"Kurasa itu sudah cukup untuk saat ini!"
Kata Ageha saat dia menyelesaikan cerita masa lalunya. Arya hanya menganggukan kepalanya tanda mengerti. Meskipun dia sedikit penasaran tentang peristiwa yang membuat Ageha dapat bertemu dengan Meister, tapi dirinya menahan diri untuk bertanya hal tersebut, karena dia merasa bahwa Ageha tidak akan menjawab pertanyaannya, bahkan jika dia memaksanya.
"Wajahmu terlihat seperti orang yang sedang menyimpan banyak pertanyaan, jika ada pertanyaan yang mengganjal di kepalamu, kau bisa menanyakannya... Aku tidak keberatan untuk menjawabnya selama Aku bisa menjawabnya!"
Arya terdiam sebentar. Itu memang benar jika dia memiliki banyak pertanyaan di kepalanya, tapi dia tidak yakin apakah dia boleh mempertanyakannya pada Ageha.
Arya melihat ke wajah Ageha. Ageha tidak menampilkan wajah kesal atau tidak sabar, dia hanya memperhatikan Arya sambil memangku dagunya dengan kedua tangannya. Dia tidak terlihat akan marah, bahkan jika Arya menanyakan hal yang cukup sensitif.
"Kalau begitu... Apakah kau bertemu kembali dengan Ibumu?"
Ageha tidak segera menjawab pertanyaan Arya. Dia menampilkan wajah sedih selama beberapa detik dan terdiam.
"Mungkin kau sudah bisa menebaknya dari apa yang kuceritakan tadi... Aku tidak pernah lagi bertemu dengan Ibuku... bahkan Aku tidak pernah melihat tubuhnya lagi, baik dalam keadaan hidup atau sudah kehilangan nyawa.... sejujurnya Aku masih berharap bahwa dia masih hidup di suatu tempat di luar sana... meski Aku tidak tahu dimana tempat itu, tapi kuharap tempat itu adalah tempat yang damai dimana dia bisa mendapatkan kebahagiannya kembali!"
Arya tidak bisa mengatakan apapun. Sejujurnya dia tidak yakin apakah Ibu Ageha masih hidup atau tidak, karena jika Ageha belum pernah melihat tubuh Ibunya secara langsung, memang masih ada harapan bahwa dia memang masih hidup di suatu tempat di belahan dunia ini sambil menyembunyikan identitasnya.
Jika benar dia sedang menyembunyikan identitasnya, maka akan sangat sulit untuk mencari keberadaannya tanpa bantuan dari polisi atau pihak profesional lainnya. Tentu saja Ageha tidak bisa meminta bantuan pada mereka, karena hal tersebut malah akan membahayakan Ibunya. Mungkin satu-satunya yang bisa Ageha lakukan saat ini hanya berdoa agar takdir mau mempertemukannya kembali dengan Ibunya, jika dia memang masih hidup.
"Aku harap kau bisa bertemu kembali dengan Ibumu!"
"Ya, terima kasih...."
Ageha paham jika Arya mungkin dapat mengerti perasaannya, karena Arya baru saja kehilangan Ibunya setahun lalu. Ibunya adalah satu-satunya anggota keluarga yang dia miliki, tiba-tiba saja menghilang begitu saja di depan matanya. Dia bahkan tidak memiliki harapan untuk dapat bertemu kembali dengan Ibunya. Jadi keadaan Arya mungkin lebih buruk dari pada Ageha, meski keadaan Ageha juga jauh dari kata baik-baik saja.
"Lalu apakah kau memiliki pertanyaan lainnya?"
Arya kembali terdiam. Dia memikirkan baik-baik kalimat yang akan dia katakan agar tidak menyinggung perasaan Ageha.
"Apakah kau bisa menceritakan kisahmu saat pertama kali bertemu dengan Meister?!"
