"Mie-nya habis?" Maya merasakan tangannya tak menyentuh apapun di lemari atas dapur. "Sepertinya aku harus ke minimarket, sekalian beli satu kardus mi!"
Ia menggerutu kesal.
Maya menutup pintu kamarnya dengan keras. Sebelum menarik gagang pintu, ia teringat bahwa senior Tian tinggal di samping kamarnya. Bagaimana bisa dirinya cuma mengenkan baju seperti ini. Pakaiannya sehari-hari adalah celana training dan jaket lusuh tipis gelap yang lebih mirip keset lantai depan rumah
"Sadarlah kau itu cewek. Kalo penampilanku begini senior tahu aku pasti ditertawakan. Cukup sudah Jeffry sialan itu saja yang mengejekku," keluhnya. Mendadak ia mengingat Ella, namun sedetik kemudian ia menggeleng dan ingin berhenti merasa iri dengan hidup orang lain.
Maya mengganti bajunya dengan memakai rok panjang di bawah lutut, blues tipis dilapisi jaket ungu muda berwarna manis. Ia memakai slipper atau sandal santai, rambutnya terurai dan memakai jepit rambut di atas telinga kirinya, lalu memoles bibirnya dengan lipgloss agar tidak terlalu kering. Ia menatap dirinya di cermin.
"Padahal cuma mau beli mi tapi gaya pakaianku terlihat seperti sedang genit ke orang yang kusukai," Maya mendecakkan lidah. Ia mengacak poninya lalu ia menggeleng dan menatanya kembali.
Ia keluar dari kamar. Setelah mengunci pintu Maya berjalan ke arah tangga, namun sebelum ia turun, Senior Tian naik sembari membawa secangkir gelas kopi kertas. Maya kelabakan. Dia menoleh kanan kiri bingung apa yang harus ia lakukan. Tiba-tiba mata mereka tak sengaja bertemu. Tian memasang ekspresi biasa. Sesampainya naik ke atas, Tian melewati Maya begitu saja.
"Sedang apa gadis itu berdiri di sana?" Batin Tian.
"Ini kesempatannya aku tidak boleh kabur. Aku harus minta maaf. Tapi kenapa wajahnya serius sekali sih?" batin Maya.
Setelah melewatinya tiba-tiba Maya memanggilnya.
"Senior, aku minta maaf masalah kemarin."
Tian berhenti lalu menoleh ke belakang. Mereka berhadapan sekitar satu meter. Maya masih ragu berbicara. Namun akhirnya ia tetap mengatakannya.
"Kemarin itu salahku. Aku tidak tahu ternyata kau yang di belakangku. Aku juga berterima kasih, kalau tidak aku pasti sekarang sudah memakai kruk karena pincang."
Tian terdiam menatapnya dengan wajah biasa. Padahal Maya sudah gugup setengah mati karena berbicara cepat seolah tanpa titik koma.
"Sebagai permintaan maaf. Apakah kau mau makan sesuatu? Biar aku yang traktir, kebetulan aku akan keluar."
"Kencan?"
"Tidak, tidak. Aku mau beli sesuatu di minimarket."
Tian menatap Maya dari ujung kaki hingga kepala. "Kau yakin mau ke supermarket? Kukira kau mau kencan.
"Ha?" Maya jadi malu sendiri. Kenapa juga dia harus mengatakan akan ke minimarket. Mana outfitnya hari ini memang seperti akan pergi kencan. Malu sekali.
"Aku tidak mau pacarmu yang belikan untukku. Kau pergi saja sana, tidak perlu meminta maaf lagi. Aku sudah memaafkanmu." tian hendak masuk kamarnya, namun Maya mencegahnya dengan memegang lengannya. Tian melihat jari-jari Maya yang kecil dan pendek. Ia teringat majalah itu lagi, hingga tersadar dan menggeleng dengan sendirinya. Tanpa sadar ia menghempas tangan Maya kasar.
Maya menunduk dan air mukanya sedih dan takut. Tian melihatnya dan ia merasa ada yang salah.
"Bukannya aku kasar. Aku bilang tadi sudah memaafkanmu, tidak perlu membelikanku ssuatu nikmati saja kencanmu.
"Siapa yang mau kencan?! aku tidak punya pacar!" Maya kesal lalu berbalik arah. Ia meninggalkan Tian.
