Pukul 09:56 WIB
Mobil yang dikendarai Ghandi berhenti tepat di bawah pohon jambu air menghadap rumah sederhana dengan kayu yang terukir sebagai pintu. Rumah beralas keramik dengan dinding kayu jati sangat kuat dan terlihat seolah sudah sangat lama namun masih rapi. Rumah tersebut berdiri tanpa pagar keliling, terlihat masih alami dan pohon sengon mengelilingi rumah. Mendengar suara deruan mesin dimatikan seseorang keluar dari rumah tersebut. Iya, seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun dengan rambut beruban berdiri di teras rumahnya sembari membelakangi pintu. Ghandi membantu Sufi membukakan mobil kemudian membopong Adrine.
Sufi terkejut siapa yang ia lihat. Lelaki yang telah dikabarkan telah menghilang sekitar delapan tahun yang lalu kini berdiri di depan matanya. "Ghandi, apakah itu Pak Sasongko?" Sufi tidak berkedip sama sekali. Lelaki itu tersenyum melihat gadis kecil yang dibopong oleh Ghandi.
Ghandi menundukkan wajahnya sedangkan Adrine diam tanpa memulai sedikitpun pertanyaan. Mereka menghampirinya, kedatangannya disambut sangat baik. Adrine diturunkan berdiri di atas lantai lalu Sasongko memeluk Ghandi begitupula dengan Sufi.
"Sasongko adalah nama belakang Adrine tapi banyak nama Sasongko di mana-mana"ucap Adrine menatap Sasongko. Sasongko tersenyum, kulit dikening dan matanya mengeriput.
"Sayang.. kita adalah Sasongko" Sasongko berlutut satu kaki berpose seolah akan berlari, wajahnya menghadap Adrine lalu memeluk wajah Adrine dengan kedua telapak tangannya yang besar. "Dan ini adalah rumah Sasongko yang jauh dari kebisingan. Hahahaha.."Sasongko tertawa lepas karna rasa bahagia bertemu dengan cucu kesayangan. "Bagaimana aku melewatkan masa bayimu sehingga aku baru menyentuhmu kembali hari ini. Apa aku boleh memelukmu sayang? bayi kecilku?" Sasongko sedikit lepas kendali karna kegembiraannya. Adrine mundur selangkah dan berusaha bersembunyi di balik Ghandi. "Beristirahatlah..., saya sudah siapkan kamar untuk kalian berdua. Adrine akan menempati kamarnya sendiri, dia sudah sedikit dewasa." ujar Sasongko.
"Hei Sasongko, aku sudah dewasa bukan sedikit lagi!" Adrine menaikkan 3 not nadanya. Tubuhnya yang lemah telah kembali seperti dibakar api.
"Oh iyyya bayi kecil sudah tumbuh dewasa dan duduk di kelas." Sasongko menyahuti kembali. Sasongko kemudian bangkit dan menunjukkan kamar mana yang akan mereka gunakan. Entah sementara atau seterusnya itu hanya soal waktu. Sekarang yang mereka pikirkan adalah bagaimana keselamatan Adrine tetap terjaga dan mencari cara menemukan dalang kejahatan yang menimpa mereka.
*****
Esok paginya,
Adrine menggosok-gosokkan lengan kirinya dengan bunga melati yang dipetiknya dari halaman depan. Bukan hanya untuk digosokkan ke lengan namun Adrine memakannya sedikit. Karna rasanya sedikit ekstrem dia menambahkan sisa saus ayam bakar yang telah ia bawa dari lesehan pak Khatamso.
"Adrine," seseorang memanggil dari belakang punggungnya. Adrine terkejut ketika menyadari Sasongko telah berdiri sambil melihat tingkahnya yang sedikit aneh.
Adrine melemparkan eksperimennya jauh dari tangannya. Sasongko tersenyum melihat cucunya mencoba hal-hal baru. Bahkan sedari jam enam pagi Adrine sedang berusaha memanjat pohon jambu air. Boleh berasal lahir dari kota tapi keingintahuannya sungguh luar biasa. Dia mencoba memanjat dengan cara membuat tangga di batang pohon seperti yang dilakukan pemanjat pohon kelapa. Dia mengambil pisau di dapur tanpa seizin Sasongko. Sasongko hanya memperhatikannya.
"Adrine, sejak kapan suka makan bunga melati?" pertanyaan lelaki tua itu membuatnya sedikit takut akan marahnya.
"Adrine memetik bunga tanpa izin, membuat tangga dengan melukai pohon juga tanpa izin. Adrine minta maaf.." ucapnya. Kemudian Sasongko merangkul Adrine dan menggiringnya ke meja teras.
"Sayang, kakek tidak akan marah. Kakek hanya ingin tau apa yang membuatmu tertarik dengan melati bahkan rasanyapun agak ekstrem dan sedikit pahit?" Adrine diam tak berbicara.
