Malam itu, Shanaya sengaja pulang ke apartemen Shaka. Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, dan dia ingin segera merebahkan tubuh. Sementara tempat tinggalnya sedikit lebih jauh dari kantor. Maka dari itu dia memilih berkunjung ke rumah kekasihnya untuk menyingkat waktu. Shaka memang tinggal seorang diri, dia sudah terbiasa hidup sendiri setelah mendapat pekerjaan tiga tahun lalu. Mereka berdua sudah menjalin hubungan selama satu tahun lamanya.
Pertemuan yang klasik, terjadi di tempat kerja, dan berakhir ke sebuah hubungan yang lebih intim. Hanya saja Shaka kini sudah pindah ke kantor lain, tapi mereka berdua masih tetap berkomitmen dan sering bertemu bahkan hampir setiap hari. Sampai di lobi, gadis itu melihat Shaka baru saja masuk dan hendak menuju lift. Senyumnya mengembang, namun dia tertegun saat melihat kalau Shaka tidak sendirian. Di sampingnya ada seorang wanita yang sangat ia kenal.
"Irene?! Sedang apa dia di sini?" gumam Shanaya dengan pertanyaan yang ia tujukan pada dirinya sendiri. Pikirannya sudah dapat menebak apa yang sedang terjadi, tapi hatinya selalu menolak hal itu. Diam-diam Shanaya mengikuti kedua orang itu.
Hatinya perlahan panas, apalagi saat melihat Shaka menggandeng Irene dengan mesranya. Tapi Shanaya tidak ingin bertindak gegabah, karena dia ingin melihat sejauh mana hubungan kekasih serta sahabatnya itu.
Lift membawa kedua orang itu naik, Shanaya memakai lift lain dan segera menuju lantai tujuh di mana Shaka tinggal. Begitu pintu terbuka, Shanaya menghentikan langkahnya, karena lorong ini sepi, tidak mungkin dia mengikuti dua orang targetnya dalam jarak sedekat itu. Shanaya bersembunyi di dekat tembok yang mampu menghalangi tubuhnya terlihat dari kamar Shaka. Begitu pintu kamar Shaka dibuka, Shanaya lantas mulai bergerak mendekat.
Di balik kamar itu, Shanaya mampu merasakan apa yang terjadi di dalam sana. Dia tidak kuasa membuka pintu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri, apa yang sedang dua orang itu lakukan. Shanaya memutuskan pergi dari apartemen Shaka, namun suara riuh gelas yang pecah, membuat langkahnya terhenti. Kini dia justru mendekatkan telinganya, hingga menempel pada pintu tersebut.
Irene menjerit, walau Shanaya tidak melihat apa yang terjadi, dia dapat menebak apa yang terjadi di sana. Bukan jeritan kenikmatan, melainkan jeritan kesakitan. Suara Irene yang mendadak hilang, membuat dahi Shanaya berkerut. Irene terdengar meronta dengan suara yang kadang muncul dan tenggelam, diikuti perabotan yang berjatuhan. Shanaya makin kebingungan. Dia hendak membuka pintu, namun ragu. Dalam lubuk hatinya banyak sekali pertanyaan yang ingin segera mendapat jawaban.
Apa yang sebenarnya terjadi, mengapa dua orang yang terlihat sedang dimabuk asmara tadi, malah berkelahi hanya dalam hitungan menit. Itulah yang Shanaya rasakan, terlebih suara riuh perabot jatuh diikuti pecahan kaca membuat dia makin cemas. Shaka memang terkadang tempramental, bahkan dia pernah memukul Shanaya sekali hanya karena masalah sepele, tapi hal tersebut tidak terjadi lagi sampai sekarang.
Suara mereka makin lama mengecil, Irene terus menjerit dan meronta, diikuti teriakan Shaka yang menyuruhnya diam. Shanaya penasaran, dan akhirnya memberanikan diri membuka pintu tersebut. Gadis itu memang sudah tau kode sandi apartemen Shaka, karena dia pun kerap datang ke tempat itu. Dia segera mencari di mana keberadaan dua orang tersebut. Kondisi beberapa ruangan terlihat kacau, banyak barang berserakan, pecah, hingga Shanaya harus berhati-hati dalam melangkah. Ada bercak darah yang membentuk garis panjang di lantai. Shanaya bergidik ngeri membayangkan darah milik siapa yang sudah membuat lantai keramik putih ini menjadi berwarna merah.
