Sumpah! Sumpah demi apa pun! Sialan! Aku kaget!
Tadinya aku pikir itu suara gemuruh petir. Tapi herannya, si Buraq justru oleng. Akhirnya aku kembali menepi. Aku curiga, jangan-jangan Buraq bermasalah.
Dengan pikiran semrawut, aku pun mengecek ban Buraq.
Seketika aku lemas….
Ban belakang Buraq pecah . Terus aku pulangnya gimana? :'(
Aku terpekur sejenak di bawah guyuran hujan. Tidak ada jalan lain. Aku harus menuntun Buraq hingga menemukan tempat berteduh dan menghubungi ayah. Aku siap diomeli ayah karena kebandelanku hari ini.
Hujan masih saja turun. Tidak ada tanda akan reda. Aku pun mulai menuntun Buraq yang berwarna putih dan merah jambu itu. Aku biarkan lampu Buraq menyala agar suasana tidak horor-horor amat.
Dari arah belakang, cahaya lampu menyorot. Tidak perlu menoleh. Aku tahu ada kendaraan lewat. Paling-paling juga mereka tidak akan peduli padaku yang sedang sial ini. Jadi aku pun enggan menoleh dan terus berjalan sambil menuntun Buraq.
TIIINNNN!
Suara klakson mobil itu membuatku tersentak. Sedetik kemudian mobil melambat tepat di sampingku dan Buraq. Tiba-tiba kaca jendela mobil turun sedikit.
"Motor kamu kenapa?!" tanya orang itu keras.
Alisku bertaut. Bukannya senang, aku malah waspada. Siapa orang ini? Begal atau bukan? Tapi masa begal bermobil sasarannya motor sih? Mobilnya kan lebih mahal….
"Hei, motor kamu kenapa?!" ulang orang itu sekali lagi.
"Oh…." Akhirnya aku menjawab. "Bannya pecah!"
"Pecah?!" heran orang itu.
Mendadak mobilnya berhenti. Tapi aku tidak peduli. Aku terus berjalan sambil menuntun Buraq merah jambu. Aku tidak mau membuang waktu.
"Hei! Tunggu!" tahan orang tadi memanggilku.
Spontan aku berhenti. Orang itu berjalan menghampiriku dengan payung hitam lebar. Rupanya dia adalah seorang pemuda tinggi tegap. Aku tidak bisa melihat wajahnya secara jelas karena agak gelap, hujan deras, dan terhalang kaca helm.
"Rumah kamu masih jauh?!" tanya pemuda itu berusaha melawan suara hujan.
"Lumayan!" jawabku setengah berteriak.
"Emangnya di sekitar sini ada bengkel?!"
"Nggak ada!" gelengku pasrah.
"Terus kamu mau jalan sampai rumah?!"
"Hehehe…."
Cengiranku membuat pemuda itu menggeleng-geleng. Mungkin tidak habis pikir dengan pola pikirku. Tapi aku tidak punya pilihan, kan?
"Aku anter, ya?! Kasian kamu jalan sendirian! Kamu tenang aja! Aku bukan orang jahat!"
Tawaran itu membuatku kaget. Sungguh mulia sekali hati pemuda itu. Tapi jujur aku masih tidak percaya. Memangnya ada orang jahat yang mengaku jahat? Kalau iya, yakin deh penjara akan penuh tanpa perlu polisi dan pengadilan.
"Nggak usah! Makasih! Aku jalan aja!" tolakku lalu kembali berjalan.
Pemuda aneh itu justru menyusulku berjalan. "Kamu nggak percaya sama aku?!"
"Enggak!" jawabku singkat.
"Sebenernya aku bisa aja ninggalin kamu! Tapi kalau besok tiba-tiba ada berita SEORANG GADIS DIRAMPOK, aku pasti merasa bersalah banget!"
Ucapan pemuda itu membuat bulu kudukku merinding. Langkahku terhenti.
"Gimana?! Mau aku anter?! Kayaknya kita satu arah!" kata pemuda itu lagi.
"Emang kamu mau ke mana?!" selidikku.
"Aku nginep di villa deket Mandalika!"
Mataku membesar. "Satu arah dong kita!"
"Ya udah! Ayok! Hujannya makin deres nih!"
Aku terdiam sejenak. Kalau aku ikut, Buraq bagaimana? Dimasukan ke mobil dia?
"Terus motor aku gimana?!" tanyaku keras.
"Ditinggal aja dulu! Ntar aku telpon temen buat urus motor kamu! Biar dianter ke bengkel sekalian! Gimana?!"
"Kalo ilang?!"
"Aku ganti!"
"HAH?!"
"Yang penting kamu sampai rumah dengan selamat! Motor masih bisa dibeli, tapi nyawa kamu cuma ada satu! Kasian orangtua kamu di rumah! Mereka pasti nungguin kamu!"
Akhirnya aku menyerah. Orang jahat tidak mungkin berkata bijak seperti tadi, kan?
"Ya udah deh!" kataku pasrah.
