Naura dan Ghandi duduk berhadapan di sebuah kafe Dintang. Mereka duduk di posisi paling ujung belakang sembari memeriksa kondisi sekitar.
Naura memutar sendok kecil di dalam secangkir kopi susunya kemudian meletakan sendok tersebut ke atas piring kecil sebagai alas cangkirnya. "Ghandi, aku berencana mengirim Adrine ke luar negri bersamamu dan istrimu. Awalnya Rino yang ku suruh tapi sekarang aku berubah pikiran. Sepertinya Adrine lebih memerlukannya karna setelah berita muncul seperti sayembara banyak orang mencari Adrine layaknya buronan."
Ghandi memandang Naura lekat seolah sangat dekat, mengaguminya dan memiliki perasaan lebih terhadap Naura. Namun Ghandi sadar bahwasannya perasaan itu hanya fiktif dan tidak akan menjadi nyata. Dia menyadari siapa dirinya, hingga mautpun mereka tidak akan menjadi satu. "Bagaimana bisa kalian melayangkan berita anak hilang bukannya kalian tau Adrine diculik?"
Naura mengangkat cangkir lalu menyeruput kopi susu dan meletakan kembali cangkir ke atas meja. Naura memandang Ghandi lekat. "Awalnya kami pikir Adrine ada di tangan mereka tapi Rino di datangi para penjahat itu saat di Rumah Sakit dan mengatakan mereka meminta Adrine kembali padahal sudah jelas kami kehilangan. Apa tidak lucu?! esoknya kami melapor ke polisi, polisi mengambil kesimpulan bahwa Adrine menghilang. Akhirnya Rino membuat selebaran anak hilang bahkan sampai media internet."
Ghandi memukul meja sedikit keras hingga terdengar oleh pengunjung lain bahkan menatapnya. "Apa kalian tidak berfikir jika itu justru lebih memperparah keadaan. Awalnya aku akan mengantar Adrine tapi kondisinya tidak aman bahkan aku menelpone kamu tapi tidak dijawab olehmu."
Naura diam mengingat-ingat bahwa pernah ada nomor tak dikenal memanggil tapi Naura tak menghiraukan. "Apakah itu kamu?"
Ghandi mengangguk. "Adrine paham ciri-ciri orang yang telah menculiknya. Disaat dia pingsan, dia sempat sadar dan memahami satu demi satu yang mengawasinya. Dia memahami empat diantara enam. Dua dari mereka hanya mengawal dan menyampaikan berita pada bosnya."
"What? enam? tapi Rino bilang hanya empat."Naura terkejut ketika Ghandi menjelaskan.
"Dua orang di depan rumah mengawasi bahkan ada saksi mata yang melihat. Seorang wanita penjual makanan online melihatnya. Tapi sayang, kemarin aku datang ke rumahnya tidak ada orang satupun."
"Lantas bagaimana kamu bisa mengambil Adrine?" Naura bertanya sangat penasaran. "Aku ingin memeluk Adrine keponakanku. Aku tidak mengerti semua ini Ghandi. Ada apa dibalik semua ini? Bahkan seseorang menginginkan Adrine dan ingin menghancurkan Rino dan Adarina. Sungguh aku ingin bertepuk tangan pada mereka. Mereka telah berhasil memisahkan kami." Seluruh tanya jawab teka teki di otak Naura terus menghantui. "Dan lebih herannya lagi ditemukan bukti kalung, korek api bahkan pisau atas nama Khetek namun ketika yang bernama Khetek diperiksa dia tidak terbukti bersalah" Naura keheranan sembari memukul bibir kecil miliknya dengan jari telunjuk.
Kemudian Ghandi menceritakan keseluruhan cara dia mengambil Adrine membuat Naura tegang dan bergidig ngeri. Karna bisa saja mereka membunuh Ghandi tanpa basa basi.
"Dan ada seseorang yang ingin memisahkan bahkan menghancurkan dengan segala cara untuk kakakmu. Perlu kamu ketahui semua ini tidak sesederhana kejahatan atau kriminal biasa. Seperti penculikan yang jelas-jelas anak kecil diculik kemudian dijual. Ini ada dalangnya Naura." ujar Ghandi menjelaskan.
"Dan apakah berhentinya komandan Thahir dan pengacara Arif dalam penyelidikan ini ada hubungannya dengan semua ini? Ufff.. "Naura menghela nafas panjang.
"Maksudmu??"
Naura menjelaskan komandan Thahir adalah teman sekolah ayah dan Arif pengacara ayah, tiba-tiba mereka berhenti melakukan penyelidikan ini. Rekaman CCTV juga tiba-tiba menghilang. Tapi masih beruntung asisten rumah tangga Sasongko masih sangat setia menemani hanya saja sedikit lamban.
