Chereads / For a Youth / Chapter 59 - Diriku yang Baru

Chapter 59 - Diriku yang Baru

Aku menyudahi pena di genggaman jari-jariku, yang menari tanpa seizinku. Seolah mengikuti hati dan pikiran. Pena itu menggores, tapi bukan luka. Hanya sebuah sajak bertinta di atas kertas kosong tak bertuan itu. Entah milik siapa. Aku meletakkan pena berwarna purple cantik itu di atas kertas yang telah kutulisi. Merapikannya di atas mejaku. Kemudian memandangnya dengan senyuman kecil.

"Kurasa aku menunggu cukup lama." Hana memegang tanganku tiba-tiba. Membuatku terkejut. "Teman-teman yang lain juga sudah menunggu. Ayo kita membuat hal-hal yang bahagia sebelum kelulusan"

"Begitukah? Kenapa kau berpikir begitu? Bukankah kita tak bisa memiliki kenangan itu sampai kita dewasa nanti?"

"Hemm....entahlah." Gadis berambut pendek sebahu itu hanya mengedikkan bahunya.

"Sebenarnya aku juga masih belum paham bagaimana cara menjadi dewasa. Tapi menurutku, kenangan bahagia pasti lebih baik daripada kenangan buruk. Dan aku mempercayai itu. Karena begitulah kata ibuku," ia tersenyum lebar.

"Baiklah. Karena ibumu yang mengatakannya. Aku juga akan percaya."

Aku membalas senyumannya. Dan memutuskan bergabung dengan teman-teman sekelasku yang lain. Membantu mencoret-coret spanduk, berbagi snack, atau sekadar melayangkan lelucon yang tak lucu sama sekali. Aku benar-benar bahagia sekarang. Ah aku mulai menyesal. Kenapa tidak dari dulu kuhabiskan waktuku bermain dengan mereka? Sayang sekali karena waktuku telah kuhabiskan dengan sakit-sakitan. Meskipun begitu aku tetap menikmati setiap waktu yang kupunya dengan orang-orang yang kusayangi dan orang-orang yang menyayangiku.

Viola POV end

***

Roy tengah memeriksa lembar formulir yang melamar pekerjaan untuk posisi suster perawat untuk adiknya. Ia duduk di meja dengan dasi yang setengah lepas dan lengan kemeja putih yang digulung. Ia nampak sangat serius. Mendadak ia tertarik pada satu lembar formulir, itu adalah CV atau riwayat hidup milik seorang perempuan yang tidak berasal dari program studi psikologi atau bahkan memiliki sertifikasi konseling. Anehnya dia malah menulis ahli dalam bahasa inggris dan dicantumkan kelemahannya, yaitu kadang-kadang dia sangat cerewet dan banyak bicara. Saat melihat identitasnya, tertulis berusia 20 tahun dan cuti kuliah untuk bekerja. Roy melirik namanya, dia adalah Maya Forenzo.

***

Maya duduk di depan meja sembari menatap ponselnya. Ia berniat menghubungi Tian namun ragu, ia juga ingin menghubungi Oska, namun baru sadar kalau dia tidak punya nomornya, karena ia baru sadar ternyata belum masuk grup whatsaap karyawan kafe. Ia mengingat lagi saat pingsan kemarin. Ia ingat perutnya sangat sakit di lorong apartemen menuju kamar dan ia sempat ingat digendong seseorang namun ia tidak tahu itu Oska atau Tian, ia tidak ingat setelah itu.

"Ah bagaimana ini?" Maya mengeluh mengacak rambutnya frustasi. "Bagaimana bisa aku menghadapi Oska besok? Dan Tian di club? Aha sial, kenapa aku harus pingsan kemarin sih?"

Maya ingin membalas mereka dan melunasi hutang kebaikan itu. Namun saat memeriksa isi dompetnya, ia menghela napas berat dan menyandarkan punggungnya di kursi sembari mendongak menatap langit-langit kamarnya.

"Ya Tuhan kenapa aku sangat miskin."

