Note: Ini bukan cerita misteri, horor atau yang berhubungan dengan dunia lain ya:)
"Bu, harusnya Ibu sudah nyari sekolah untuk Bintang." Bintang menatap Ibunya yang terlihat sedang sibuk di meja kerjanya.
"Bu ...!" teriak Bintang tak tertahan.
Ibu yang mendengar anaknya itu teriak pun menghentikan pekerjaannya. Menatap sebentar putrinya dan melanjutkan kembali menatap laptop dihadapannya.
Ya memang benar laptop dan pekerjaannya jauh lebih penting dari anak satu-satunya di keluarga Darmawan.
Ini bukanlah kejadian pertama kali, tapi ini adalah kejadian berulang setiap hari. Setiap Bintang membutuhkan perhatian kedua orang tuanya dia selalu dikalahkan oleh pekerjaan mereka. Dengan dalih ini semua untuk ke bahagiaan bintang.
Bintang keluar dari ruang kerja Ibunya itu dengan membanting pintu sekeras mungkin.
Saat diruang tv bintang melihat ayahnya sedang bersantai kali ini. Hal yang sangat jarang dilihat oleh bintang.
"Ayah, ayah udah daftarin sekolah untuk Bintang?" tanya bintang tepat disamping ayahnya.
Tanpa mengucapkan sesuatu ayahnya memberikan formulir pendaftaran sekolah dan menyodorkan segepok uang lembaran 100 ribu rupiah.
"Tolong ya bi, kamukan sudah besar sudah harus mandiri. Ayah baru aja mau bersantai, mumpung liburkan. Kapan lagi coba ayah libur seperti ini," Kata Ayah, "ini bintang isi sendiri formulirnya terus kirim ke rumah Bambang. Ayah sudah minta tolong Om Putra buat daftarin kamu juga disekolah yang sama seperti Bambang. Jadi Bintang gak akan ngerasa sendirian. Ngerti ya sayang."
Mendengar penjelasan itu Bintang merasa sedih. Ayahnya takut Bintang merasa sendirian tanpa Ayahnya sadar bahwa dialah yang membuat Bintang merasa sendirian.
Bintang langsung membawa formulir beserta uangnya itu. Tanpa pamit Bintang langsung keluar dari rumah yang tak pernah ada rasa kehangatan di dalamnya.
"Bambang ...." panggil Bintang di luar pagar rumah mewah 3 tingkat itu.
Tak ada yang kunjung menjawab panggilan Bintang. Bintang pun langsung membuka pagar dan masuk rumah tanpa permisi. Seolah rumahnya sendiri tapi itu tak masalah karena sudah menjadi kebiasan masuk rumah satu sama lain tanpa permisi toh mereka tetangga dari bayi.
"Siang bunda," ucap Bintang saat melihat perempuan berusia 40an sedang duduk menonton tv.
"Ehhh bi, sini bi duduk sama bunda. Iniloh sinetron kesukaan bunda. Aktornya ganteng-gantengkan, mirip sama bambang." ucap Bunda Vadia.
Bunda Vadia ini adalah sahabat dari ibunya Bintang. Dan Bunda dari Bambang Raden Wijaksono. Terlihat sangat hangat dan ramah. Berbeda jauh dengan Ibu Bintang yang selalu sibuk dan tak punya waktu untuk sekedar menyalakan televisi.
"Bi ...," teriak Bambang dari tangga, "kesini cepetan."
Bintang pun berlari ke arah suara tanpa menganggu bunda vadia yang sedang mengagumi aktor-aktor sinetron di lacar kaca.
Bintang dan Bambang menaiki anak tangga, ke lantai paling atas di rumah Wijaksono. Di lantai paling atas ada taman yang indah, dengan beberapa jenis tanaman mahal di dalamnya.
Mereka duduk disalah satu kursi. Di sana mereka bisa melihat indahnya kota bandung dari ke ketinggian.
"Kamu udah isi formulirnya?" tanya Bintang sembari melambaikan formulir miliknya.
"Sudah dong," ucap Bambang, "Kamu mau nyontek ya? Istigfar Bintang masa formulir daftar sekolah aja kamu mau nyontek, kebangetan banget," ucapan Bambang yang terdengar seperti orang benar malah mendapatkan jitakan dari Bintang.
"Pinjem pulpen dong." pinta Bintang.
Bambang menyerahkan pulpennya pada Bintang. Bintang langsung mengisi formulirnya itu. Bambang memperhatikan Bintang dengan rasa kasian.
