Di balik senyumannya, George sebenannrnya sangat ingin membunuh gadis yang ada di hadapannya sekarang. Entah apa gadis ini inginkan, tapi cepat atau lembat, George akan membuat semua orang lupa padanya, dan menjadikan gadis ini koleksi baru George. Ah, sangat menyenangkan, bukan? Tapi, George harus tahu apa yang sebenarnya gadis ini inginkan darinya. "Fanny, ada apa kau mencari ku? Apakah pihak universitas meminta mu untuk datang kemari?" tanya George, namun gadis yang bernama Fanny itu hanya diam dan tidak merespon. Apakah dia hanya ingin mempermainkan George? Sedari tadi dia hanya menatap ponsel seolah sedang memastikan apa yang dia lihat itu benar atau tidak.
"Senior, apa pria yang membuang mayat perempuan ini kau? Mau tidak percaya jika ini bukannlah diri mu rasanya sulit sekali," ucap Fanny, setelah sekian lama diam. Fanny menunjukkan gambar yang ia maksud kepada George, dan George juga tidak bisa mengelak jika itu bukan dirinya. "Jika itu memang diriku, apa yang akan kau lakukan? Huh? Kau mau melaporkannya? laporkan saja, lagi pula ... siapa yang akan mendengakan laporan mu?" Balasnya sombong. Fanny menghela nafas, ia menunjukan sebuah lencana resmi, yang di bawahnya tertulis jelas nama 'Kapten Fanny Oridgo'. "Jadi maksud mu, kau yang akn menangkap ku? Kapten Fanny?" tanya George dengan nada yang merendahkan. "Hentikan semua omong kosong ini, Fanny. JIka kau ingin tetap hidup, pergi dari sini, dan bersikap bahwa kau tidak mengetahui apapun," jelas George panjang.
"Jika aku harus mati pun, tidak masalah. Asal kau menderita di penjara!" Setelah mengucapkan itu, Fanny mengeluarkan senjatanya, menodongkan bibir pistol itu ke pelipis George. "Sepertinya kau memang ingin mati, ya?" Seetelah mengucapka itu, George langsung menarik lengan Fanny, agar ia bisa mengambil pistol itu. Namun, Fanny lebih kuat dari yang pikirkan. Gadis itu memukulkan pegangan pistol ke kening George dengan kuat, membuat sebuah luka dan rasa nyeri munncul. Mau tak mau, George harus melepaskan cengkraman tangannya, dan Fanny, gadis itu menjauh dari mobil George, untuk mencari titik yang pas agar ia bisa menembak George.
Ah, sepertinya Fanny lupa sesuatu. Sekuat apapun dirinya, ia hanya bisa mengulur waktu George, bukan bisa melawan pria itu, dan tidak membunuh dirinya. Tapi, Fanny tidak akan peduli akan hal itu, yang ia mau hanyalah pria itu tertangkap dan di penjara. "Kau mrnggunakan pistol, jika aku menggunakan senapan, apa yang akan kau lakukan?" ucap George dengan suara yang sedikit tinggi, disertai smirk khasnya. Dengan cepat, Fanny menembakan satu pelurunya, dan itu berhasil mengnai kaki kanan George. Setelah itu, Fanny berlari dengan cara berpindah-pindah ke kanan dan ke kiri, Fanny yakin, jika George tidak akan bisaaaaa menembak objek yang bergerak.
'Dor!'
Tapi perkiraan Fanny itu salah besar. Sekarang George bahkan berhasil mendaratkakn peluru tepat di punggung Fanny. Namun bukan Fanny jika ia mnyerah begitu saja, walaupun tubuh Fanny hampir terjatuh ke tanah, gadis itu tetap berlari ke dalam hutan, tanpa tau jika di dalam huutan itu ia akan lebih mudah tertangkap. Definisi masuk ke dalam kandang macan tanpa menggunakan keamanaan sedikit pun. Tak butuh waktu lama untuk membuktikan hal itu, sekarang, Fanny sudah terikat di atas pohon, dengan posisi yang terbalik. "Seharusnya kau ucapkan selamat tinggal pad semua rekan pengecutmu itu, nona pemberani," ucap George.
