Bab 7 Pesona Sang Duda
David membantu Zelin dengan cara memegangi pinggang wanita itu supaya tidak jatuh. David memang pria yang peka dan sigap, dengan telaten pria itu menjaga Zelin supaya tetap aman selama berjalan menuju kamarnya di rusun. David merasa tergelitik hatinya karena resah melihat tempat tinggal Zelin. Rusun tidak seperti apartemen. Banyak mata memandang ke arah mereka berdua serta bisik-bisik dari para penghuni rusun. Bahkan ada yang terang-terangan menyindir bilang kalau mereka kumpul kebo atau semacamnya. Untung saja David pria yang tampan, sekali senyum, ibu-ibu rusun yang sebelumnya bergosip di pinggiran balkon langsung luluh dan diam.
"Mana kamarmu?" Tanya David.
"Lantai 3 kamar 303," jawab Zelin dengan terengah karena menaiki anak tangga.
David sudah biasa berolahraga jadi nafasnya tetap stabil. Hatinya mencelos karena kondisi rusun yang tidak memiliki fasilitas lift yang baik. Kasihan dengan keadaan Zelin yang harus naik tangga dalam keadaan sakit. Jika tahu seperti ini, David rasanya ingin menggendong Zelin dan memutar balik, membawanya ke penthouse mewahnya. Daripada harus seperti ini, sangat menyusahkan.
"Maaf kalau saya merepotkan, Bapak," ucap Zelin pelan. Sepertinya ia tahu kalau bosnya itu sedang membatin.
"Oh, tidak. Sama sekali tidak." Bohong sekali. David harus berbohong demi menjaga perasaan wanita yang ia sukai.
Mereka kembali diam sampai akhirnya sampai di depan pintu yang mulai mengelupas catnya. David kembali tercengang. Tapi ia diam saja sambil memutar kunci pada pintu tersebut.
Zelin begitu pucat, kalau dokter bilang Zelin mengalami anemia dan kelelahan. Jadi harus istirahat. David bicara dengan manager resto dan memberikan izin pada Zelin untuk istirahat selama satu minggu paling lama.
David membaringkan tubuh Zelin di kasur yang berukuran sedang. Menyalakan pendingin ruangan dan membantu Zelin menutupi tubuhnya dengan selimut. Zelin sendiri wajahnya memerah, karena malu. Baik malu dengan huniannya yang sederhana dan malu karena merepotkan bos.
"Istirahat ya, jika butuh sesuatu, telepon aku. Jangan sungkan. Aku akan menunggu kabarmu selama 24 jam. Uhm… semoga lekas sembuh. Rasanya tidak enak sekali melihat kamu seperti ini. Ada rasa sedih di sini," jelas David sambil menunjuk dadanya sendiri.
Zelin melipat bibirnya kedalam dan merasakan kalau kulit bibirnya yang mengelupas. Mendapatkan perhatian khusus dari seorang pria seperti David, membuat. Zelin tidak enak. Ia takut kalau terlalu berekspektasi tinggi dan berlebihan justru akan mengecewakan. "Terima Kasih, sudah mengantar saya. Dan maaf jika sudah merepotkan."
"Kamu tidak merepotkan sama sekali. Hal wajar jika saya khawatir kamu sakit. Kamu itu karyawan di perusahaan saya. Jadi, jangan sungkan." David melihat arloji di tangannya. "Kamu bisa aku tinggal kan? Aku harus menghadiri rapat setengah jam lagi."
"Oh, iya, saya bisa mengurus diri saya sendiri. Sekali lagi terimakasih." Zelin sudah mau bangun tapi David memberi isyarat melalui gerakan kepala. Hingga Zelin tidak jadi bangun.
"Kamu istirahat saja, aku bisa pergi sendiri." David berbalik dan berjalan ke arah pintu. Namun dia berbalik, "Zelin, jangan lupa kunci pintunya."
"Iya, Pak." Zelin akhirnya tetap beranjak dari kasurnya dan berjalan ke arah pintu untuk mengantar kepergian David dan mengunci pintu.
Setelah menutup pintu dan menguncinya, Zelin kembali naik ke atas kasur. Merebahkan diri dan sadar kalau tubuhnya harum dari parfum David yang tertinggal di bajunya. Perpaduan Musk dan Woody yang terkesan macho tapi hangat.
"Wah, candu sekali wanginya," ucap Zelin sambil menghidu aroma yang menempel di tubuhnya. "Kenapa memalukan sekali sih. Merepotkan dan menyusahkan saja." Zelin mendumal saat teringat kejadian di tempat kerjanya.
Teringat bagaimana Kevin yang diam-diam mengikutinya dan membawanya ke klinik hotel. Lalu… Zelin teringat bagaimana Kevin menyebutkan dirinya adalah 'istri'.
"Ya Tuhan, nggak salah dengar kan aku. Atau saat itu aku memang tidak sadarkan diri? Ah… semoga saja tidak benar." Zelin mengusak rambutnya yang hitam dan panjang. Menyerah dengan pikirannya lalu merebahkan diri sambil memejamkan mata. Karena pusing kembali menghajarnya.
•°•°•°••°
Setelah rapat David memutuskan untuk kembali ke kantor dan meminta asistennya membawakan tas Zelin kepadanya. Lalu, saat tas itu sudah ada di depan matanya, pikirannya kembali teringat semua tentang Zelin. Dari Kevin yang membopongnya, rusun tempat Zelin tinggal, semuanya. Rasanya hal seperti itu tidak layak untuk wanita secantik dan selembut Zelin.