Arya mendapatkan reaksi yang berbeda dari Ageha kali ini. Ageha nampak mengeluarkan senyumnya dan menahan tawanya. Sepertinya telah terjadi hal yang lucu saat mereka bertemu untuk pertama kalinya.
"Kisahnya akan sangat panjang, jika Aku menceritanya saat ini, jadi kita bisa menundanya untuk lain waktu!"
Arya melihat ke arah langit yang sudah mengelap. Mereka mungkin tidak akan dapat kembali pada saat makan malam, jika Arya memaksa Ageha untuk menceritakannya, jadi dia hanya mengangguk paham tanpa mengatakan apapun lagi.
"Tapi kurasa Aku bisa menceritakan satu hal ini padamu!"
"Apa itu?"
Arya kembali memandang Ageha sambil memiringkan kepalanya.
"Apa kau sadar bahwa sifatku di masa lalu dengan sifatku saat ini jauh berbeda?"
Setelah Ageha mengatakan itu, Arya memang merasa bahwa Ageha saat ini memang sedikit berbeda dengan Ageha dalam ceritanya. Dalam ceritanya, Ageha adalah orang yang tidak dapat mengungkapkan isi hatinya dengan mudah, tapi Ageha saat ini bisa dengan lancar mengatakan apapun yang dia pikirkan tanpa beban sama sekali.
Arya kemudian menganggukan kepalanya sebagai tanda bahwa dia menyadari hal tersebut.
"Menurutmu bagian mana dariku yang sangat berbeda dengan diriku saat masih kecil?"
"Kurasa itu adalah sifatmu yang terbuka... di dalam ceritamu, kau seperti orang yang tertutup!"
"Ya, Aku juga berpikir itu adalah hal yang paling berubah dariku... Aku yang dulu mungkin tidak akan dengan mudah membalas lelucon dari Meister atau mengungkapkan isi kepalaku dengan mudah... tentu saja Aku bisa menutup mulutku jika hal itu perlu... tapi menurutmu apa yang membuatku bisa berubah?"
Arya memiringkan sedikit kepalanya, lalu berpikir selama beberapa detik. Jawaban yang dia dapatkan dari pertanyaan itu hanyalah satu.
"Apakah itu karena Meister?"
Hanya wajah pria tua itu yang terbayang di kepalanya saat dia memikirkan siapa yang mungkin bisa merubah sifat Ageha dalam waktu yang singkat. Belum lagi, Arya yakin bahwa Ageha masih menutup dirinya selama dia tinggal di panti asuhan, jadi Ageha pasti berubah setelah dia meninggalkan panti asuhan. Lalu orang yang dia temui setelah dia meninggalkan panti asuhan adalah Meister, jadi Ageha pasti berubah saat itu.
"Kurasa hal itu memang mudah ditebak... atau mungkin itu karena kau adalah orang yang pintar!"
Arya akan menganggap perkataan Ageha itu sebagai tanda bahwa jawabannya memang benar.
"Waktu itu Aku masih menutup diriku dan tidak suka berbicara terlalu banyak... kurang lebih sama sepertimu, meskipun Aku tidak seburuk dirimu saat berhubungan sosial dengan yang lain."
Ageha tinggal di panti asuhan selama bertahun-tahun, jadi wajar jika Ageha dapat bersosialisasi lebih baik dari pada Arya yang lebih suka menyendiri. Jadi Arya tidak akan menyangkal perkataannya.
"Kurasa kau tidak akan percaya bahwa dulu Aku tidak jauh berbeda denganmu, tapi itulah kebenarannya... ini juga sulit dipercaya, tapi Aku benar-benar berubah setelah bertemu dengan Meister dan mendapatkan ceramah darinya! Bisa kau bayangkan, dari banyaknya orang, orang seperti dirinya adalah orang yang menceramahiku dan membuatku berubah!"
