Chereads / My Litle Wife / Chapter 6 - 06. Isi Kontrak

Chapter 6 - 06. Isi Kontrak

"Kamu lagi bercanda?"

Bentala yang semula menyodorkan sebotol air mineral kepada wanita yang belum sepenuhnya tenang dari tangis histerisnya itu, nyaris saja tergelak. Tetapi, mendadak tangannya luruh ke samping tubuh dengan masih menggenggam botol tersebut. Ia tatap Nika dengan pandangan seperti biasanya, dingin dan datar. Sebab biasanya pun Nika juga menatapnya seperti itu. Bahkan selama mereka berdua telah saling mengenal, tak sekalipun percakapan di antara keduanya terjadi. Sekalipun hal itu terjadi, mungkin hanya sepatah atau dua patah kata yang terucap.

"Aku nggak bisa menikah," ucap Nika pada malam sebelum hari pertunangan mereka.

Wanita yang mengenakan celana bahan dan setelan jas berwarna abu-abu tua, juga lipstik gelap itu bahkan tak menatapnya saat bicara. Bentala dan Nika memang memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe setelah keduanya mendengar kabar tentang perjodohan tersebut.

Saat Bentala baru saja duduk di kursinya, kalimat itulah yang ia terima dari Nika.

"Itu bagus, karena aku juga nggak bisa menikah dengan kamu."

Bentala menghela napas sebentar, ia menatap keluar jendela lalu kembali menatap Nika yang masih memaku kopi panas di depannya.

"Pernikahan kontrak," ucap Nika sukses mengejutkan Bentala saat itu juga.

"Jangan bercanda kamu," balas Bentala, "Aku nggak mau mempermainkan pernikahan yang sakral."

"Kalau gitu kamu cari solusinya, aku nggak bisa melawan kemauan Nyonya Ratih gitu aja."

Kalimat itu kemudian sukses membungkam Bentala. Ia tau betul karakter Ratih jika sudah menginginkan suatu hal. Seperti bagaimana wanita paruh baya itu berulang-kali mintanya untuk bergabung dengan perusahaan Ratih. Dan kali ini, sepertinya memang Bentala tidak bisa menghindar lagi.

"Aku permisi," ucap Nika malam itu beranjak lebih dulu meninggalkan Bentala serta kopi panas yang masih mengepulkan asap tanpa disentuh sedikitpun.

***

Laki-laki itu menghela napas lelah. Seharian ini Nika terlalu banyak menunjukkan sisi lain dalam dirinya yang membuat kepala Bentala penuh dengan pertanyaan. Wanita di depannya itu sangat berbeda, benar-benar seperti orang lain.

Maka dari itu, Bentala merasa heran sejak hari pertunangan mereka. Tepatnya setelah Nika terbangun dari pingsan saat keduanya hampir saja berangkat ke gedung pertunangan.

"Emang sekarang aku lagi kelihatan bercanda?" tanya Naya yang berada dalam tubuh Nika menatap Bentala serius.

"Aku ini Naya, pemilik tubuh yang sekarang lagi terbaring koma di dalam sana." Naya kontan menatap gedung rumah sakit yang berada di depannya.

Karena memang keduanya belum memutuskan untuk pulang, jadi Bentala mengajak Naya untuk duduk di depan gedung dekat dengan parkiran umum untuk sejenak meredakan tangis. Namun, siapa sangka saat Bentala kembali ia justru mendapatkan informasi tak masuk akal tersebut dari Nika.

Laki-laki itu tertawa mendengus sambil memutar tubuh membelakangi Naya yang masih berdiri mematung di tempat, sebelum kemudian ia kembali berputar dan berhadapan dengan tunangannya tersebut.

"Jadi, maksud kamu ... Sekarang ini kamu bukan Nika?" tanya Bentala memastikan bahwa kalimat 'pertukaran jiwa' yang dikatakan oleh Nika barusan adalah hal yang sangat di luar nalar.

Dan, jelas saja Bentala tak bisa menerima itu. Terlebih sekarang, Nika malah menganggukkan kepala pelan.

"Nggak masuk akal."

"Aku tau, aku juga nggak ngerti gimana caranya hal kayak gini terjadi? Kemarin aku cuma tidur setelah gantiin shift malam di mini market, tapi pas aku bangun ...," ucap Naya menggantungkan kalimatnya.

Gadis itu juga memejamkan matanya merasa jengah sekaligus bingung dengan apa yang sekarang ia alami. Di tambah lagi sekarang, Naya ikut pusing memikirkan bagaimana respon kedua orang tuanya nanti saat tau bahwa Naya justru koma di rumah sakit.

"Kamu pikir aku bakalan percaya?" kata Bentala, "kita pulang sekarang. Aku nggak mau denger apa-apa lagi."

Laki-laki itu berjalan mendahului Naya yang masih mematung di tempat, tapi siapa sangka kini Naya malah menarik ujung lengan kemejanya dengan sepasang mata yang merah.

"Apalagi?" tanya Bentala, nada bicaranya datar tapi selalu berhasil menusuk lawan bicaranya.

