Chereads / For a Youth / Chapter 51 - Menggerogotinya

Chapter 51 - Menggerogotinya

"Jadi, apa kau sedang menyukai seorang pria?"

"Aku memang menyukainya. Tapi aku tidak boleh memikirkannya terlalu jauh. Itu mustahil"

"Mustahil?"

"Dia tidak nyata. Cuma pria delusiku saja. Aku tidak pernah menginginkannya. Dia saja yang sering muncul di mana-mana. Bersikap romantis dan selalu membuatku sebal. Tapi aku sudah bisa membedakan mana yang nyata dan tidak. Aku sudah lebih baik. Aku sedang berusaha" Viola memelankan suaranya. Ia menghilangkan wajah murungnya dan berusaha tersenyum di depan kakaknya.

"Tidak nyata?" kakak memacu otaknya berfikir keras. "Sepertinya Viola ditipu oleh bocah bernama Alfa itu."

Ingatannyamelayang saat Viola menghilang kemarin. Pria yang menjanjikan membawa pulang adiknya di stasiun. Ia berfikir mungkin saja pria itu ada hubungannnya dengan delusi yang dialami Viola. Semakin lama ia berspekulasi. Semuanya menjadi remang-remang dan tak jelas. Jika benar pria itu adalah bocah di masa lalunya. Artinya ada alasan kenapa bocah itu muncul di hidup adiknya. Ini bisa memacu penyakit Viola makin parah atau malah sebaliknya. Roy masih belum tahu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apakah sesuatu yang buruk akan memicu kesehatan Viola? Ia melamun, mengacuhkan Viola yang sibuk bercerita panjang lebar.

"Tunggu, tunggu. Siapa nama pria yang kau maksud itu?" tanya kakak mendadak.

"Oh pria tidak nyata itu. Namanya Alfa."

"Alfa?"

"Kakak mengenalinya? Tidak mungkin kan? Dia itu cuma bagian dari delusiku. Sudahlah kita akhiri saja. Ayo antarkan aku ke sekolah. Aku tidak mau terlambat."

"Sekolahmu lancar kan?"

Viola mengangguk.

Diingatnya lagi percakapannya di stasiun kala itu. Pria asing yang mengaku sangat mengenal Viola dengan baik. Dia juga berkata sering bertemu dengan Viola. Entah, kakak tak tahu pasti. Lagipula keberadaan pria itu bukan ancaman. Hanya saja, pengaruh apa yang kira-kira bisa ditimbulkan dengan kehadirannya di dekat Viola. Masalah utamanya adalah, kenapa Viola mengira itu delusi? Ini bukan hal yang baik. Mungkinkah Skizofrenia semakin melarutkannya dalam halusinasi?

Roy merenung. Kenapa juga dirinya baru menanyakan perihal ini? Harusnya ia sering-sering mengadakan konseling dengannya.

Kakak mengerutkan kedua alisnya. Pandangan matanya melebar. Ia semakin takut dengan kondisi Viola. Anak itu sangat percaya diri mengenai keadannya yang membaik. Padahal ia salah besar. Kakak menghela napas panjang nan berat.

"Kakak," panggil Viola sebelum membuka pintu ruangan.

Kakak tersentak dari lamunannya. Ia berdehem pelan menanggapinya.

"Apa kau sudah membersihkan lantainya?" tanya Viola.

"Membersihkan lantai?"

"Kakak ini bagaimana sih? Masih ada sisa bercak darah di sana. Di lantai tengah kemarin. Oh ya, dan luka di telapak tanganmu apa sudah membaik? Aku harap begitu."

Viola menarik telapak tangan kakaknya, sembari meniup-niupnya seolah benar-benar ada luka sayatan di sana. Ia tersenyum mendapati kakaknya baik-baik saja.

Roy terdiam. Tak tahu harus memberi respon seperti apa. Segera ditariknya kembali tangannya dari genggaman Viola. Ia menyentuh kedua bahu kecil adiknya. Matanya memerah. Bulir-bulir bening mengembun di pelupuk matanya. Ia paham, kondisi Viola tidak bisa dibiarkan begini terus-menerus. Dengan penuh hati-hati ia menjelaskan yang sebenarnya pada Viola.