Meskipun perkataannya terdengar seperti dia sedang mengeluh, tapi Arya dapat melihat dengan jelas senyuman di wajah Ageha yang menandakan bahwa Ageha sebetulnya tidak masalah saat diceramahi oleh Meister.
"Aku juga sering diceramahi olehnya!"
Meskipun Meister biasanya adalah orang yang suka bercanda dan sering tidak fokus dengan topik pembicaraan, tapi jika di situasi serius, dia bisa bertindak selayaknya orang dewasa. Dia bisa berpikir dengan tenang dan memberikan saran yang sangat baik.
Arya sendiri benci mengakuinya, tapi Meister sebetulnya jauh lebih bijak dari pada dirinya. Hal itu mungkin disebabkan karena pada kenyataannya usia sebenarnya dari Meister sudah hampir seribu tahun. Pasti sudah ada banyak hal berat yang dilaluinya selama dirinya hidup. Bahkan mungkin saja sifat bodoh yang biasa dia perlihatkan hanyalah topeng yang dia kenakan untuk menutupi kesedihan dan masa lalu kelamnya.
"Nah, Arya... apakah kau bisa menebak apa yang dia katakan padaku waktu itu?"
Arya mulai merasa bahwa Ageha menganggap percakapan mereka seperti acara kuis. Dia terlihat sangat senang saat mengajukan pertanyaan itu pada Arya.
Arya menghela nafasnya, sebelum berpikir dengan serius. Tidak perlu merusak suasana harti Ageha dengan komentar yang tidak perlu. Lebih baik dia memikirkan jawaban dari pertanyaan itu dengan serius.
"Itu pasti berhubungan dengan bagaimana kau harus membuka hatimu pada orang lain atau semacamnya... benar, kan?"
"Ya, tentu saja itu benar... tapi pertanyaannya adalah apa yang dia katakan waktu itu... kau tidak perlu menjawabnya dengan kalimat yang lengkap dan tepat, kau hanya perlu mengatakan hal yang mendekati kalimat yang diucapkan oleh kakek tua itu!"
Ageha menyebut Meister dengan sebutan kakek tua, hal tersebut jarang terjadi, karena biasanya Ageha akan memanggilnya dengan sebuah pria tua, bukan kakek. Jadi apakah itu semacam petunjuk yang diberikan oleh Ageha agar Arya bisa menjawab pertanyaannya.
"Apakah dia mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan umur?"
Arya tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan dari Ageha, jika hanya sedikit informasi yang dia punya, jadi seharusnya Ageha tidak akan masalah memberikannya petunjuk lain.
"Hhmmm, ya.. itu memang ada kaitannya dengan umur!"
Jika hal itu memang ada kaitannya dengan umur, maka mungkin inilah kurang lebih yang dikatakan oleh Meister waktu itu.
"Hidup itu singkat, kau bisa kehilangan nyawa kapanpun, jadi kau harus bisa mengungkapkan semua perasaanmu dengan bebas kapanpun kau mau! Penyesalan akan selalu datang, jika kau selalu menyembunyikan perasaanmu!"
Arya bisa mengatakan hal tersebut, karena Meister pernah mengatakan sesuatu yang mirip dengan yang dikatakan olehnya tadi saat Arya masih menjalani latihan yang ketat dengan Roy. Jadi kemungkinan jawabannya benar sangatlah tinggi.
"Aku terkejut kau bisa menebaknya!"
Mata Ageha melebar saat Arya berhasil menebak apa yang dulu dikatakan oleh Meister padanya. Apa yang dikatakan oleh Arya memang tidak persis sama dengan perkataan Meister waktu itu, tapi apa yang tadi dikatakan oleh Arya memiliki makna yang mirip dengan apa yang dikatakan oleh Meister pada waktu itu.
"Dia pernah mengatakan sesuatu yang mirip dengan itu dulu saat Aku berlatih dengan Roy!"
Arya dengan mudah mengungkapkan alasan kenapa dia bisa menjawab pertanyaan Ageha.
