Chereads / RAHASIA KELAM SANG BINTANG / Chapter 8 - SEBUAH TEKAD AWAL

Chapter 8 - SEBUAH TEKAD AWAL

"Tante Kana?" batinnya malas. Jovita pun meletakkan kembali ponselnya dan membiarkan dering itu bersuara nyaring tanpa menghiraukannya. Akhirnya suara dering itu berhenti. Jovita segera mematikan ponselnya.

"Jovanka sedang dalam mode diam. Maaf Tante," gumam Jovita sambil menatap ponsel keluaran terbaru itu dengan senyum tipis. Jovita kembali berselancar di ponsel lamanya. Beberapa pesan dari grup kampusnya membuat gadis cantik yang polos itu segera bangkit dari tempat tidurnya.

Laptop dinyalakan dan tak berapa lama Jovita pun asyik berkutat dengan makalah skripsinya. Beberapa kali membenarkan kacamata berbingkai plastik hitam yang lebar itu dari hidung mancungnya. Poninya yang sudah kepanjangan itu juga sesekali dia sibakkan. Dari siang hingga malam hari Jovita terus saja berkutat di depan laptopnya. Hanya mandi dan makan malam saja yang membuatnya harus meninggalkan sejenak laptop miliknya itu.

Denting jam kuno milik ayahnya terdengar berbunyi sebanyak dua belas kali. Jovita menghentikan aktivitasnya. Dia mulai merapikan meja belajar dan mematikan laptop. Tubuhnya pun rebah dengan nyaman di ranjang besi yang berderit jika Jovita bergerak. Tapi dirinya nyaman.

Derit suara ranjang itu selalu mengingatkannya pada sosok wanita yang selalu menemaninya tidur. Dia di sisi sebelah kiri dan kakak perempuannya di sisi yang lain. Mereka berdua saling memeluk seorang wanita yang dipanggil Mama itu dengan penuh sayang. Jovita dan kakaknya akan saling berebut memeluk Sang Mama hingga suara derit ranjang pun berkali-kali terdengar.

Jovita tersenyum mengingat kejadian yang telah hampir lima belas tahun itu terjadi. Wajahnya mendadak berubah sedih saat mengingat kakak perempuannya. Tragedi demi tragedi yang menimpa keluarganya membuat kakaknya tidak kuat dengan keadaan dan memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan pendek.

"Semoga kamu tenang di sana, Kak," bisik Jovita dengan tulus. Wajahnya menatap sebuah foto berbingkai yang tergantung di dinding. Kakak perempuan satu-satunya itu tengah bergaya dengan dirinya yang terlihat masih culun.

"Aku rindu, Kak," desisnya lirih. Bayang-bayang kejadian ketika dirinya menemukan kakaknya yang terkulai lemah bersimbah darah di lantai kamar itu membuat ujung matanya tergenang. Kakak semata wayangnya itu sangat menyayanginya begitupun dirinya yang dikatakan cukup tergantung dengan sang kakak.

"Kenapa Tuhan memanggilmu kembali dengan cara seperti itu, Kak," gumamnya sedih. Rasa sedihnya kian membuncah saat teringat cerita Lavender tentang kenyataan yang menimpa ayahnya.

"Tak 'kan kubiarkan orang-orang yang telah memfitnah Papa itu tertawa senang lebih lama. Aku akan menghancurkan kalian. Lihat saja nanti," geramnya dengan tatapan mata yang tajam dan dingin milik Jovanka.

"Jovanka tidak bisa diatur oleh orang lain. Dialah yang akan mengatur orang-orang untuk tunduk kepadanya," kata Jovita dengan mata terpejam. Seulas senyum misterius tersungging di bibirnya sesaat sebelum gadis cantik itu tertidur.

***

Sementara itu sesaat setelah menurunkan Jovita, Lavender melajukan mobilnya menuju bandara. Lavender memarkirkan mobilnya dan segera mengenakan jaket denim yang agak kumal dan sebuah topi. Dia mengambil sebuah tas punggung yang tergeletak di jok belakang dan berjalan meninggalkan mobilnya. Lavender menuju sebuah toilet yang cukup lengang. Wajahnya yang cukup tersamar itu menunduk saat berjalan.

Toilet dalam keadaan kosong. Dia pun masuk dan mengunci pintunya. Lavender segera melepas jaket dan pakaian atasnya. Dia berganti mengenakan tshirt dan membersihkan riasannya. Kini bekas sayatan sepanjang lima senti meter di mata kirinya terlihat sangat jelas. Wajahnya yang banyak bekas jerawat pun terlihat sangat nyata karena tak lagi tertutupi oleh bedak dan foundation.

Lavender tersenyum menyeringai menatap wajah aslinya yang cukup menyeramkan. Dia pun segera membereskan bawaan ke dalam tas dan kembali mengenakan topi serta jaketnya. Lavender keluar dari bilik kamar mandi dan melihat toilet ternyata sudah cukup ramai oleh pengunjung. Semua orang tampak ketakutan melihat penampilan lelaki dengan tinggi 180 cm itu berjalan tanpa seulas senyum pun di bibirnya.