"Dengar adikku. Di lantai tengah tidak ada sisa darah. Lantainya bersih dan licin. Itu hanya bagian dari halusinasimu. Dan kedua telapak tanganku tidak ada sayatan, tidak berdarah. Aku tidak terluka sama sekali. Hilangkan perasaan rasa bersalahmu di masa lalu. Luka itu sudah lama hilang. Kau butuh perawatan. Kau belum bisa sembuh jika terus seperti ini," kakak berkaca-kaca menatap sendu wajah adiknya yang tidak berdosa harus menanggung semua ini.

"A...apa? Aku tidak mengerti apa yang kakak katakan. Kenapa bisa begitu? Tanganmu terluka jadi aku hanya membuatnya supaya cepat mengering. Dan supaya tidak ada darah lagi di rumah ini," ujar Viola dengan polos. Ia merasa bersalah menatap kakaknya yang berkaca-kaca.

"Kau akan sembuh, aku berjanji, adikku. Kau akan benar-benar sembuh."

Kakak memeluk adiknya dengan penuh ratap sedih. Kasih sayanglah yang dibutuhkan gadis kecil ini. Tanpa Viola ketahui, tangisnya pecah, ia menitikkan air mata. Menahan betapa pedihnya hidup Viola, persis seperti apa yang ia lewati dahulu. Kenapa harus ada orang dewasa lagi yang membuat anak-anak mereka menjadi seperti ini. Kenapa dunia ini menjadi sangat tidak adil. Harusnya Viola segera membaik setelah ini. Benarkah tidak ada keajaiban sedikitpun? Apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia perbuat?.

***

Beberapa tahun yang lalu di Rumah Sakit Jiwa.

Di dalam suatu ruangan, terpampang sebuah dokumen penting yang diletakkan di atas meja. Berisi mengenai perihal penting yang sudah bisa ditebak isinya oleh sang penerima. Surat itu adalah surat pemecatan sepihak

Seorang pria muda meremas surat itu dengan jengah, wajahnya tertekuk. Menahan sesuatu yang membuncah di dadanya. Kegetiran dan kegelisahan merasukinya. Ia keluar dari ruangan tergopoh-gopoh. Dibantingnya pintu hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Sembari membawa surat tersebut di genggamannya. Ia menuju suatu tempat.

Siang itu, para perawat perempuan memenuhi sepanjang koridor rumah sakit. Berkasak-kusuk mengenai sesuatu. Pria muda bernama Roy itu hanya melenggang melewati mereka. Untuk saat ini ada hal yang lebih penting untuk diurusnya. Ia melangkah dengan tatapan dingin. Telapak tangannya yang dibalut perban putih, seraya surat itu. Sampai salah satu perawat wanita muda menghentikannya di tengah keseriusan dan ketegangan antara batin dan pikirannya.

"Dr. Casano" panggil perawat wanita muda.

Roy tergesa menghentikan langkahnya. Matanya menyipit seolah meminta penjelasan apa yang dilakukan perawat itu. Roy berusaha menyapanya sopan.

"Ada yang perlu saya bantu?" tanya Roy formal.

"Apa kau tidak mendapat kasus baru hari ini? Kudengar tadi ada seorang wanita paruh baya yang mengamuk hebat di koridor depan ruangan Ketua. Beruntung dua perawat laki-laki segera mengamankannya. Kondisi wanita itu sangat memprihatinkan."

"Wanita paruh baya?" Roy menggertakkan beberapa giginya. Ini sedikit mencurigakan untuknya.

"Ya. Apa anda tidak tahu? Kupikir anda yang menanganinya."

"Mungkin psikiater magang lain yang menanganinya," sahut Roy sembari melempar senyum dengan sopan. "Baiklah kalau begitu. Aku harus pergi sekarang"

Pria yang dipanggil Dr. Casano itu menundukkan kepala singkat. Sesudahmya mengambil langkah lebar bergegas pergi dari sana. Perawat itu hanya bergumam heran. Tidak disangka psikiater magang ternyata lebih sibuk darinya. Perawat menggeleng pelan.

Roy sampai di depan pintu ruangan. Tanpa ragu, tanpa mengetuknya lebih dulu. Diterobosnya pintu itu dengan paksa, penuh emosi yang meluap. Ia mendapati seseorang tengah mondar-mandir sambil memegang kepalanya di depan meja yang dipenuhi berkas-berkas entah apa. Roy tanpa basa-basi menegur pria tambun di hadapannya. Pria itu terkejut bukan main. Mulutnya gagap hendak mengatakan sesuatu. Air mukanya kaku.

"Ketua!" panggil Roy tiba-tiba. Suaranya meninggi.

"Kenapa aku mendapatkan surat pemberhentian dari Kepala Rumah Sakit?"