"Kurasa pria tua itu tidak bisa memikirkan kata-kata mutiara yang baru!"
Ageha memang sedikit menghina Meister, tapi Arya tahu bahwa Ageha tidak memiliki niat buruk saat Arya melihat tawa dan senyum yang dibuat oleh Ageha saat ini. Tawa dan senyum bahagia itu terlihat terlalu murni untuk menyimpan niat buruk.
"Meister waktu itu memang mengatakan sesuatu yang mirip dengan hal tersebut... waktu itu dia mengatakan bahwa 'kau hanya akan meninggal dalam penuh keputusasaan dan penyesalan jika kau terus menyimpan perasaanmu yang sebenarnya, dari pada melakukan hal tersebut, lebih baik kau mengatakan apapun yang ada di pikiranmu dan melakukan apapun yang kau mau dengan bebas!'.... meskipun perkataannya benar-benar terdengar kacau waktu itu, tapi setelah memikirkannya baik-baik, apa yang dikatakan oleh Meister waktu itu adalah saran yang sangat berguna bagiku... dan Aku tidak menyesal mengikuti sarannya tersebut!"
Ageha mengatakan hal tersebut sambil memandang bulan yang sudah mulai terlihat di langit. Arya ikut melihat ke arah bulan yang dilihat oleh Ageha.
"Indahnya..."
Kata Ageha sambil melihat bulan tersebut. Arya menganggukan kepalanya diam-diam sebagai tanda bahwa dia setuju dengan perkataan Ageha.
"Anu, Ageha..."
"Ada apa?"
Ageha mengalihkan pandangannya dari bulan dan melihat kembali ke arah Arya berada.
"Apa yang terjadi pada diari Ibumu?"
Arya memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sudah ada di kepalanya saat dia mendengar tentang diari tersebut. Karena Ageha tidak pernah menyinggung tentang isi diari tersebut sampai akhir ceritanya, Arya jadi semakin penasaran dengan isi dari diari tersebut.
Arya sadar bahwa tidak sopan menanyakan isi diari orang lain, tapi dia tidak bisa menahan rasa penasaran dengan isinya. Apakah itu berisi sesuatu yang tidak Arya ketahui tentang dunia mereka? Atau apakah ada pesan tersembunyi yang ditulis oleh Ibunya di buku tersebut? Arya tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan tersebut.
"Ah, soal diari itu, ya! Sepertinya Aku lupa menceritakan isi diari tersebut padamu, maaf!"
"Tidak, itu bukan masalah... jadi apa isinya?"
"Isinya adalah..."
"Isinya???"
"Isinya adalah.... Rahasia!"
Ageha meletakan jari telunjuknya di depan bibirnya saat mengatakan hal tersebut, tak lupa dengan senyuman jahil yang terpampang di wajahnya. Meskipun hal tersebut terlihat imut, tapi hal itu juga membuat Arya sedikit jengkel. Kalau dia tidak berniat untuk menceritakannya, lalu untuk apa dia meminta maaf tadi.
"Maaf, maaf... Aku tidak benar-benar berniat untuk menjahilimu!"
Melihat wajah tak senang dari Arya, Ageha segera meminta maaf pada pria tersebut.
"Aku tidak mengatakan isinya, bukan karena Aku tidak ingin menceritakan isinya padamu, tapi karena Aku ingin merahasiakannya untuk saat ini!"
Arya tidak berniat untuk memaksa Ageha untuk menceritakannya, jika dia memang tidak berniat menceritakannya, jadi Arya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
Setelah menghela nafas, Arya hanya mengangguk untuk memberi tanda bahwa dia mengerti. Ageha membalasnya dengan senyuman canggung. Sepertinya dia merasa tidak enak, karena telah menjahili Arya tadi.
"Nah, Arya!"
"Hn, ada apa?"