Pada akhirnya nyali Naya untuk mengatakan keinginannya ciut juga. Gaidis itu akhirnya melepaskan tangannya dari lengan kemeja Bentala dengan kepala tertunduk.

"Kamu kira aku setuju sama perjodohan bodoh ini? kalau bukan karena orang tuaku yang minta, aku nggak akan bertindak sejauh ini buat berurusan sama wanita keras kepala kayak kamu. Selama ini aku udah cukup sabar buat menghadapi kamu, Nika. Jadi, tolong," ucap Bentala kini sepenuhnya memutar tubuh saling berhadapan dengan wanita yang ada di depannya itu.

"Tolong lakukan juga tugas kamu, lusa aku bakalan datang buat tanda tangan surat kontrak pernikahan kita," jelas Bentala.

Setelah mengucapkan kalimatnya, Bentala meninggalkan Naya sambil melemparkan botol air mineral yang masih utuh di tangannya ke dalam tong sampah yang ia lewati. Walaupun dengan perasaan sesak dan isi kepala yang tak dapat dijabarkan secara persis, Naya yang sejujurnya juga ingin marah hanya menggigit bibirnya menahan emosi.

Wanita itu juga tetap mengikuti Bentala masuk ke dalam mobil laki-laki itu karena ia juga tau konsekuensi seperti apa yang akan ia dapatkan jika pulang tanpa laki-laki itu ke rumahnya. Naya tak ingin hari ini lebih buruk dengan mendapat cacian lagi dari Ratih.

***

Surat Kontrak Pernikahan

1. Tidak ada hubungan serius di antara pihak pertama (Bentala) dan kedua (Nika).

2. Dilarang ikut campur dalam urusan pribadi dari kedua belah pihak.

3. Kedua belah pihak wajib melakukan peran sebagai pasangan suami istri, HANYA saat berada di depan keluarga besar dan rekan kerja bisnis.

4. Pihak kedua harus menyetujui untuk tinggal di tempat yang sudah diputuskan oleh pihak pertama.

5. Pihak kedua harus menuruti perintah pihak pertama atau kesepakatan dibatalkan.

6. Dilarang melibatkan perasaan dalam hal-hal yang bersangkutan dengan pernikahan kontrak.

7. Kesepakatan pernikahan ini akan berakhir dalam waktu satu tahun, terhitung setelah hari pernikahan.

Naya menutup map cokelat di tangannya dengan keras lalu membanting tubuhnya ke belakang sampai merebah sempurna di atas kasur. Dengan posisi kedua kaki yang masih menggantung itu, Naya memejamkan mata sejenak sambil menghela napas. Ia masih mencoba berpikir jernih untuk melewati semua ini. Dan, saat ini isi kepalanya sibuk mengabsen renet kejadian yang ia alami secara runtut, berharap ia dapat menemukan sesuatu di balik hal janggal yang menimpa dirinya ini.

"Oke, aku nggak lagi mabuk malam itu. Besoknya, aku terbangun sebagai Nika dan sekarang terjebak sama Bentala. Satu lagi, kalau sekarang tubuhku koma nggak sadarkan diri, berarti ..." Tiba-tiba saja Naya menegakkan tubuh dengan kepala yang masih berpikir keras.

"Nika? Sebenernya kamu ke mana?" gumam Naya menggigit bibir bawahnya.

Seharusnya saat Naya menaungi tubuh Nika, Nika juga menaungi tubuh Naya. Begitulah novel atau drama yang selama ini ia nikmati. Sehingga kedua belah pihak dapat saling berdiskusi untuk menghindari kerugian yang akan di dapatkan oleh masing-masing tubuh. Namun, situasnya berbeda sekarang. Naya sungguh-sungguh akan menjadi orang asing dengan peran baru tanpa pembantu.

"Tapi, Bentala bilang Nika yang memutuskan buat melakukan pernikahan kotrak ini, 'kan?" gumam Naya sendirian.

Saat tengah berpikir seperti itu, sepasang mata Naya menangkap sebuah foto Nika yang terpasang cukup besar di dinding kamarnya. Dengan pinggiran pigura berwarna emas menyala itu, Naya menyentuhnya.

Foto seorang wanita berambut sepundak yang mengenakan dress panjang mewah berwarna merah sambil memegang setangkai mawar hitam, juga warna lipstik merah menyala yang membuat sosok Nika dalam foto itu terlihat seperti pemeran wanita antagonis dalam sebuah film.

Naya bersedekap dada sambil menelengkan kepalanya ke samping untuk mengamati foto itu lebih lanjut. Di tambah lagi dengan pigura yang lebih kecil di sebelahnya, terdapat foto Nika bersama keluarganya. Ratih dan seorang laki-laki paruh baya yang sudah pasti adalah ayah Nika. Di sebelahnya lagi sebuah foto kelulusan kuliah Nika yang sama-sama terlihat cantik. Naya mengangguk-anggukkan kepalanya, sepertinya Nika memang terlahir dann tubuh dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi tingkatan kata.

"Tapi," bisik Naya masih mengarah ke dinding di mana foto-foto itu terpanjang.

"Kalau di lihat-lihat, hampir di semua foto dia nggak pernah tersenyum. Apa dia nggak bahagia?"