Lavender mencoba menghubungi seseorang sambil berjalan perlahan. Netranya menyapu ke sekeliling lobi. Dia berhenti sejenak dan berbicara cukup serius di sana. Kepalanya mengangguk dan menuju sebuah kursi kosong yang ada di dekatnya.

Tak sampai tiga menit kemudian datanglah seorang pemuda menemuinya. Lavender hanya menyerahkan kunci mobil dan tasnya tanpa bicara apa-apa. Dia segera melangkah lebih ke dalam bandara lagi sementara lelaki muda itu terlihat berjalan ke arah yang sebaliknya.

Lavender berjalan dengan gagah. Hari ini jadwalnya untuk pergi ke luar pulau. Sebuah pulau kecil yang ramai dan padat penduduknya di sisi bagian selatan pulau itu. Pulau yang terkenal dengan pariwisatanya hingga ke manca negara. Lelaki berwajah sangar itu bukan hendak berwisata. Tentu saja bukan itu tujuannya. Seulas senyum tipis terukir di bibir tegasnya.

Kakinya melangkah mantap saat pesawat yang membawanya telah mendarat di pulau itu. Dia pun segera keluar dan masuk ke sebuah angkutan umum khusus bandara yang banyak parkir di depan halaman bandara itu.

Lavender menyebutkan sebuah tempat yang langsung diiyakan oleh sopir mobil itu dengan sopan. Dia melepas jaketnya. Kaos yang melekat cukup ketat di badannya itu tak bisa menutupi tattoo yang memenuhi lengannya. Untung saja seni tattoo di daerah ini sangat familiar, sehingga keberadaannya di badan Lavender tidak terlalu membuat orang-orang di sana mengernyitkan kening.

"Sudah sampai, Pak," kata sopir memberitahu. Lavender menunduk sebentar untuk melihat tempat tujuannya. Setelah yakin barulah dia mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya.

"Terima kasih, Pak," kata lelaki kurus yang duduk di belakang kemudi itu sambil tersenyum senang. Lavender tidaklah terlalu pelit memberikan tips. Dia hanya mengangguk dan segera keluar dari mobil.

Langkahnya diayun memasuki sebuah lembaga pemasyarakatan yang cukup besar di salah satu sudut kota ini. Seperti biasa, setelah melapor pada petugas yang berjaga, dia segera menyerahkan kartu identitasnya dan menyerahkan dirinya untuk dicek fisik. Petugas itu tersenyum dan mengangguk tanda Lavender bisa langsung diantar menuju ruang kunjungan.

Lavender mengikuti langkah petugas lapas di depannya dan mereka pun memasuki sebuah ruangan yang bersekat. Lavender duduk di salah satu kursi yang tersekat kanan dan kirinya. Dia menunggu dengan cukup sabar hingga pintu yang ada di dalam ruangan seberangnya terbuka. Seorang lelaki setengah baya tampak masuk. Lavender segera berdiri dan menunduk hormat saat melihat lelaki itu.

Lelaki berambut cepak itu membalas anggukan kepala Lavender dan duduk dengan santai di seberang Lavender.

"Umpan telah dilepas, Tuan," kata Lavender. Lelaki berusia enam puluh tahunan itu mengangguk dengan pandangan tertahan.

"Namanya Jovanka," lanjut Lavender.

"Dia sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Nona Muda," kata Lavender yang meneruskan bicaranya saat dilihatnya lelaki itu hanya mengangguk tanpa berniat membuka bibirnya. Lelaki itu menghela nafas panjang dan menatap Lavender dengan tatapan yang sulit dipahami.

"Tetap jaga dan awasi dia. Jangan sampai terjadi sesuatu apapun dengannya," kata lelaki tua itu dengan nada yang tertahan. Lavender segera menganggukkan kepalanya.

"Sebentar lagi Tuan bisa sering melepas rindu dengan menyaksikan Nona Muda tampil di televisi," kata Lavender memberitahu. Lelaki itu menatapnya dalam kemudian mengangguk perlahan. Netranya menatap Lavender dengan berjuta ucapan terima kasih yang tersirat nyata dari sinar matanya. Lavender hanya tersenyum simpul dan mengucapkan kembali kasih.

"Besok kami mulai dengan shooting pertama. Doakan semua lancar, Tuan," ucap Lavender tanpa suara. Lelaki yang telah terlatih membaca gerak bibir lawan bicaranya itupun hanya mengangguk. Secercah harapan membuatnya lebih yakin jika apa yang telah direncakanannya bersama Lavender pasti akan membuahkan hasil.

"Tuan harus bisa bertahan. Saatnya akan segera tiba," kata Lavender tanpa suara. Lelaki itu tiba-tiba saja melakukan sesuatu yang membuat Lavender terdiam. Hal yang telah lama hilang dari diri lelaki yang sangat dihormatinya itu sekarang mendadak dilakukannya. Lavender menatapnya takjub sekaligus terharu membuatnya menundukkan kepala sambil menghela nafas perlahan.