"Kau pasti sudah sadar bahwa kita akan kehilangan nyawa kita suatu hari nanti, kan?"
Arya menganggukan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Ageha.
Tentu saja Arya sudah menyadari hal tersebut. Meskipun mereka bukanlah manusia, tapi mereka masihlah mahluk hidup. Semua mahluk hidup pada akhirnya akan kehilangan nyawa mereka. Malahan, mereka yang bukan manusia jauh lebih rentan untuk terbunuh dari pada manusia biasa, karena ada orang-orang yang memburu mereka.
Setelah mendengar cerita dari Roy dan Ageha, Arya semakin sadar bahwa hidupnya sebagai mahluk yang berbeda dengan manusia akan jauh lebih sulit dari pada bayangannya. Jadi Arya sudah bersiap, jika dia harus kehilangan nyawanya, karena suatu insiden di masa depan.
"Apakah kau ingin membuat perjanjian denganku?"
"Perjanjian?"
"Ya, perjanjian..."
Ageha kemudian mengarahkan jari kelingkingnya ke arah Arya.
"Jika salah satu dari kita kehilangan nyawa kita, maka salah satu dari kita yang masih hidup harus mengabulkan keinginan dari yang sudah kehilangan nyawa!"
Ageha membawa topik yang sangat berat untuk Arya. Sejujurnya Arya tidak yakin apakah dia sanggup menjalankan perjanjian seperti itu. Dia tidak sanggup membayangkan Ageha saat dia kehilangan nyawanya. Meskipun Arya bisa dengan mudah membayangkan dirinya meninggal, tapi dia tidak bisa membayangkan orang lain saat di posisi tersebut.
"Apa yang kau inginkan?"
Arya tidak menyambut jari kelingking Ageha. Arya menatap tajam pada Ageha saat menanyakan hal tersebut yang juga sebagai tanda bahwa Arya tidak terlalu suka dengan perjanjian tersebut.
"Hmm... hal yang mudah, Aku hanya ingin kau memiliki buku diari milik Ibu dan membacaranya, lalu merawat baik-baik buku harian tersebut!"
Meskipun Arya terlihat tidak ingin menyambut jari kelingkingnya, tapi Ageha tidak menarik jari kelingkingnya sama sekali. Dia masih menunggu pemuda itu untuk menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Ageha. Dia juga menjawab pertanyaan Arya dengan senyum di wajahnya dan dengan sikap yang santai.
"Bagaimana denganmu? Apa yang kau inginkan?"
Arya berpikir sejenak. Dia memandang jari kelingking Ageha, lalu dia memutuskan untuk mengenautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Ageha.
"Aku ingin kau tetap hidup seperti kau saat ini... tidak memiliki dendam atau penyesalan apapun!"
"Sebetulnya Aku masih memiliki dendam dan penyesalan saat ini."
"Kalau begitu, Aku ingin kau melupakan dendam dan penyesalanmu!"
"Meskipun kau juga memiliki dendam dan penyesalan?"
"Ya, meskipun kau dan Aku masih memiliki dendam dan penyesalan saat ini!"
"Kau benar-benar orang yang egois!"
"Aku tidak masalah!"
Meskipun Ageha terdengar seperti mengeluh dan tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Arya, tapi senyuman masih tidak hilang dari wajahnya. Bahkan jari kelingking mereka masih bertautan satu sama lain.
"Kalau begitu ini adalah janji!"
"Ya, ini adalah janji!"
"Tidak boleh ada yang melanggar janji ini!"
"Ya, Aku mengerti!"
Dengan begitu, Ageha dan Arya telah membentuk suatu janji yang sangat tidak ingin mereka tepati. Bukan karena mereka tidak bisa mengabulkan keinginan tersebut, tapi karena mereka tidak ingin melihat orang yang membentuk perjanjian tersebut kehilangan nyawanya. Meskipun mereka tahu bahwa hal itu pasti akan terjadi suatu hari nanti.