Sinar matahari yang terasa sangat terik dipertengahan musim panas membuat kulit seakan terbakar.
Desau angin yang bertiup pun hanya mampu sedikit mengurangi rasa terbakar pada kulit yang terpanggang matahari.
Di deretan bangunan pinggir jalan Olympic, tampak seorang wanita muda tengah memarkir sepeda motor dengan dua keranjang di kedua sisinya, tengah fokus mengeluarkan kotak karton berukuran sedang dari keranjang sebelah kiri.
Dengan langkah ceria, wanita muda pemilik netra hazel yang lembut itu pun melangkah masuk ke sebuah kafe yang cukup ramai di jam makan siang.
"Pesanan roti, datang!" ucap wanita muda itu di meja pelayan.
"Hampir saja aku menelphonemu, Ivy!"
"Kenapa?" tanya gadis yang di panggil Ivy itu.
Pemilik nama Ivy Emine Danayla, berusia 26 tahun itu tersenyum riang walau lelah.
"Karena banyak pelanggan yang memesan roti untuk makan siang mereka!"
Ivy Emine menampilkan cengiran di bibir penuh miliknya yang membuat mata lelaki sulit untuk berpaling dari tarikan gairah bibir ranum berwarna merah cerry alami itu.
Sembari meraih sebotol air mineral yang di sodorkan koki kafe tersebut, Ivy langsung meminumnya hingga habis.
"Makan siang hanya dengan roti apa kenyangnya?" tanya Ivy seraya mengendikkan bahunya.
"Yaa... Selera orang itu beda-beda, Ivy! Memangnya kamu, yang porsi makannya seperti pekerja pelabuhan," ejek pelayan tadi yang terlihat akrab dengan Ivy.
"Memang saya pikirin!" sahut Ivy acuh membuat rekannya kesal.
"Carilah pria mapan dan menikahlah, Ivy! Ingat usiamu sudah hampir kepala tiga!" seru temannya itu.
"Masih hampir, Kan? Nantilah kalau aku bertemu sugar daddy kaya raya tapi hampir mati! Baru aku nikahi dia!" sahut Ivy seraya berjalan keluar kafe dan resto yang mulai ramai itu.
"Gadis gila!" sahut pelayan perempuan bernama Serena itu yang hanya di balas Ivy dengan tawanya yang renyah.
Ivy segera kembali menjalankan sepeda motornya menuju alamat selanjutnya. Pekerjaan sebagai pengantar roti, harus dia jalani mulai pukul enam pagi hingga tiga sore, dengan upah perbulan hanya 250$. Sangat sedikit untuk ukuran hidup di kota metropolitan seperti Fransisco ini.
Namun setiap hari pemilik pabrik roti akan memberinya 20$ uang makan dan 15$ untuk bahan bakar sepeda motor yang dia gunakan.
Jika jumlah yang diantar banyak, maka dia kerab mendapat tambahan 25$ seharinya.
Dan kini pukul tiga sore, gadis itu sudah selesai menjalankan tugasnya untuk hari ini.
Kini saatnya dia akan pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan dapur juga ibunya.
Karena Ivy sangat rajin dan pengantarannya selalu tepat waktu, maka pemilik pabrik roti temoatnya bekerja yaitu Nyonya Madeline Liveneu memberinya gaji minggu di tambah bonus sebesar gajinya itu.
Ivy berdiri di pinggir jalan menunggu lampu berubah menjadi merah.
Tiba-tiba terdengar suara ramai orang berteriak membuat Ivy ikut-ikutan menoleh.
Tampak seorang wanita sedang menangis sembari menunjuk kearah jalan dimana seorang pria tengah berlari dengan melewati kendaraan yang lalu lalang.
"Pria itu mengambil tas saya! Saya baru mengambil uang unuk biaya rumah sakit ayah Saya!" tangis wanita seraya menjelaskan apa yang terjadi.
Ivy yang mendengar itu, langsung ikut berlari mengejar di pencopet melupakan sejenak tujuan awalnya.
"Gadis Gila!" teriak pengendara mobil yang dilewati Ivy.
"Hei! Kalau cari mati ikut perang sana!" seru lainnya.
Sementara Ivu hanya sedikit membungkuk sembari menangkupkan kedua tangannya di dada sebagai permintaan maaf.
Ivy terus berlari hingga mata dengan netra hazelnya menangkap sosok si pencopet.
Dengan menggunakan sepotong kayu yang dia ambil di pinggir jalan, Ivy melempar pria di depannya membuat si pria tersungkur diatas jalan berbahan paving block.
