"Simpanan bos?" Zelin tidak percaya dengan rumor yang beredar di resto dan hotel. Yang lebih parahnya lagi, rumor itu sudah sejak beberapa hari lalu. Sejak Indah melihatnya turun dari mobil David di basement. Sial sekali memang hari itu. Pagi-pagi sudah dirusak Kevin yang bertandang kerumahnya mengajak rujuk dan berakhir ribut. Lalu bertemu Indah. Padahal Indah hanya melihatnya turun dari mobil, bukan sedang melakukan hal yang tak senonoh tapi bisa-bisanya rumor itu beredar.
"Dasar mulut ember. Fitnah saja bisanya." Zelin menggerutu kesal sambil menata piring bersih untuk diletakkan kembali ke tempatnya.
"Sejak tadi kulihat kamu bicara sendiri, ada apa?" Pak Robi mendekati Zelin.
"Tau deh, Pak. Bapak juga pasti sudah tahu kan, rumornya. Padahal ya kan mereka nggak tahu kebenarannya."
Robi mengangguk. "Kalau begitu buat rumor itu menjadi nyata saja. Apa susahnya."
"Apa?" Zelin membelalakkan matanya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Robi. "Apa Bapak terjatuh tadi pagi?"
"Tidak, kenapa?"
"Sepertinya isi kepala Bapak agak geser dari tempat yang disediakan," seloroh Zelin dengan nada sedikit kesal.
Sontak saja Robi terpingkal mendengar itu. Robi tidak menyangka kalau Zelin bisa membuatnya tertawa karena hal yang sepele.
Zelin cemberut dan kembali menata piring sedangkan Robi masih saja terus tertawa.
"Padahal maksudku bukan begitu, Zel. Maksudnya kamu menikah saja sama bos kita itu. Buat mereka bungkam."
Zelin melirik Robi dengan tatapan protes. "Kenapa bukan Pak Robi saja yang menikahinya." Kesal Zelin pun meninggalkan Robi yang kembali tertawa.
Zelin sudah siap pulang, hubungannya dengan David juga berjalan di tempat. Maksudnya, David juga tidak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, mengirimkan pesan singkat saja tidak. Bahkan, setelah hari itu, David sama sekali tidak nongol di hotel maupun menghubunginya. Tidak.
Zelin merasa kecewa dengan ekspektasi yang sudah ia bangun untuk David. Namun, sayangnya ia harus menelan kepahitan lagi kali ini. Overthinking selalu menghantuinya. Mungkin efek trauma perselingkuhan Kevin masih sangat membekas di dalam dirinya. Sehingga membuat Zelin mudah sekali berharap lalu kecewa karena pikiran dan perasaannya sendiri.
Saat jam pulang, Zelin melihat ada mobil David di depan lobby. Itu tandanya David datang ke hotel tapi sama sekali tidak menghubunginya. Lagi dan lagi Zelin terlalu berharap. Padahal sudah jelas-jelas mereka beda kelas. Jika menghubungi lebih dulu, ia terlalu gengsi.
Namun, ketika akan berbelok ke pintu samping. Ia melihat David sedang tertawa dengan mantan istrinya. Begitu hangat dan bahagia sepenglihatan mata Zelin.
"Bahagia sekali mereka," gumam Zelin sambil berlalu. Dadanya sesak sekali, benar-benar membuatnya ingin berhenti mempercayai lelaki.
~•~•~•~•~
"Jadi, aku tempatku sudah ada yang menggantikannya kan?" Tanya Friska pada David di lobby hotel.
David berusaha melepas tangan Friska yang melingkari tangannya. "Bukan urusanmu," ucap David.
"Uhh, ketus sekali kalau urusan hati." Friska mencebik.
"Friska, kamu harus membatasi diri denganku. Bagaimanapun kita ini adalah bagian dari masa lalu. Jangan sampai suamimu salah paham dengan kedekatan kita berdua."
Friska menatap David dengan sorot tak suka. "Hmm, suamiku kan tidak ada di sini. Lagipula, gimana pun kita ini adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa depan," ucap Friska sambil mengedipkan satu matanya.
David mendengus, " jangan aneh-aneh. Hubungan kita sudah sebatas rekan kerja. Bukan keluarga lagi. Kamu punya suami dan aku–"
"Dan kamu akan menikah? Iyakan? Nah… makanya kasih tahu aku siapa perempuan itu," rengeknya.
"Untuk apa?"
"Ya, ingin tahu aja. Apa dia orang kaya? Anak pengusaha mana? Lebih cantik dari aku tidak? Oh… ayolah Dav."
David mendorong Friska dengan lembut supaya menjauh. "Tolong, Friska. Jangan ganggu. Sebenarnya aku baru mendekati beberapa kali."
"Terus? Apa dia tidak sebaik aku?"
David memutar bola matanya, "jangan menyelaku. Aku belum selesai bicara, Friska!"
"Oke, baiklah aku diam." Friska menggerakkan jarinya di depan bibirnya yang tertutup.
"Aku belum yakin dengan hatiku. Karena dia begitu baik. Aku takut tidak pantas untuknya," ucapnya lemah.
"What? Seorang David insecure! Sekarang kasih tahu aku seperti apa wanita itu hingga membuat seorang David Grey Lian merasa rendah diri. Wow!" Friska tidak menyangka sama sekali. Sehingga rasa penasarannya semakin menggebu-gebu ingin tahu wanita yang membuat mantan suaminya merasa rendah diri.
David hanya tersenyum. Sebenarnya ia merasa rendah diri karena Zelin tidak meresponnya saat ia bilang berstatus duda. Zelin hanya diam dan tersenyum, tidak bisa ditebak dan sangat beda dengan wanita manapun. Zelin dan Friska pun memiliki dua karakter yang sangat jauh berbeda. Zelin yang lebih banyak diam sedangkan Friska begitu atraktif dengan semua orang.
"David, kamu kok ngelamun?"
"Tidak apa-apa. Oya, kamu berapa lama mau tinggal di hotel?"
Friska menimbang nimbang, "beberapa hari lagi deh. Suamiku juga belum pulang. Tinggal di rumah yang sebesar itu sendirian juga nggak enak, sepi. Enak di sini, bisa ketemu kamu setiap hari." Dengan semangat Friska kembali memeluk tangan David.
"Ya sudah, nikmati saja harimu selama yang kamu butuhkan. Aku mau pulang karena ada yang harus aku kerjakan." David berusaha kembali melepaskan pelukan Friska.
"Kamu nggak mau ajak aku ke apartemenmu?" Rajuk Friska.
David menggeleng cepat, "tidak. Malam ini aku menginap di rumah ayah. Aku pulang ya," pamitnya.
"Nggak ajak aku?" Friska kembali merajuk.
David menghela nafas panjang. "Kamu ini menyebalkan. Aku ini mau bertemu Zelin." David langsung menggigit lidahnya karena kelepasan menyebut nama Zelin.
Friska tersenyum dengan mata menyipit. "Ooh, jadi namanya Zelin. Sebentar, sepertinya aku tidak asing dengan nama itu." Friska nampak berpikir keras.
David langsung berbalik dan meninggalkan Friska. "Aku pamit."
Friska tidak lagi mengejar David. Karena satu nama yang keluar dari bibir David mengubah keadaan. "Aku akan cari tahu siapa dia." Dengan percaya dirinya Friska berbalik dan pergi untuk ke kamarnya.
~•~•~•~•~
"Tumben datang?" Tanya Robi pada David yang baru saja tiba.
David menghela nafas panjang lalu menghembuskan tubuhnya di sofa nyaman. Melirik sang ayah sejenak lalu membuang wajahnya ke samping.
Robi tahu putranya sedang ada yang dipikirkan. "Ada apa? Mungkin aku bisa bantu?" Robi ikut duduk di samping David sambil menuangkan teh hijau hangat yang sebelumnya dibuat Robi.
"Yah, bagaimana Zelin di mata Ayah?" David tidak berani melirik untuk melihat ekspresi ayahnya.
"Oh, Zelin… dia wanita yang baik dan… lucu. Hari ini aku dibuat tertawa olehnya." Robi kembali tersenyum mengingat Zelin yang menggodanya di tempat kerja. "Memangnya ada apa dengannya?"
David menggeleng pelan.
Namun otak Robi berpikir cepat dan menemukan keresahan yang sedang dialami David. "Zelin tidak melakukan kesalahan kan? Jangan menyusahkannya. Dia wanita yang baik dan tulus. Kerjanya rapi dan bagus. Ramah dan… cantik."
"Untuk itu aku tahu, Yah. Masalahnya adalah… aku suka padanya. Apa aku pantas bersama dia?"