Aku pun memarkirkan Buraq dan membiarkan kuncinya menggantung di sana. Kata orang ini, dia akan mengganti motorku kalau hilang. Di titik ini, aku malah ingin Buraq hilang sekalian. Kan lumayan aku dapat motor baru. Hehehe….
"Langsung masuk mobil aja! Jas hujan kamu dilepas di dalem mobil!" titah pemuda itu ketika aku menghampirinya.
Tanpa pikir panjang, aku berlari dan memasuki mobil. Jok mobil pun ikut basah karena terjanganku. Tapi biarlah. Toh pemuda itu sendiri yang minta aku masuk mobil. Jadi aku tidak perlu merasa bersalah karena telah mengotori mobilnya.
Aku menyalakan lampu di dalam mobil. Di saat bersamaan, pemuda itu membuka pintu mobil dan….
Seketika aku terpaku melihat wajahnya.
"Nggak mau duduk di depan aja? Kayaknya kamu lebih tau jalan daripada aku," katanya sambil melipat payung.
Aku masih terpaku dengan bibir membuka, sebelum akhirnya bersuara, "Kak Dion?!"
"Kamu tau aku?"
"Aakkk!!!" Aku memekik tidak percaya sekaligus girang. "Kak Dion yang penulis itu kan???"
Kak Dion mengangguk dan tersenyum tipis.
"AAKKK!!! YA AMPUN! MIMPI APA AKU BISA DIANTERIN KAK DION?!" teriakku heboh. Seketika tanganku tremor. Belum sanggup menerima kejutan dari semesta ini.
"Santai aja," balas Kak Dion sambil melajukan mobil. "Nama kamu siapa?"
"Jani!" sahutku penuh semangat.
"Oke, Jani," angguk Kak Dion. "Kita mampir di villa dulu. Habis itu, aku anterin kamu pulang. Gak keberatan kan?"
Aku menggeleng cepat. "Enggak, Kak! Gpp banget! Kak Dion mau anterin aja aku udah seneng!"
Kak Dion hanya mengangguk kecil, lalu fokus kembali pada jalan. Tadinya aku ingin meminta tandatangan di novel yang aku bawa. Tapi aku tidak mau mengganggu konsentrasi Kak Dion. Masalahnya, hujannya semakin lebat dan anginnya kencang.
Aku tahan-tahan diriku agar tidak norak di depan Kak Dion. Aku menatap wajahnya dari spion tengah. Jujur, Kak Dion 100 kali lebih tampan dilihat langsung daripada di foto! Kulitnya putih bersih bening memukau. Rambutnya lebat, terlihat fluffy tuing-tuing, halus, dan lembut. Matanya indah. Bibirnya tipis pink memikat. Hidungnya bangir: mancung dan ramping. Ditambah lagi dengan bentuk wajah oval dan rahang tegas.
Maaakkkk, bisa pingsan aku! Bisa-bisanya ada orang setampan ini di dunia!
"Jani, lampunya udah selesai dipake?" tanya Kak Dion tiba-tiba.
Aku tersentak.
"Oh, iya! Udah, Kak!" anggukku.
"Dimatiin, ya. Ntar kita keliatan kayak ikan di aquarium."
Aku tertawa kecil. "Iya, Kak."
Begitulah ketololanku malam ini. Aku pun diam sambil berusaha mengagumi bagaimana semesta bekerja. Aku memang gagal bertemu dengan Kak Dion di acara meet and greet. Tapi Tuhan baiiik banget. Sekarang aku dipertemukan dengan lebih dekat dengan idolaku itu.
Di tengah terjangan hujan dan angin kencang, mobil memasuki halaman sebuah villa. Mobil pun berhenti di garasi. Begitu mesin mobil berhenti, Kak Dion menghela napas.
"Jani," panggilnya.
"Ya, Kak?"
"Kayaknya bahaya kalo kita lanjut. Anginnya kenceng banget. Kamu lihat sendiri, kan?" ucap Kak Dion menatapku serius.
Iya, aku juga tahu anginnya sekencang itu. Tapi tapi tapi….
Tapi masa iya aku harus menginap di sini??? Aku harus bilang apa ke ayah?! Bisa dicincang betulan aku!
"Ntar mamiq marah, Kak…."
"Mamiq? Siapa Mamiq?" heran Kak Dion.
"Ayah aku," jawabku menyengir.
"Ya udah, aku telfonin ayah kamu—"
"Eh! Enggak! Jangan!" potongku terkejut setengah mati. Gila! Jangan sampai! Bisa makin dicincang aku kalau ketahuan bermalam dengan seekor spesies jantan!
"Terus?"
"Aku izin sendiri aja…."
Mata Kak Dion menyipit. "Bener? Jangan sampai kamu bohong lho."
"Iyaaaa. Beneran," jawabku agak gelagapan. Sebenarnya aku akan berbohong. Aku ingin bilang pada ayah kalau aku menginap di rumah Melly. Itu adalah alasan teraman saat ini. Meskipun galak seperti cihuahua, ayah pasti mengerti.