"Hei! Mau kemana kau? Berikan tas nyonya tadi padaku!" bentak Ivy seraya mengunci kedua tangan pria penjambret tadi.
"Kau mau apa! Jika ingin tas ini! Cati mangsa sendiri! Jangan merebut hasil.kerja orang lain!" balas si pria dengan marah.
"Apa kerja? Telingaku tidak tuli kan! Mengambil milik orang lain kau bilang bekerja? Bulsit!" decih Fely seraya berdiri karena si pria melakukan perlawanan.
"Wanita sok tahu! Kau cati mati?" bentak si pria seraya menodongkan sebuah belati kecil berkilat dan runcing pada ujingnya ke arah Ivy Emine Danayla.
Ivy yang memang mengusai beberapa teknik bela diri tentu saja dengan mudah melawan serangan pria yang panik itu.
Dan beberapa orang yang tadi ikut mengejar pun kompak membantu Ivy meringkus pria jahat itu.
"Tolong! Jangan bawa saya ke polisi! Anak dan istri saya menunggu dirumah. Mereka belum makan sejak kemarin!"
"Kalau anak dan istri belum makan! Jangan lantas mengambil milik orang lain!" berang seorang pria bertubuh besar yang memengangi kedua tangan pria itu.
"Saya baru saja di pecat, Tuan! Sejak kemarin saya berusaha cari kerja tapi tidak dapat," aku pria itu dengan wajah penuh harap.
"Jangan percaya! Penjahat selalu menggunakan alasan anak dan istri untuk memuluskan kejahatannya!" ujar pria lain.
"Saya tidak bohong, Tuan! Saya mengatakan yang sejujurnya!" pekik pria bertubuh kurus itu dengan frustasi.
"Sudah cukup! Biar pria ini urusan saya!" Seorang pria berpakaian rapi dengan jas yang licin tampak berdiri di belakang mereka.
"Kenapa, Tuan?" tanya pria bertubuh besar.
"Kalian telah membuat halaman kantor saya rusak! Maka saya minta pria itu sebagai ganti ruginya," ucap pria tersebut membuat Ivy yang sedari tadi hanya diam, bersama yang lainnya kompak mengedarkan pandangan.
Benar saja, ternyata mereka menangkap penjabret tersebut di halaman gedung kantor dengan design modern ini.
Beberapa pot tanaman pecah dan tanaman yang di tanah pun rusak.
"Baiklah, Tuan! Jika seperti itu. Kami serahkan, pria tak berguna ini pada anda!" pria bertubuh kekar dan pria berkacamata lalu mendorong tubuh kurus pria penjabret tadi ke arah pria berjas mahal tersebut.
"Dan kau, Nona jagoan! Apa mau ikut membersihkan tanaman saya yang rusak itu?" tanya pria berjas pada Ivy yang merupakan satu-satunya wanita di situ.
"Kenapa saya? Biar pria itu saja yang bertanggung jawab!"
"Tapi Nona tadi mematah ranting pohon di kantor saya!"
Ivy melongo mendengar ucapan tak masuk akal pria di depannya ini.'Tampan tapi pe'ak!' ucap Ivy dalam hati.
"Hanya dahan kecil saja di permasalahkan!" gerutu Ivy kesal, melihat wajah angkuh pria didepannya ini."Oke! Saya bantu rapikan! Tapi Tuan jangan berdiri seperti mandor!" ucap Ivy lagi seraya merapikan tanaman kecil yang tadi sempat terinjak walau tidak tahu siapa yang menginjaknya.
"Suka-suka Saya! Ini kantor saya!" ketus pria itu lalu masuk ke mobil maybach hitamnya.
"Sombong!" seru Ivy saat mobil mewah itu melewatinya.
"Nona! Sebaiknya pulang saja! Biar saya yang membereskan ini semua!" Suara pria penjambret tadi mengagetkan Ivy.
"Ehh Iya! Tapi nggak apa saya bantu sedikit!" sahut Ivy seraya meneruskan pekerjaannya.
Tatapan matanya lantas menatap pria yang tengah merapikan pot bunga yang pecah, tak jauh dari posisinya.
Dengan sigap, Ivy membereskan kekacauan tersebut. Dan tanpa mengucap salam,gadis itu lantas pergi begitu saja dengan terlebih dahulu memasukkan dua lembar uang pecahan seratus dolar ke kantong jaket pria yang yadi fia gebukin.
****