Naura mengambil sesuatu dari dalam tasnya kemudian meletakkannya di atas meja dan menyeretnya ke depan Ghandi. "Ghandi, berikan ini pada Adrine kenakan ketika keluar rumah." ucap Naura. Dua pasang Sarung Lengan berenda putih dengan kain berwarna pink dan merah kesukaan Adrine. Ghandi menatap sarung lengan tersebut lalu mengambil cangkir dan menyeruput kopinya. "Rino dan aku akan mengatur kapan kalian akan terbang." ucap Naura sangat sedih. "Tapi biarkan kami bertemu Adrine lebih dulu. Kami sangat rindu."pinta Naura memelas.
*****
Seeeeet.... sretttttt.... tiba-tiba mobil yang dinaiki Naura dan kakaknya beserta istrinya dihadang oleh beberapa preman bertopeng kain. Lagi-lagi mereka, mereka keluar dari mobil begitu cepat dengan senjata api dan pisau belati yang ditunjukkan pada Naura dan kakaknya. Mereka memaksa Rino keluar dari mobil kemudian Naura melakukan panggilan terhadap Ghandi memberitahu bahwa pertemuan dengan Adrine gagal. Na'as tidak perlu memanggil melalui ponsel Ghandi mengerti apa yang sedang terjadi. Hanya dengan jarak berkisar 400 meter tepatnya di seberang jalan dan berlawanan arah Ghandi, Adrine dan Sufi menyaksikan adegan demi adegan. Dari dalam mobil dengan kaca yang gelap Adrine melihat ayahnya dilukai dengan pisau mereka. Ibunya tertembak bagian bahunya. Naura berteriak histeris, mobil seisinya dibakar.
"Ya ampun! tontonan apakah ini? apa yang sedang mereka lakukan dengan ini?Gila, sangat gila!!"Ghandi memaki keras sembari memukul stir mobilnya. Mereka membuat tontonan luar biasa gila dan disaksikan oleh anak gadisnya. Adrine meronta memanggil ayah dan ibunya dari dalam mobil. Sufi berusaha menenangkan Adrine dan melingkarkan tangannya ke perut Adrine khawatir Adrine nekat turun dari mobil. Ghandi dengan cepat segera tancap gas dan meninggalkan tempat itu.
Ghandi memberhentikan mobil di bawah pohon rindang dan di pinggiran taman kota. Saat itu hanya ada beberapa pasang muda mudi sedang bercengkrama lepas. Kemudian Ghandi keluar dari mobil dan menghubungi kantor polisi dan memanggil ambulance berharap mereka semua selamat. Sedangkan Sufi sibuk membelai menenangkan Adrine yang shok dan terus menerus menangis. "Jakarta panas, sangat panas seperti otakku semakin hari semakin panas" gumam Ghandi marah. Setelah sedikit tenang, Ghandi masuk ke dalam mobil dan menancap gas sekencang-kencangnya menuju ke rumah.
Setibanya di rumah, dengan cepat Ghandi mengambil dua koper besar milik mereka. Kemudian tanpa berbicara apapun Ghandi memasukkan pakaian Sufi, Adrine dan dirinya secukupnya.
Sufi terkejut melihat sikap suaminya. Begitu cepat ia mengambil keputusan setelah menenangkan diri sesaat. "Kita akan ke mana Ghandi?"
Ghandi berbalik badan dan kemudian mencium kening Sufi dan Adrine. "Sayang, kita harus cepat, jika tidak mereka akan menemukan Adrine. Aku sangat khawatir setelah melihat kejadian itu. Mereka sangat nekat dan apapun akan mereka lakukan demi uang yang akan diberikan bosnya pada mereka." ujar Ghandi menjelaskan. "Kita tidak memiliki banyak waktu Sufi, aku minta maaf."
Setelah selesai berkemas dengan cepat Ghandi memasukkan koper-koper tersebut ke mobil. Untung Naura sengaja membelikan Ghandi mobil karna rasa khawatir yang berlebih. Dan ternyata benar mereka membutuhkannya.
"Ghandi... " Sufi memanggil suaminya lirih dan dalam.
"Sufi, aku sangat minta maaf, ada yang tidak bisa saya jelaskan saat-saat seperti ini. Aku sangat menyayangi keluarga ini." ucap Ghandi menjelaskan. Kemudian Ghandi menutup seluruh jendela dan memeriksa kompor dan lampu-lampu di dalam rumah lalu mematikannya, terakhir mengunci rumah dan melangkah meninggalkan.
Ghandi membukakan pintu mobil untuk Sufi dan Adrine. Sebelum masuk Sufi memandang rumah yang telah lama ia tempati, sederhana tapi sangat hangat. Bahkan ada kenangan dengan anaknya yang telah meninggal. "Bila, ibu pergi dulu nak. Ibu janji pasti kembali ke rumah ini." ucap Sufi sedih. Ghandi mendengar ucapan Sufi membuat hatinya semakin marah dan ingin segera cepat menyelesaikan semua dan memasukkan mereka ke jeruji besi.
Sufi masuk ke dalam mobil, Ghandi bergegas menyusul memasuki mobil. Sementara Adrine tetap dalam pelukan Sufi dan Sufi tetap diam disepanjang setelah kejadian tersebut. Mobil melesat cepat,Ghandi berharap segera cepat sampai di tempat aman dan jauh dari keramaian Jakarta.