertakkan giginya. Sorot matanya dingin seolah diselimuti rasa ingin membunuh.
Ia terdiam dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Cherry gemetaran melihat sosok asing yang terus muncul di ingatannya. Ia berusaha kabur dari seorang pria dalam ingatannya yang ia lupa namun kakinya kelu, pria itu menyudutkannya dan memukulnya berulang kali hingga ia babak belur. Entah kenapa saat melihat Elias ia teringat pria yang menyiksanya dalam ingatannya yang ia lupa itu.
Sebenarnya saat semua orang keluar dari kamar Ian, Elias tidak ikut keluar karena harus memastikan keadaan Ian. Saat semuanya sudah keluar barulah ia mencari gadis itu diam-diam dan ia pun menemukannya di belakang bagian rumah itu, di halaman dekat pagar yang memisahkannya dengan kebun. Tempat itu sepi dan jarang ada pelayan melintas di sana.
Sementara itu di kediaman tengah.
"Tutup semua pintu!" teriak Dean melangkah cepat di koridor.
Semua pelayan berlari dan menyampaikan pada seluruh penjaga. Termasuk Sano, Onyx dan Zen yang ikut mencari namun rumah mereka terlalu luas.
"Sial!" Teriak Dean.
Sano belum pernah melihat Dean semarah ini kehilangan sandera setelah kejadian tiga tahun lalu. Namun rasa amarah yang berontak dari raut wajahnya yang tertekuk menunjukkan perasaan yang lebih dari itu. Sano tahu pasti, bukan hanya amarah yang sedang menguasai Dean saat ini.
"Pergilah ke taman belakang, aku akan ke depan," kata Sano pada Onyx.
"Aku akan mencari di lantai atas," sahut Zen yang berniat ikut mencari juga.
Mereka berpencar termasuk Dean yang nampak sangat marah pada pelayan dan pengawal yang tidak becus menjaga satu gadis kecil..
"Maaf bos, kami tak menemukannya di manapun," lapor salah satu pengawal pada Sano.
Semua pengawal dan pelayan memasang wajah muram dan menunduk. Ian berdiri di depan jendela kaca di sisi ranjangnya. Wajahnya serius sembari menatap ke luar. Meskipun agak baikan Ian tetap tak bisa kemanapun karena beberapa pengawal menjaganya ketat. Siapa lagi kalau bulan suruhan Dean. Namun beruntungnya, dari atas penthouse ia mendapatkan jawaban yang paling penting.
"Elias...apa yang kau rencanakan sebenarnya?" gumam Ian dengan menatap lurus ke luar jendela.
Hujan yang luruh membasahi jendela kamar. Gemuruh menyelimuti keraguan dalam otaknya. Sembari menyimpulkan alasan yang cukup masuk akal tanpa mengungkapkan semuanya. Rahasia yang biasa saja, semua orang memilikinya. Namun Elias sepertinya memiliki keterkaitan dengan gadis asing itu. Dari kamarnya yang terletak di atas ia melihat pemandangan yang ingin dilihat semua orang. Itu adalah Elias di taman belakang dekat pagar yang tengah berbicara empat mata dengan Cherry, gadis yang dicari seluruh orang di rumah ini. Ian menghela napas dan mendapati keduanya bersitegang entah membahas apa.
"Gadis itu...siapa dia sebenarnya?"
Ian menatap seorang gadis yang kebasahan berlarian di jalan setapak, yang sisinya ditutupi rumput terawat yang meninggi. Rambutnya panjang tergerai dan baju putihnya lusuh acakadut. Ia tersesat di labirin panjang yang jauh dari garis finish.
Para pengawal dan pelayan berbaris di aula tengah dengan menunduk. Begitu juga Zen yang merasa bersalah karena keteledorannya.
Onyx merasakan situasi yang tidak biasa sekarang ini. Ia memandangi sekeliling termasuk pelayan dan pengawal. Salah satu pelayan yang berdiri paling ujung tak jauh darinya, nampak menunduk dengan mata bergerak-gerak khawatir. Bibirnya ditarik ke dalam dan tangannya mengepal kuat ke bawah sembari memainkan kuku jarinya. Ia terlihat panik di mata Onyx. Sementara Sano dan Dean bercekcok, ia memanfaatkan keberadaannya yang tak disadari untuk mencari lebih jauh.
"Ada yang tidak beres," ia mendekati pelayan itu.
Dean keluar dengan mengenakan mantel dan kacamata hitam.
"Siapkan mobil dan payung."
"Apa yang akan kau lakukan?" Sano khawatir.
"Mencari gadis itu."
"Sebentar lagi malam dan di luar masih hujan. Dia pasti masih di dalam rumah ini."
"Lalu kenapa satupun dari kalian tidak ada yang menemukannya!"
"Dean tunggu dulu..."
"Aku akan menangkap gadis itu malam ini. Bagaimanapun caranya." Dean lalu melangkah keluar dengan angkuh tanpa menghiraukan nasihat Sano.
Seseorang tiba-tiba berdiri di depan pintu, tidak sengaja menghadang Dean.
"Elias?" Sano dan semua orang terkejut, mereka bingung apa yang tengah terjadi dan bertanya-tanya.
"Berhenti mencarinya," kata Elias datar.
Ia menatap Dean dengan serius, seolah mengajaknya bersitegang.
"Dari mana saja kau?" tanya Dean curiga.
"Bukan itu yang penting. Sekarang ini kau harus berhenti terobsesi pada gadis itu."
"Terobsesi? Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?
"Kubilang berhenti mencarinya sekarang juga."
"Apa yang sebenarnya kau lakukan, huh?"
Sano memberi instruksi kepada para pengawal dan pelayan untuk meninggalkan aula tengah. Ia menduga akan terjadi hal yang tidak diinginkan jika kedua orang super dingin seperti kutub es ini tiba-tiba banyak bicara. Seperti kutub utara dan kutub selatan.
"Kalian berdua hentikan." Teriak Sano.
"Jawab aku. Kemana saja kau dari tadi?!" tanya Dean sembari berteriak marah.
"Aku sudah melakukan tugasku dengan baik. Bukankah kau jadi tidak perlu mengotori tanganmu."
"Apa yang telah kau lakukan pada Cherry, Huh?" Dean mencengkram kerah Elias.
Giginya menggertak dan suaranya melengking tinggi. Ia sangat marah mendengar Elias mengatakan sesuatu yang mencurigakan tentang Cherry. Zen yang berdiri di belakang Sano melangkah mundur begitu mendengar teriakan Dean. Elias dengan tatapan datar nan dingin juga menyimpan sesuatu yang benar-benar menakutkan. Entah mereka berdua bisa dilerai atau tidak.
"Aku benci gadis jalang itu," Elias tengah membuat kondisi di aula itu kacau. Ia tahu kalau Dean akan marah mendengarnya.
"Kau!"
Buagghh…