Maya memperhatikan sekeliling isi kamarnya. Kamar apartemen itu adalah yang paling murah dan paling dekat dari kampus, kalaupun ada yang lebih murah itu adalah kos kecil yang hanya berukuran tidak lebih dari 5x5. Sedang kamar mandi dan dapur berada di luar dan kebersihannya tidak terjaga. Sebelum masuk kampus dirinya sudah pernah tinggal di kos kecil. Jadi dia bertekad mendapat pekerjaan paruh waktu yang lebih baik agar menyewa tempat kos yang lebih baik. Dan ia pun menemukan apartemen kecil namun fasilitas lumayan bagus ini, sayangnya apartemen terbuka untuk laki-laki dan perempuan, berbeda dengan kos yang khusus untuk salah satu saja.

Ditambah lagi sekarang Oska dan Tian tinggal di sampingnya, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana jika nanti papasan di lorong. Kejadian kemarin benar-benar membuatnya sangat malu dan merasa bersalah sudah menyusahkan. Meskipun Maya lega karena ditolong oleh penghuni kamar sampingnya yang merupakan orang yang dia kenal. Setidaknya bukan pria aneh yang tinggal di sana.

Drfftt drffft

Ponsel Maya bergetar di atas meja. Ia segera mengakhiri mengeluhnya dan membuka isi pesan itu. Ternyata ia mendapat pesan dari kafe junk food yang sering ia kunjungi dengan Nico. Maya mendapat dua kupon ayam goreng gratis jika datang pukul 15, Maya melotot dan berteriak kaget.

"Wah! Apa ini?! ini beneran gratis!" Maya tertawa senang. "Ternyata ada juga yang namanya keberuntungan."

Selepas kelas siang, Maya tidak mampir ke club, dia khawatir kalau melihat Tian di sana. Pasti sangat canggung. Namun aneh kalau dia tidak datang latihan. Maya akhirnya datang setelah kelas usai. Dia mengintip di jendela dekat pintu masuk ruang club. Dia mencoba mengintip namun sayangnya kacanya sangat gelap

"Cari siapa?"

"Kak Tian," jawab Maya tanpa menoleh, ia terlalu sibuk mengintip kaca yang gelap.

"Kenapa?"

"Karena…" Maya terkejut lalu sadar kalau ada yang mengajaknya bicara dari belakang. Maya segera menoleh dan kaget melihat Rimba berdiri di sana.

"Kak Rimba?!"

"Kenapa? Kau kaget?" Rimba tertawa kecil. "Ada urusan apa cari Tian."

"Itu…"

"Dia tidak datang hari ini."

"Eh? Benarkah? Kenapa?"

"Tidak tahu, dia juga absen. Baru kali ini dia bolos kelas tanpa izin."

"Dia juga tidak datang ke kelasnya?"

Rimba mengangguk.

"Oh begitu ya. Makasih infonya, Kak, aku pamit dulu."

Maya hendak pergi namun Rimba menghentikannya.

"May."

"Ada apa?" Maya menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Kau…" Rimba ragu bertanya, karena dia sempat cekcok dengan Tian di lapangan indoor tentang cewek kemarin. Dia bahkan membandingkan Maya dengan Ella. Entah mengapa ia merasa bersalah.

"Kenapa, Kak?"

"Aku minta maaf."

"Ha? Ada apa?" Maya mendekat dengan wajah khawatir. "Apa ada sesuatu? Apa Kak Rimba melakukan kesalahan padaku?"

"Tidak tahu."

Maya memiringkan kepalanya bingung sembari memperhatikan.

"Aku cuma mau minta maaf." Rimba lalu mengeluarkan sebuah poster dari dalam tas olahraganya. Ia memberikan poster itu pada Maya.

"Apa ini?"

"Itu kompetisi bulu tangkis tunggal. Aku melihat bermainmu bagus, meskipun masih butuh ditempa lagi. Aku, Tian, Olla dan senior lain pasti mendukung dan membantu junior yang semangat ikut kompetisi."

Maya tertarik dan melihat detail syaratnya. Sayangnya melihat satu deskripsi, Maya menjadi ciut nyalinya. Ternyata lomba pendaftarannya cukup mahal untuknya. Padahal hanya kompetisi antar kampus bukan regional.

"Ini terlihat menarik dan sangat bagus. Aku menghargai Kak Rimba yang memberi informasi ini. Aku senang mendengar ada atlet memuji cara bermainku."

Rimba tersenyum, meskipun ia sedang istirahat untuk tidak ikut kompetisi akhir-akhir ini.

"Kalau kau tertarik bilang ya. Senior pasti akan membantu."

"Terima kasih banyak, ya Kak, hehe."