"Jangan harap kamu akan menikah denganku! Kamu itu sangat bodoh, Irene. Lagi pula sejak awal hubungan kita hanya sekedar bersenang-senang saja! Kau lupa?! Kalau kau tidak ingin menggugurkan bayi itu, aku yang akan melenyapkannya! Bahkan kau juga!" kata Shaka dengan penuh emosi.
Shaka melempar tubuh Irene ke lemari pakaian. Irene yang sudah tidak berdaya, merangkak menjauhi Shaka, tapi Shaka lebih cepat bergerak. Kaki kanannya menendang perut Irene berkali-kali. Irene mengerang kesakitan sambil terus memegangi perutnya.
Tangannya menjulur, berusaha menggapai Shaka, meminta ampun. Tapi Shaka terlihat bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Dia tidak berhenti menyiksa Irene. Dengan kedua matanya sendiri, Shanaya melihat Shaka mencekik Irene dengan kuat. Bahkan suara Irene yang tercekat membuat dirinya seolah ikut merasakan derita yang sedang dialami sahabatnya. Kepala Irene yang sudah banjir darah, membuat gadis itu lemah.
Shanaya tidak menyangka kalau Shaka tega melakukan hal mengerikan itu. Tubuhnya bergetar hebat, dia takut tapi tidak sanggup menolong Irene yang sudah tidak berdaya di kamar Shaka. Shanaya mundur perlahan, dia ingin segera pergi dari tempat itu dan melupakan segala apa yang ia lihat.
Kereta melaju cepat, membawa Shanaya ke tempat tujuan. Dia hanya membawa sebuah koper dengan pakaian ala kadarnya. Sebagian barang miliknya sengaja ia tinggalkan di rumah kos. Dia sudah tidak ada niatan kembali, tapi dia pun tidak ingin membawa semua barang-barang itu bersamanya. Kepergiannya kali ini sedikit terburu-buru. Sang Kakek telah wafat karena terkena serangan jantung. Bukan hanya karena itu saja, sebab dia juga sedang menghindari Shaka, kekasihnya. Pesan yang masuk ke grup Whatsapp membuat Shanaya kembali ketakutan.
Irene dikabarkan meninggal karena kecelakaan lalu lintas, mobilnya remuk dan otomatis tubuhnya hancur. Semua orang percaya akan berita tersebut, tapi tidak bagi Shanaya. Rupanya Shaka sangat pintar memanipulasi keadaan dan membuat kematian Irene sebagai kecelakaan. Shanaya lantas mematikan ponselnya, lalu menyimpan benda pipih itu ke dalam tas.
Hanya berselang beberapa jam, kereta yang membawanya kini sampai di tempat tujuan. Tanah kelahiran Ayahnya. Tempat yang jarang sekali ia kunjungi. Bahkan selama Shanaya hidup di dunia, ini adalah kedatangannya yang keempat. Pertama kali Shanaya menginjakkan kaki di desa ini adalah saat Ayahnya meninggal dunia. Ayah Shanaya memang dimakamkan di area perkuburan keluarga yang berada di ujung desa. Hal ini sudah menjadi adat secara turun temurun dari keluarga Ayahnya. Kali kedua adalah saat Nenek nya meninggal. Lalu disusul ibundanya yang ditemukan gantung diri di samping rumah kakek neneknya. Belum lama setelah itu, kini Shanaya kembali ke desa ini untuk menghadiri pemakaman sang Kakek.
Keluarga besar dari Ayahnya memang sudah banyak yang mengadu nasib di Ibukota, maka Shanaya yang paling bertanggung jawab atas pemakaman kakek nya. Apalagi kakek neneknya hanya memiliki dua orang anak saja. Ayah Shanaya dan adik ayahnya, Syahnas. Jadi rumah besar milik kakek neneknya akan kosong dalam jangka waktu lama, karena Syahnas tinggal di Ibukota bersama keluarga nya. Shanaya berpikir kalau dia akan tinggal sementara waktu di desa itu.