Tampak seorang gadis berparas cantik yang memiliki bulu mata lentik dan bibir mungil merah ranum bak buah ceri itu begitu cekatan di dapur.
Tangannya bergerak dengan cepat. Gadis itu bernama Jessica Alba Dinata. Dapur menjadi tempat favoritnya selama setahun belakangan ini. Sangat berbeda dengan dahulu. Jessica bahkan enggan untuk menginjakkan dirinya di dapur.
Ia menjadi berubah seratus delapan puluh derajat begini karena rasa cintanya kepada duda tampan yang menggonjang-ganjingkan hatinya. Jujur, baru kali ini ia memiliki rasa ketertarikan kepada lawan jenis dengan begitu menggebu-gebu. Jerat pesona seorang Duda memang luar biasa dan berbahaya ternyata.
"Akhirnya, sarapan sudah siap." Tersenyum puas melihat meja makan.
Terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Jessica langsung menoleh. Ia tersenyum lembut. "Princessku sudah bangun ternyata. Ayo makan. Mama sudah memasakkan nasi goreng siput kesukaanmu."
"Wah, benarkah?" Matanya tampak berbinar dan semakin mempercepat langkahnya menuruni anak tangga.
"OMG! Semuanya terlihat enak." Menutup mulutnya tidak percaya.
"Jelas dong. Mama jamin rasanya nggak kalah dengan buatan para Chef terkenal."
"Uh! Mama memang yang terbaik." Gadis yang masih mengenakan piyama tidur itu langsung memeluk Jessica erat. Jessica hanya tertawa lucu melihat sahabat baiknya sekaligus calon anak tirinya di masa depan bertingkah seperti anak kecil. Menggemaskan. Mereka seumuran. Sama-sama berumur dua puluh tahun. Hanya saja, Jessica lebih tua dua bulan.
Cukup lama keduanya berpelukan.
Hingga, mereka dikejutkan dengan suara bas yang menginterupsi.
"Kau! Kenapa bisa ada di sini?!" Terlihat terkejut.
"Pa, mama akan tinggal di sini untuk sementara selama satu bulan ke depan."
"Apa?! Satu bulan? Tidak! Tidak bisa!" tolaknya tegas.
"Dan lagi Elisa. Dia itu bukan mamamu!"
"Sekarang memang tidak. Tapi, nanti juga bakal jadi mama Elisa."
Pria yang sudah rapi dengan setelan kantor itu langsung menarik tangan Jessica kuat.
"Kau! Please jangan mengganggu hidupku." Menatap tajam Jessica yang terlihat biasa.
"Ya ampun Honey, jangan marah-marah begitu dong. Nanti tidak tampan lagi." Dengan berani mengelus rahang pria di depannya itu.
"Jangan sentuh aku!" Menepis tangan Jessica kuat. Kesabarannya sudah habis. Ini sudah hampir satu tahun, sahabat anak semata wayangnya itu berbuat seenaknya.
"Papa. Jangan kasar begitu dengan mama." Elisa berteriak lumayan keras.
"Astaga! Elisa." Mengusap wajahnya kasar. Sebenarnya apa yang sudah Jessica lakukan sehingga Elisa selalu memihak kepadanya? Jika begini terus dirinya akan menjadi gila.
"Dan lagi kau! Jangan pernah memanggilku, Honey. Kau itu hanya bocah bau kencur! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah tertarik kepadamu!"
Bukannya marah. Jessica malah tersenyum lembut. Siapapun yang melihatnya pasti akan menganggap Jessica tidak waras. Jelas-jelas ia ditolak secara terang-terangan oleh pria yang dicintainya itu. Namun, bukan Jessica namanya kalau menyerah. Di kamus hidupnya, tidak ada kata menyerah. Ia akan berjuang mendapatkan apa yang ia inginkan sampai titik darah penghabisan.
"Oh jadi tidak suka dipanggil Honey, ya. Oke." Mendekatkan diri ke sisi papa sahabat baiknya itu.
"Kalau begitu bagaimana dengan sebutan My Husband." Meraba-raba dada bidang yang selalu berhasil membuatnya kehilangan kendali untuk sejenak.
"Minggir!" Mendorong tubuh Jessica lumayan.
Elisa yang melihatnya langsung mendekat ke arah Jessica. Tampak jelas, kalau gadis yang tingginya hanya sebahu Jessica tersebut terlihat cemas. "Mama, kamu tidak apa-apa kan?"
Jessica tersenyum lembut dan menggeleng. "Tidak. Mama baik-baik saja anakku."
Elisa menatap tajam sang papa. "Pa, kenapa papa begitu kasar kepada mamaku, sich? Papa benar-benar jahat."