"Ya udah, ayo masuk dulu," ajak Kak Dion kemudian turun dari mobil.
Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya. Villa yang dipakai Kak Dion ini indah dan nyaman. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Kamarnya pun ada dua (sejauh yang aku amati). Cukuplah villa ini untuk empat orang.
"Kak Dion sendirian?" tanyaku memberanikan diri.
"Iya. Harusnya aku nginep di hotel di Mataram sama tim aku. Tapi aku kabur ke sini," tutur Kak Dion lalu memasuki kamar. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan kaos oblong berwarna biru muda dan celana pendek selutut pria.
"Kenapa kabur ke sini, Kak?" tanyaku lagi.
"Lagi males liat suasana kota," jawab Kak Dion menyodorkan pakaian di tangannya. "Celana kamu basah. Aku cuma punya ini yang cocok buat kamu. Dipakek. Jangan sampai kamu masuk angin."
Aku terdiam, tapi tanganku menerima pakaian itu. Aku menjerit dalam hati.
Alamak… mimpi apa aku bisa pakai pakaiannya Kak Dion?
"Makasih," ucapku menyengir.
Tiba-tiba kening Kak Dion mengernyit. "Tangan kamu kenapa?"
"Oh… itu… aku jatuh dari motor tadi. Hehehe."
Tiba-tiba Kak Dion meninggalkanku. Tapi ia kembali lagi dengan obat merah. Ia langsung menyambar tanganku dan melihatnya baik-baik.
"Belum dibersihin, ya?" tanya Kak Dion pelan.
Aku menggeleng. "Tapi udah diguyur air hujan."
"Uhm…. Kapan kamu jatuh?" selidik Kak Dion sambil membuka tutup botol obat merah.
"Tadi siang. Waktu aku mau berangkat ke meet and greet Kakak," jawabku jujur.
Sontak Kak Dion menatapku dengan serius. "Kamu ke meet and greet aku?"
Lagi-lagi aku mengangguk. "Iya, Kak. Tapi telat. Jadi nggak sempet ketemu Kakak."
"Hhhhh…," desah Kak Dion kembali menatap lukaku sambil meneteskan obat merah. "Harusnya kamu balik. Kamu nggak mikirin keselamatan kamu? Kalau kamu kenapa-napa, aku juga yang ngerasa bersalah. Kamu harus menempatkan diri sendiri di atas orang lain. Walaupun kamu ngefans aku, jangan sampai berkorban gini."
Aku terdiam dalam rasa haru sekaligus sedih. Ternyata tidak salah aku mengidolakan Kak Dion. Dia tidak hanya tampan, tapi juga baik. Baiknya asli, bukan settingan. Padahal aku bukan siapa-siapa, tapi Kak Dion rela kasih aku tumpangan dan mengobati lukaku….
"Udah," ucap Kak Dion.
"Makasih…."
Kak Dion mengangguk. "Kamu mau tidur di sini atau pulang?"
"Maunya sih pulang. Tapi hujan anginnya serem. Takut Kak Dion kenapa-napa di jalan," jawabku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Gini aja. Kalau hujan anginnya udah mendingan, aku anterin kamu pulang. Sekarang kamu tidur aja dulu. Kamu pasti capek kan bolak-balik motoran dari Lombok Tengah ke Mataram," kata Kak Dion sangat solutif.
Karena ini adalah Kak Dion, aku akan percaya 100% padanya. Akhirnya aku mengangguk.
"Kamu pakai kamar yang itu," tunjuk Kak Dion pada kamar yang terletak di belakang.
"Iya, Kak."
Buru-buru aku ke kamar itu dan mengunci pintu. Aku mengganti pakaianku dengan pakaian dari Kak Dion. Ketika baju itu menempel di tubuhku, darahku berdesir.
Aduh, bajunya aja wangi banget ಥ﹏ಥ. Orangnya juga wangi banget, sumpah! Wanginya tuh wangi-wangi mahal elegan gitu loh. Ngerti nggak sih? Beda banget sama aku yang cuma pakek parfum 50 ribuan hasil beli di Shopee.
Aku terus bermonolog dalam hati sambil mematut diri di depan cermin. Tiba-tiba aku tersentak. Ah! Aku belum menghubungi ayah!
Cepat-cepat aku meraih ponsel yang sejak tadi ada di tas. Aku tidak pernah berharap terjebak hujan angin begini semalaman (meskipun itu dengan Kak Dion). Jadi aku berdoa semoga ayahku mau mengerti.
"Hah?! Batere hapenya abis?!" pekikku melotot.
Aku menggigit bibir. Duh! Aku memang lupa mengisi baterai sebelum pergi. Pinjam charger Kak Dion juga nggak mungkin. Colokannya beda. Ponselku android. Kak Dion pakai iphone terbaru. Mana nyambung???
Mati beneran aku!
Sekarang tidak ada yang bisa lakukan selain menunggu hujannya reda.