Pria itu meninggalkan Fanny yang tergantung di pohon sendirian, dan luka tembak tadi masih saja mengeluarkan banyak darah. Mungkin George ingin Fanny mati karena kekurangan banyak darah? Ah, itu pasti sangat menyakitkan. Tapi bukan itu yang George rencanakan. "Bawa gadis itu ke basement, bunuh dia, dan hanyutkan dia ke laut, jangan di bunngkus apapun, agar jasadnya habis di makan hiu," tuturnya, sembari memberikan senapan yang ia pegang pada anak buahnya. Dan setelah itu, ia memilih kembali ke mobilnya, kemudian ia pergi ke markas utama. Ada yang lebih seru dari meladeni Fanny. Yaitu pejabat Negara yang proses eksekusinya di siarkan secara langsung.
Baiklah, ayo kita balas semua penyiksaan yang sudah ia lakukan ke semua rakyatnya selama ini. "Apa semuanya sudah selesai? Bagaimana dengan siaran langsungnya?" tanya George begitu masuk ke dalam markas. Semua orang yang ada di sana tersenyum, kecuali seorang pria paruh baya yang duduk di kursi, dengan tubuhnya yang di ikat, dan mulutnya di tutup oleh kain. Apa dia masih tidak mengerti? Siapa orang yang berkuasa di sini? "Hey lihat, aku jadi tidak sabar untuk membunuh mu, Pak. Jika kau menatapku dengan tatapan yang seperti itu, rasanya aku ingin mencokel mata mu itu," ucapnya panjang. Namun, sepertinya pak tua itu memang tidak sabar untuk mati.
"Ah, sebenarnya akan lebih seru, jika semua orang yang pernah ia sakiti yang menghukumnya," kata Angel, sembari berjalan menjauhi pria itu. Di dalam hatinya, ia juga pasti ingin membunuh orang-orang ini, tapi, di sini kan dia yang ditakdirkan mati? Mana boleh melangkahi takdir Tuhan? Tapi Pejabat Negara yang seperti ini, pasti memiliki tim keamanan untuk menyelamat kan tuannya, benar, bukan? "Oh? Pria-pria yang tubuhnya kekar itu? Yang datang menggunkan baju partai dan rompi anti peluru? Baru saja aku menyuruh anak buah mu untuk memindahkannya ke kandang singa milik mu, tuan. Yah lumayan ... Tiny kesayangan mu dapat sto makan satu bulan dengan cuma-cuma," jawab Angel panjang.
George sedikit terdiam, gadis bodoh ini sudah mulai menerima pekerjaan kakanya yang kotor ini, ya? Yah, jadi hidup Bapak koruptor itu benar-benar akan berakhir d sini, ya? Kasihan sekali, padahal ia sudah membayar mahal para bodyguard profesional yang kehilangan nyawa mereka itu. Dan pada akhirnya, calon eksekusi mati ini juga lah yang harus menaggung semuanya. Kan sudah jelas, jangan melawan 'takdir Tuhan' walaupun cara yang di lakukan manusiannya terlalu kejam. "Berepa lama lagi aku harus menunggu? Aku sudah tidak sabar ingin melakukannya," ujar George, sembari menatap angka di arlojinya.
"Sabar Tuan, anda hanya tinggal menunggu tiga puluh menit lagi, dan orang itu bisa anda permainkan sesuka Anda," balas Angel. Dan menunggu sesuatu yang menyengkan, tiga puluh menit itu sangat lah lama. "Lebiih baik Anda berbincang sedikit dengan Bapak itu, sepertinya ia mau menawarkan sesuatu yang menguntungkan, deh." George menggelengkan kepalanya, kemudian ia berkata. "Sudah mau mati tidak usah tawar menawar, Neraka saja sudah tidak sabar menunggu kehadirannya," ucap George sembari tersenyum.
Ucapanya agak menyakit'kan, ya? Rasanya lebh sakit dari pada putus cinta.
"Nah Tuan, sekarang sudah waktunya bagi anda untuk menunjukan keahlian dalam hal motong memotong."