Tian sedikit merasa bersalah, namun ia memutuskan masuk ke dalam kamar. Ia menaruh kopi di atas meja dan tas punggungnya di sandaran kursi. Ia menjatuhkan badannya di kasur empuk. Kedua tangannya ia tarih di bawah kepala dijadikan bantal Mendadak ia teringat lagi, Maya yang marah tadi.
"Sepertinya tadi aku terlalu kasar. Kenapa juga tiba-tiba aku ingat majalah aneh itu. Tapi, jari-jari gadis pendek sepertinya benar-benar kecil. Mungkinkah tadi itu sakit?"
Setelah Tian pikir-pikir lagi sepertinya tadi tidak seharusnya dia menolak tawaran baik Maya untum memberinya sesuatu. Padahal dengan menjawab 'iya' semuanya beres dan terselesaikan.
"Ah terserah lah." Tian tidak mau terus kepikiran. Ia berdiri dan masuk ke kamar mandi. Namun saat ia mencuci muka dia teringat lagi dengan kata-kata Maya yang sempat bilang tidak punya pacar.
"Kalau tidak pergi kencan kenapa dia berdandan, malam-malam begini dengan baju sepeti itu hanya mau pergi ke minimarket? Dia kecil tapi nekat," Tian menggeleng tidak paham.
Setelah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang kecil di rambutnya yang masih basah, ia duduk di kursi depan mejanya. Ia mengeluarkan beberapa catatan dari dalam tasnya dan notebooknya. Di meja sebelah kiri terdapat rak buku, tiba-tiba matanya menangkap majalah yang dibawa Dion kemarin terselip berada di buku-buku lainnya.
"Dion sialan!" Tian mengambilnya kasar, ia menyeret kotak sampah di bawah meja, namun belum sampai ia masukkan ke dalam sana, Tian mendadak berhenti dan rasa penasaran pun menyerang otaknya.
"Baca sedikit saja tidak apa-apa kan? Lagipula ini kan bukan majalah dewasa. Ini majalah fashion campuran. Tidak apa-apa." Tian meyakinkan diri sendiri. Dibukanya halaman pertama dari majalah itu.
"Richy Forenzo? Kenapa aku tidak asing dengan penulisnya ya," pikirnya.
Gadis pendek adalah gadis yang rentan. Dia terlihat cuek dan tidak peduli karena tidak mau dianggap lemah. Seorang gadis pendek biasanya menjaga untuk tidak bersikap imut (padahal tanpa melakukan apapun mereka sudha terlihat imut) karena tidak mau dianggap remeh oleh pria. Secara dia kadang-kadang tidak percaya diri dengan fisik luarnya yang kecil dan dikasihani semua orang. Jadi jika ada gadis pendek asing yang baru pertama kamu kenal memberanikan diri untuk berbicara denganmu lebih dulu mungkin dia mengumpulkan kekuatannya dengan sekuat tenaga. Kau tidak boleh terlalu memperhatikannya karena dia mudah takut dengan orang asing tapi jangan mengasarinya. Kau tidak akan mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan dia lagi setelahnya.
"Ha? Apa-apan ini? Aku tadi tidak sengaja melempar tangannya yang kecil karena tiba-tiba ingat nasihat anehmu tahu." Tian marah-marah tidak jelas pada majalah itu.
Pastikan kau menemaninya saat dia keluar malam. Entah itu basa-basi dengan beralasan ingin menuju tempat yang sama atau yang lain. Mereka biasanya tidak memiliki pacar, entah karena sering digoda pria atau memiliki kenangan pahit di kisah percintaanya sebelumnya, seperti mantan pacarnya yang terlalu body shaming padanya sehingga membuatnya tidak ingin lagi berpacaran, karena takut dengan fisik pria yang lebih besar darinya. Pastikan kau keluar bersamanya saat malam.
"Apa dia benar-benar keluar untuk pergi ke minimarket?"
Tian kembali mengingat kasus Alex saat ospek mahasiswa. Alex memamg body shaming etrhadap Maya. Ia juga melihat Maya yang menahan sakit di telapak tangannya yang berdarah. Meski begitu ia pura-pura kuat dan tetap membela dirinya. Tian menghela napas. Ia melirik jam weker di meja sebelah kanan dekat kasurnya, jam menunjukkan hampir jam 9 malam.
"Kenapa aku jadi khawatir?"