"Sasongko, kenapa kamu menyebut kakek padaku? Kakekku telah tiada." Sasongko tersenyum melihat bayi kecilnya sedang marah. Adrine masih belum mengerti jika yang di hadapannya adalah kakeknya. Sasongko menggela nafas panjang melihat gadis kecil di depannya belum mau menanggapnya sebagai kakek.
"Baiklah jika Adrine tidak mau, apakah kita akan jadi teman?" Sasongko mengacungkan jari kelingking kanannya dan berharap cucunya meraihnya.
Adrine menatap jari kelingking kakeknya lalu wajahnya. Hatinya melembut karna tatapan lelaki tua tersebut. "Baiklah, aku akan jadi temanmu Sasongko. Tapi aku masih marah, Sasongkoku telah meninggal ketika aku bayi jadi jangan sebut dirimu Sasongko!" Sasongko tetap tersenyum, Adrine meraih kelingking Sasongko dengan kelingkingnya. "Aku akan menyebutmu dengan sebutan..." Adrine berfikir sambil menepuk-nepuk pipi kanan dengan jari telunjuknya. "Gimana kalo `Yang Kubem´?"
"Baiklah kalo itu mau Adrine." Sasongko menyetujui kemauan Adrine, bahkan julukan yang tidak masuk akal sekalipun karna kekesalannya. Sasongko tetap memakluminya. Karna usia, Adrine belum cukup untuk mengetahui segalanya, segala yang telah terjadi mulai 8 tahun silam. "Yangkubem bikinkan rumah pohon, apakah kamu mau?"
"Serius?"gadis kecil itu kegirangan.
"Asal Adrine memaafkan Yang ok!" Adrine mengangguk hatinya sedikit bahagia setelah melawan memori dikepala mengingat ayah dan ibunya. Sufi memecah pembicaraan mereka dan mengajak sarapan.
Dari balik tirai kamar depan, Ghandi melihat dan mendengar seluruh pembicaraan mereka. "Suatu hari nanti kamu akan memahami sayang." gumam Ghandi.
Rumah kayu adat jogja atau yang disebut `Joglo´ yang berawal dari sepi dan dingin karna hanya Sasongko sekarang menjadi keluarga kecil dan hangat.
****
Dua orang lelaki duduk di kursi sembari berbincang. Kesunyian Desa Siraman ketika malam tiba membuat suara terdengar sangat jelas meskipun lirih. Sufi mencoba mendekat namun langkahnya terhenti ketika mendengar apa yang kedua lelaki tersebut bicarakan. "Kapan kau akan panggil aku dengan sebutan `Ayah´?" Ghandi masih melipat leher dan mengernyitkan keningnya. Kemudian mengangkat lehernya kembali.
"Suatu ketika disaat gadis kecil ini memaafkanmu dan menyebutmu sebagai kakek. Disaat dia menyadarinya, aku berusaha memaafkanmu." Ghandi menjawab dengan lugas. Nada suaranya seolah masih menyimpan amarah tiada habis.
Sufi terkejut dengan apa yang telah ia dengar dan bergegas pergi meninggalkan kedua lelaki tersebut. "Suamiku, hatimu lebih sakit daripada aku yang hanya kehilangan seorang anak. Bahkan kamu kehilangan ibu dan berpisah dari ayahmu. Sekarang ayahmu ada di depanmu semua orang tidak tau termasuk aku yang baru mengetahuinya."
****
Hari demi hari berlalu, Adrine masih terus mencoba bunga melati dengan sambal, terkadang sambilotopun atau bahkan brotowali dia cobanya sedikit. Mereka semua tidak mengerti apa yang dilakukannya, luka di lengan kirinya membekas. Dia terkadang membelai dan mencoba menciumnya. Dia ingin mengatakan sesuatu tetapi dia tidak pernah mengatakan. Dia cenderung diam dibalik tawa setiap hari. Sesekali dia mengatakan ingin bertemu ayah dan ibunya. Namun sayang sekali ketika Ghandi mencoba menghubungi Naura tidak pernah bisa terhubung. Ghandi dan Sasongko selalu membeli koran untuk bisa selalu update kabar dari jakarta sayangnya semua nihil.
Sasongko selalu mencoba membuat cucunya tersenyum dengan berbagai cara, membuatkan rumah pohon, membersihkan kunci yang dijadikan liontin, membuatkan perahu kecil yang terbuat dari tempurung kelapa dan membuat perahu dari pelepah kelapa. Adrine menaiki pelepah kelapa kemudian Sasongko menariknya. Mereka tertawa, meskipun seluruh kepahitan sedang menyelimuti.
Hari terus berlalu Ghandi mendaftarkan Adrine sekolah dan memiliki teman baru. Mencoba hidup normal meskipun sesungguhnya masih panjang. Ghandi bekerja sementara Sasongko tetap berjualan di kios buah miliknya. Terkadang Sufi membantu jika pekerjaan rumah telah selesai.
Sementara di Jakarta, Naura sibuk mengurus segala pengobatan kakaknya. Naura mempercayakan Ghandi dan istrinya untuk menjaga keponakannya, dia percaya suatu hari nanti mereka akan berkumpul kembali dan saling tertawa.