"Kevin itu terlalu dekat dengan Zelin. Apa mereka ada hubungan dekat? Sepertinya iya. Kalau tidak, ngapain Kevin repot-repot mengurus Zelin." David memejamkan matanya, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya sedih sekali melihat Zelin seperti itu. Ada keinginan dalam diri untuk terus dekat dengan Zelin, bahkan merawat wanita itu.
David mencari tahu riwayat hidup Kevin. Dan David tercengang. Pada kenyataannya adalah Kevin pernah menjadi bagian dari pengusaha dan investor dari Grey Tower. Dan kini justru menjadi karyawan biasa akibat penyelewengan dana.
"Wah… jadi dia yang merusak keuangan perusahaan!" David menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Aku tidak akan membiarkan Zelin dekat dengan pria seperti itu. Bertanggung jawab dengan perusahaan saja tidak bisa. Apalagi jika dia beneran dekat dengan Zelin. Bisa-bisa Zelin disakiti." Hal-hal seperti itu terus saja mengusik isi kepalanya.
Waktu terus berjalan, David bersiap akan pulang menjelang petang. Sebelum pulang, David memesan makanan melalui delivery untuk Zelin. Lalu, baru dia dengan tenang pulang ke penthousenya. Sebelum berpisah dengan asistennya, David meminta kepada asisten untuk mencari tahu hubungan antara Kevin dan Zelin di masa lalu. Bagi David, hal seperti itu bukan hal sulit. Apalagi dengan statusnya sebagai seorang pengusaha yang lumayan besar dan terkenal.
Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui itu semua. Baru saja David akan berendam di bathtub dengan air hangat juga aromaterapi vanilla yang akan membuatnya rileks karena sudah seharian bekerja, ponselnya berdengung. Dan itu dari Johan asisten pribadinya.
"Bos, Kevin dan Zelin pernah menikah setahun yang lalu. Mereka bercerai karena Kevin berselingkuh. Ini juga bersangkutan dengan dana perusahaan yang diselewengkan oleh Kevin. Saya akan kirim datanya melalui surel."
"Baik." Hanya itu jawaban David setelah mendengar penjelasan dari Johan. Setelah sambungan terputus, ponselnya bergetar lagi yang menandakan ada pesan masuk. Dan itu surel dari Johan. Ia pun segera membukanya. Semua data dan identitas serta nama selingkuhan Kevin pun semua ada. Semuanya. Bahkan data pribadi Zelin pun ada.
David mengerti mengapa Zelin menolak saat Kevin ingin membantunya saat di hotel. Ternyata mereka adalah masa lalu yang bertemu kembali. Tubuh atletis David masuk lebih dalam ke air hingga sebatas leher dan menyisakan kepalanya. Ia pun memejamkan mata, hanya sekedar untuk menghilangkan kepenatan.
Kenapa Kevin mendesak Zelin seperti itu? Apa Kevin seperti dirinya yang dulu kepada Friska? Membucin meskipun si wanitanya sudah tidak ingin? Atau kasusnya beda? Ah, memusingkan. Apakah dia bisa memiliki Zelin?
Terlalu jauh berangan angan membuat pria yang hampir berusia 40 tahun itu membuka matanya untuk kembali menerima kenyataan. Sudah dirasa cukup berendam, ia pun memutuskan untuk mandi dibawah guyuran shower.
•°•°••°•
Zelin ternyata tidur terlalu lama, ia bangun karena mendengar suara ketukan pada pintu rusunnya yang menuntut untuk dibukakan.
"Siapa?" Tanya Zelin.
"Delivery food."
Zelin mengerutkan keningnya sambil membukakan pintu. "Aku tidak memesannya! Tidak salah kamar?" Tanya Zelin kepada kurirnya.
"Uhm… nomor kamarnya bener. Dengan Ibu Zelin kan?"
"Iya, benar. Tapi saya nggak ngerasa pesan."
"Oh, yang pesan atas nama David Lian." Kurir itu memberikan satu jinjing tas berisi makanan kepada Zelin.
Zelin menerimanya dengan senang dan bingung. "Terimakasih." Ia langsung masuk dan menutup pintu kamarnya lagi.
Ia meletakkan tas berisi makanan itu di atas meja. Lalu dia menyadari kalau dirinya belum berganti pakaian. Masih memakai pakaian kerjanya. Ternyata pikiran dan mentalnya terkuras karena memikirkan banyak hal tentang masa lalu. Menghidu aroma makanan yang keluar dari dalam tas, membuat perutnya tiba-tiba keroncongan. Ia membuka tas dan mengeluarkan isi tasnya. Ternyata isinya adalah steak daging yang sangat menggugah selera. Air liurnya terkumpul begitu saja melihat hidangan yang ada di depan mata.
"Mandi atau makan dulu ya,"pikirnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk mandi terlebih dulu karena memang hari sudah menjelang malam. Setelah mandi, ia mengambil ponselnya dan mengucapkan terimakasih kepada David untuk kiriman makanannya.
"Terimakasih sudah mengirimkan makan malam untukku."
Sambil menunggu balasan, Zelin memotong daging itu seukuran kecil lalu menyuapnya ke dalam mulut. Dan rasanya benar-benar nikmat. Mungkin karena dirinya juga belum makan dari siang. Makanya steak itu terasa sangat nikmat. Ponselnya bergetar dan buru-buru ia membuka pesan itu. Namun sayangnya, bukan dari David. Namun, dari nomor misterius lagi. Sekali baca dan kembali ditutup. Ia tidak mau merespon pesan itu. Siapapun orang di dalamnya, Zelin mengabaikannya.
Zelin yang kembali makan pun terus saja melihat ponselnya terus menerus. Ia bertanya-tanya, mengapa David tidak membalas pesannya. Sibuk atau memang Zelin yang terlalu berharap? Entahlah, yang jelas, perasaan Zelin kini sudah teracak-acak.
----> Bersambung