Hardy Halim Kusuma hanya bisa memijit kepalanya yang mendadak pening. Baiklah. Sepertinya berurusan dengan para bocah bau kencur ini pasti tidak akan habisnya. Ia yang sudah sangat dewasa. Ah ralat. Sudah tua ini harus mengalah.
Umurnya sudah empat puluh dua tahun. Sangat memalukan kalau ia akan terus berdebat dengan kedua bocah nakal itu. Pilihan paling tepat adalah segera meninggalkan tempat ini.
Tanpa berkata-kata, Hardy mulai melangkahkan kakinya.
"Pa! Mau ke mana? Sarapan dulu. Mama sudah repot-repot membuat semua ini." Elisa menatap papanya kesal. Tidak masuk akal seorang CEO harus datang pagi-pagi buta begini. Para karyawan saja pasti masih berada di rumah mereka masing-masing. Dasar!
"Tidak perlu. Papa akan sarapan di kantor. Lagian, makanan buatannnya tidak menggugah selera sama sekali." Tersenyum miring sambil melirik ke arah Jessica yang sedari tadi tersenyum manis.
Jessica yang biasa mendapat kata-kata menohok dari pria pujaan hatinya tersebut hanya bersikap biasa. Senyum cantiknya sedari tadi tak pernah luntur sama sekali. Bak tinta spidol permanen yang tidak mudah dihilangkan begitu saja.
"Cih! Memuakkan!" desis Hardy dan kembali melanjutkan langkahnya.
"Pa!" jerit Elisa lumayan kuat.
Hardy yang jelas-jelas mendengar teriakan sang anak malah mengabaikannya. Sepertinya dalam sebulan ini ia harus tinggal di luar. Tidak mungkin kehadiran Jessica akan membuatnya nyaman.
"Tidak apa Elisa sayang. Lain kali jangan berteriak seperti itu kepada papa. Tidak baik," kata Jessica menasehati.
"Iya. Maaf, Ma. Habisnya papa benar-benar menjengkelkan," sahut Elisa.
"Hush! Tidak boleh begitu. Papamu hanya banyak pikiran saja."
Elisa menatap Jessica yang terlihat begitu keibuan. Bukan tanpa alasan ia mendukung sahabat baiknya itu menjadi mamanya.
Jessica adalah satu-satunya orang yang bisa menjadi istri papanya juga ibu untuknya. Ia malah bersyukur karena sang sahabat mempunyai ketertarikan dengan sang papa. Padahal, di luar sana begitu banyak pria yang mengejar Jessica.
Pria yang mengejar Jessica bukanlah orang sembarangan. Mereka semua tampan, kaya, berprestasi dan masih muda. Sungguh disayangkan kalau Jessica lebih memilih papanya yang berstatus duda dan sudah tidak muda lagi.
"Kenapa terus menatap mama begitu. Ayo, kita cepat sarapan," ajak Jessica. Elisa tersenyum dan mengangguk.
***
"Astaga! Aku bisa gila!" desah Hardy melihat dua bekal makanan berbentuk hati itu.
Dengan sangat terpaksa, Hardy membukanya. Ia ingin lihat catatan apa yang dituliskan oleh gadis tidak waras yang berstatus sebagai sahabat putri semata wayangnya tersebut.
*Makanlah bekalnya. Yang hijau untuk sarapan. Dan yang kuning untuk makan siang. Jangan coba-coba membuangnya. Jika tidak, aku akan ke sana dan berbuat hal gila, suamiku sayang*
"Dia benar-benar sudah tidak waras." Hardy menatap kedua bekal yang masih enggan untuk dibukanya.
Ancaman yang selalu Jessica sematkan di note kecil itu bukanlah sebuah bualan. Ini sudah hampir satu tahun ia terus makan buatan bocah ingusan gila tersebut.
Entah punya kekuatan apa. Jessica pasti tahu kalau bekalnya itu dimakan atau tidak. Seperti ada CCTV saja yang terpasang di kotak bekal itu. Namun, tak pernah ia menemukannya.
"Sudahlah. Makan saja. Lagipula dia tidak mungkin meracuni aku." Ia pun mulai memakan bekal.
Hardy akui jika Jessica berbakat dalam memasak. Masakan buatannnya sangat enak, tapi jelas Hardy tidak akan mengatakan secara terang-terangan. Jessica pasti akan besar kepala.
BRAKK!!!!
Hardy yang tengah asyik memakan sarapannya itu dibuat terkejut oleh suara hentakan pintu yang dibuka paksa.
"Gawat, Tuan!"
Keningnya berkerut. "Kau ini Sam. Mengangetkanku saja. Apanya yang gawat."
"Dia_"