Bambang tahu Bintang ke rumahnya bukan untuk sekedar meminjam pulpen melainkan untuk meminjam kedua orang tuanya lagi. Versis ketika mereka mau daftar Sekolah Menengah Pertama. Bintang selalu mengaku jika dia anak dari keluarga Wijaksono juga. Karena saking tidak pernahnya orang tua Bintang ada waktu untuk datang ke sekolah atau sekedar menemani anaknya untuk menghadiri acara yang melibatkan orang tua.
Bintang Bestari nama lengkapnya. Dia harus menjadi dewasa di usianya yang terbilang muda ini.
"Anak-anak, ayo makan siang dulu!" perintah bunda vadia.
Ya di keluarga Wijaksono Bintang merasakan kehangatan seorang keluarga. Dia selalu nyaman untuk berlama-lama di rumah yang tepat berada di sebelah rumahnya itu. Padahal rumahnya sebelahan tapi rasanya jauh berbeda.
Bambang dan Bintang turun untuk makan siang. Di meja makan, Papah Putra atau sering disebut dengan panggilan Pahput, Papah dari Bambang ini terlihat tegas dan berwibawa. Tapi berhati lembut.
"Siang pak direktur," ucap Bintang dihadapan Pahput.
Bintang dan Pahput memiliki humor yang sama, terkadang lelucon mereka sangatlah garing tapi bisa membuat mereka tertawa dengan asik.
"Walah siang juga calon penyanyi." Pahput mengusap rambut Bintang lembut.
"Gak jelas banget," ucap Bambang melihat tingkah orang-orang disekitarnya gila.
"Nih... Bunda siang ini masak ayam kecap." Bunda menunjukan masakannya itu di hadapan semua. Tercium bau yang sangat wangi, aroma kecap yang sangat mampu membuat nafsu makan menjadi tinggi.
Semua makan dengan hikmat, sesekali diselingi oleh lelucon bapak-bapak hasil Bintang dah Pahput. Bunda dan Bambang menjadi penonton bayaran yang hanya bisa bertepuk tangan dan menyoraki saja.
Setelah beres makan, Bintang selalu membantu untuk sekedar menyuci bekas makan semua. Meskipun selalu dilarang bunda tapi Bintang selalu memaksa.
Di dapur, Bintang sedang asik mencuci piring. Bambang sedang asik bermain game. Sungguh pasangan sahabat yang luar biasa bukan?
Setelah beres mencuci piring waktunya Bintang untuk melapor kepada Pahput soal formulirnya ini.
"Bang, ini uang yang dikasih ayah cukup gak ya buat daftar disekolah itu?" bisik bintang.
"Di cukup-cukupin aja." ucap Bambang si sultan Bandung.
Pahput melihat formulir Bambang terlebih dahulu, setelahnya baru melihat milik Bintang.
"Bi, kamu butuh tanda tangan ayah atau ibu kamu disini." tunjuk Pahput.
"Ohh iya-iya." tanpa berpikir panjang Bintang mengambil pulpen dari tangan Pahput. Dan Bintang menandatangani sendiri, dengan menggunakan tanda tangan milik ayahnya.
"Wah-wah pelanggaran ini, pemalsuan. Bisa kena pasal." Bambang tak habis pikir dengan ulah Bintang kali ini.
"Gapapa, sama ko. Gak ada bedanya." Bintang memperhatikan dengan seksama tanda tangan yang dibuatnya. Fix sama versis dengan tanda tangan ayahnya.
Pahput yang melihat anak seperti Bintang. Teringat masa lalunya yang tak jauh beda dengan Bintang. Seorang anak tunggal yang orang tuanya selalu tak punya waktu untuk bersama.
"Gapapa selagi tidak ketahuan," hibur Pahput.
Bintang menyerahkan uang yang ayahnya tadi berikan.
"Simpen aja, besok kan daftarnya. Kamu tuh pinter bi, kita langsung ajuin beasiswa aja yaa. Jadi itu uangnya kamu simpen dulu. Nanti kalo ada apa-apa pake warisan Bambang aja." lelucon ayah yang lagi lagi garing ditelinga anaknya sendiri.
Magrib Bintang pamit pulang pada Bunda dan Pahput. Setelah beberapa jam bermain playstation 5 dengan Bambang. Dengan muka yang dicemongi bedak karena kalah permainan Bambang hanya bisa pasrah karena selalu kalah dengan Bintang. Tapi seru dan selalu diulangi. Dan tetap selalu kalah.
Saat Bintang memasuki pekarangan rumahnya, hawanya berbeda kembali. Suasana hati Bintang pun kembali menjadi dingin dan cuek. Melihat ke rumah Bambang tepatnya ke kamar dimana tadi dia bermain playstation bisa sebeda ini perasaannya.
Memang benar rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri.