Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 80 - ITU KISSMARK??!

Chapter 80 - ITU KISSMARK??!

Raave meraih tengkuk Aira, menyatukan bibir mereka. Mencecapnya dalam dan perlahan, namun semakin lama semakin menggebu. Aira hanya membalas perlahan. Lembut. Raave mendekapnya erat. Mengusap punggungnya.

"Raave..?" Aira menarik diri menjauh.

"Hm?" Raave masih hanyut, ia benamkan kepala di leher sang gadis. Mengecupnya lembut. Beberapa hari tak bertemu, membuatnya begitu rindu nampaknya.

"Ini kantormu, bagaimana jika ada yang melihat?" Aira melirik berulang kali ke arah pintu. Ia memutuskan untuk mampir ke kantor lelakinya itu saat makan siang. Membawakannya Nasi Padang, dengan daging rendang super tebal dan empuk.

"Tidak akan ada yang berani. Aku sudah melock semuanya,termasuk Gio" jawabnya, kembali mengelus bibir sang pujaan hati, mengecupnya lagi. Begitu dalam. Aira terhimpit di dinding dengan Raave yang begitu lekat padanya.

"Raave, bibirmu bau rendang."lirih Aira, terkikik geli.

"Kamu yang membuatnya bau rendang."balas lelaki itu, sama lirihnya. Ia sambar permen di meja kerjanya, lalu Ia masukkan mulut. Menyesapnya. Kembali menghujani Aira dengan kecupan maut.

Usai pertautan yang intens dan mesra, Raave memeluk erat gadis itu. Nafasnya sedikit terengah.

"Apa ini?" Aira tak sengaja melihat bekas kemerahan di leher Raave. Terkesiap. Ia tahu apa itu, namun hanya ingin memastikan. Sebenarnya tak terlalu tampak, tapi ketika kerah kemeja sang lelaki ia geser sedikit, begitu jelas.

Raave mematung. Ditatapnya Aira dalam. Gadis itu berkaca kaca. "Ai... Ini...." entah bagaimana mulutnya seperti dibungkam.

"Iya, aku mendengarkan Raave. Buruk atau baik, akan aku coba dengarkan." Aira bersedekap, menjauh.

"Itu kissmark?"tanya gadis itu. Seingatnya, ia tak pernah mengecup leher Raave hingga begitu. Berarti...

"Raave, kamu bersama gadis lain?" Aira menatap Raave tak percaya. Ia sudah mengalah dengan mendatangi sang lelaki, namun balasannya seperti ini.

Raave menunduk. Ekspresinya muram. Diam. Membiarkan Aira menyangka, bahwa dia bersama gadis lain adalah benar.

"Kenapa diam??" gadis itu masih mencoba sabar. Menunggu Raave bicara. "Raave...!!!"panggilnya lantang.

Raave menatap gadisnya, mendekat. Namun gadis itu menjauh.

"Oh, maaf Raave. Aku benar-benar lupa, bahwa memang sebelumnya kamu seperti ini kan. Ini sudah biasa bagimu. Lalu kenapa aku harus marah, ya kan? Maaf kalau begitu. Aku pulang saja."ujar Aira, masih berkaca-kaca. Ia terus mengerjap agar airmatanya tak jatuh. Sang gadis mengambil tasnya di sofa, lalu melangkah cepat keluar dari ruangan.

Raave menahan tangannya. Aira berhenti, namun tidak berbalik badan. Ia menunggu lagi, jika mungkin Raave mengatakan sesuatu. Tapi lelaki itu kembali lagi, hanya diam. Menatap Aira sedih.

Aira terpaksa menarik tangannya. Segera berlari keluar. Tanpa melihat ke belakang. Raave mengejar atau tidak.

Gio yang baru saja masuk, memandanginya sendu.

Gadis itu berlari hingga ke parkiran. Segera masuk mobil. Mengemudi dengan kencang. Dihapusnya airmata yang luruh tak karuan. Sepanjang perjalanan. 'Kukira hanya aku satu-satunya, Raave' gusarnya dalam hati.

Tiba di BookShop, ia segera ke ruangannya. Kembali fokus pada pekerjaan. Menekuri Notebook. Dan membahas rencana lanjutan tentang Stokist baru BookShop, bersama segenap Staff. Berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi padanya.

"Mba Aira baik saja?"tanya Mr Suri. Tampak khawatir. Melihat mata Aira yang agak sembab.

"Ya, saya oke, Sir"jawab Aira sambil mengulas senyum.

Aira mampir ke kedai Kopi di dekat rumahnya, sepulang dari BookShop. Ia memesan Latte dan seporsi Cheese Bread. Ia buka notebook. Mengecek ulang desain Interior untuk Stokist, yang diusulkan Staff Internalnya.

Seorang waiter laki-laki berwajah lumayan tampan, mengantarkan pesanannya. Tersenyum ramah. "Terima kasih."ucap Aira, tersenyum juga. Lalu kembali memperhatikan desain.

"Bagus juga, ah aku nurut aja. Ga paham yang beginian"gumamnya lirih. Terlalu seru memperhatikan desain, hingga Latte dan Breadnya dingin, ia baru menyentuh mereka. "Ups, udah... Its okelah" Aira menyeruput Latte dengan senang.

"Saya ganti yang masih hangat, kak!" suara lelaki mengagetkannya dari belakang. Membawa secangkir Latte hangat. Beruntung ia tidak menyemburkan latte dari mulut. Aira menoleh. 'Waiter yang tadi'Batinnya. Ia tersenyum. "Oh, ga apa-apa kak. Memang saya yang terlalu sibuk. Ini enak banget kok. Walau udah dingin."

Si Waiter menatap Aira.

"Buat kakak aja, nanti masukkan tagihan saya. Begitu."ujar Aira. Mengulas senyum sopan. Kembali memandangi notebooknya.

Si Waiter masih memandanginya dengan bibir yang mengulas senyum hangat. Ia duduk di sisi Aira. "Boleh saya temani kakak?"tanyanya. "By the way, terima kasih Lattenya."

Senyum hilang dari wajah Aira. Sebenarnya ia ingin sendiri. Namun kenapa si Waiter ini malah ingin menemaninya. "Ya. Kakak tidak bekerja? Saya malah sungkan, nanti dikira mengganggu."ujar Aira.

"Tidak. Tak masalah"jawab si Waiter. Ia ulurkan tangannya, "Saya Flynn,"

Aira menatap sang Waiter yang mengulurkan tangan, tersenyum manis. "Aira. Just Ai" mau tak mau ia sambut uluran tangan lelaki itu.

"Ai. Sendirian saja?"tanya Flynn.

"Ya, nyaman jika sendiri."jawabnya masih terus menatap notebook.

"Temanmu?"

"Mereka sibuk dengan urusan masing-masing."

"Okay."

Aira menutup notebook. Menyimpannya di tas. Lalu menandaskan Latte dan potongan bread terakhir. "Kamu tak minum Lattemu?" ia iseng bicara pada Waiter sok akrab ini.

Flynn hanya mengangguk dan tersenyum. Namun tak menyentuh cangkir lattenya. "Kamu sudah akan pulang?"

"Kurasa ya. Sudah kesorean juga. Jadi, Terima kasih Flynn." Aira beranjak, tersenyum pada sang Waiter lalu berjalan ke kasir.

Flynn masih menatapnya dalam. Aira sedikit melirik sang Waiter dari ujung mata. Gadis itu tersenyum tipis.

Beres membayar, ia berbalik, memberi Flynn yang masih duduk di tempatnya,memandanginya, dengan senyuman terakhir sebelum ia pergi.

Aira segera melaju pergi, pulang. Tak jauh, hanya dua blok dari kedai kopi. Ia mengetahuinya dari Zii yang terus berkoar-koar bahwa Latte di kedai itu enak. Juga Cheese breadnya. Jadi iseng Aira ingin mencoba. Dan ternyata benar juga.

Bu Wina menyambutnya pulang, dengan menyerahkan sebuah kotak cantik. "Dari kekasihmu"asistennya itu sudah pandai menggoda juga. Ia meminta Bu Wina membukanya.

Cake keju , Salmon steak yang masih hangat Potato Wedges. Aira hanya mendengus. "Buat Bu Wina aja. Saya kenyang, atau simpan kulkas. Nanti kalo laper, saya makan Bu"

Aira naik ke kamarnya. Cuek begitu saja, pada makanan yang biasanya membuatnya bahagia itu. Bu wina menatapnya heran. "Ada masalah apa lagi??"

Aira mengaduk tas, mencari obat yang biasanya ia tak pernah lupa bawa. Padahal di kamar juga tak ada. 'Aduuhh..'keluhnya. Ia mengingat lagi, "Astagaa!! Ketinggalan di kedai kopi!!!"

Gadis itu berlari turun. Menabrak Bu Wina. "Aduuhhh Buuuu...!"

"Maaf mba. Ada yang cari tuh!" ujarnya menunjuk arah pintu.

"Siapa? Raave?"

"Bukan, ga tahu"

Aira segera menuju pintu. Seorang lelaki dengan kemeja yang slimfit pas di tubuhnya yang lumayan atletis, celana panjang. Rambut fohawk. Membelakanginya.

Aira berdehem. "Maaf?"sapanya bingung. Si lelaki berbalik, "Hai, Aira"

"Flynn..!!"teriaknya sedikit tak percaya.

"Ingin mengembalikan ini, Ai" Lelaki itu menyerahkan botol obat. "Kamu lupa memasukkannya ke tas. Berguling di sudut meja."tambahnya.

Aira mengambilnya. "Terima kasih. Masuk Flynn. Atau mau di teras aja?"

Flynn masuk ke rumah minimalis, dengan warna cream hangat yang mendominasi.

Lilin aromatherapy terlihat menyala di sudut meja. Wild jasmine dan musk. Flynn duduk sambil menyesap aroma menenangkan itu.

Bu Wina datang dengan sepouch kecil teh lemon hangat. Juga cake dari Raave.

"Silahkan Flynn. Oh kamu tidak bekerja?"tanya Aira bingung.

"Aku sudah pulang, kebetulan jam kerjaku habis saat menemanimu tadi." ia menyesap teh lemonnya. "Aromanya enak sekali Ai, wild jasmine dan musk kan?"

"Ya, kamu tahu juga?"

"Sedikit." Flynn masih teringat kala ia mencoba mengecek obat Aira yang ketinggalan. Seketika ia terkejut.

"Kamu tadi mengikutiku?"

"Terpaksa. Maaf"jawab Flynn sungkan.

Hening, tak ada yang bicara. Aira menduga apakah Flynn mencari tahu fungsi obatnya? Jika ya, berarti walau tak tahu detailnya, setidaknya lelaki itu tahu Aira sakit.

"Flynn..

"Ai..

Mereka bicara bersamaan. Flynn mempersilahkan Aira bicara lebih dulu.

"Flynn, apa kamu tahu obat ini?"tanyanya to the point.

"Ehmm ya. Sedikit mencari tahu. Maaf. Baiklah Ai, aku pulang saja ya. Kamu harus istirahat"ujar Flynn muram. Ia berdiri, usai menghabiskan teh lemon di gelasnya.

"Terima kasih Flynn, sekali lagi. Maaf jika merepotkanmu harus mengantarnya ke rumah" Aira merasa sungkan.

Lelaki itu kembali menatap Aira dalam. "Tak masalah, Ai. Terima kasih, kamu sudah mau berteman dengan waiter sepertiku. Kita berteman." Flynn tersenyum lebar, mengulurkan tangan.

Aira menjabat tangan lelaki di depannya dengan senang hati. "Ya"

"Baiklah, aku permisi ya"pamit Flynn, langsung melaju menggunakan motor besarnya.

Aira kembali masuk ke rumah. Menutup pintu, naik ke kamarnya lagi. Ditenggaknya obat-obatannya yang sempat tertunda. Kemudian masuk ke kamar mandi. Berendam air hangat sambil memikirkan Raave.

Berbagai pikiran menguasai benaknya. 'Apakah memang Raave bersama gadis lain? Atau bagaimana? Kenapa dia diam saja?' 'ah peduli amat!'batinnya dalam hati.

"Mba Aira!!"panggil Bu Wina.

"Ya, saya mandi, Bu!!!"

"Mas Raave!!" Bu Wina berteriak lagi.

"Bilang saya tidur Bu!!" teriak Aira, ia melompat keluar dari bathtub, mengeringkan diri, berpakaian dan berbaring di ranjang. Selimutnya ia naikkan hingga leher. Merem.

"Oke!!"jawab sang asisten.

Beberapa menit kemudian, Aira merasakan usapan lembut di kepala, tangan dan tubuhnya. Raave masuk ke kamarnya.

"Aira.. Maaf. Tak bermaksud membuatmu berpikir negatif tentangku. Hanya saja, ada hal yang tak bisa kuceritakan padamu. Namun percayalah, aku bukan seperti dulu."Ujar Raave. Suaranya berat dan gemetar.

Raave mengecup kening Aira penuh perasaan lalu berdiri, dan beberapa saat kemudian terdengar suara pintu tertutup.

Aira membuka mata, bulir bening itu luruh perlahan. Ia menghela nafas dalam. Aroma parfum Raave yang pekat masih berjejak begitu kuat di kamarnya. Memenuhi indra penciuman hingga ke kepala. Memaksanya membayangkan rupa si pemilik aroma yang mempesona.

"Raave, apa yang sebenarnya terjadi?"lirihnya diantara isak yang tertahan.

New message, Raave...

'Hai, my girl, Sebenarnya aku tahu, kamu hanya pura-pura tidur kan? Tak apa Dear, aku mengerti kamu tak ingin bicara dan menemuiku. Aku terima itu.

'Tapi aku tak bisa terima, jika ada lelaki lain yang bersamamu, menemanimu minum kopi dan berbincang akrab. Seolah kalian begitu dekat!!'

Aira terkekeh geli. Ia hapus airmatanya. Ia biarkan saja. Tak membalas pesan lelaki pujaan hatinya. Tapi terdorong rasa sebal karena Raave tak memberi penjelasan apapun, Dengan iseng akhirnya ia balas juga,

'Maaf, tak bermaksud membuatmu berpikir negatif tentangku. Namun ada beberapa hal, yang juga tak bisa kubagi denganmu.'

Ia ulangi kata-kata Raave. Lalu menutup mulut. Menahan tawa. 'Biar tahu rasa!!'umpatnya. Terkekeh.

*