"Kak Yura, sepertinya aku sudah sangat mencin ... mencintai suamimu," gumam aku yang langsung menangis sesenggukan.
Kembali teringat masa-masa kak Yura dengan Yunki membuatku sedikit sedih, bisa-bisanya aku sangat mencintai Yunki yang dulunya suami kakakku sendiri.
Namun, aku tidak bisa mengatakan apapun saat ini. Aku hanya bisa menjalankan apa keinginan kak Yura untuk terakhir kalinya.
Aku juga hanya bisa menjaga dan merawat keluargaku saat ini, aku tidak ingin mengecewakan kak Yura.
"Kak, berbahagialah di sana," batinku yang masih menangis sesenggukan.
Saat itu, Yunki dan Yura adalah pasangan yang sangat romantis. Rumah tangga mereka berdua selalu harmonis dan tidak pernah ada gosip apapun.
Yunki selalu memanjakan Yura dan sangat mencintainya, sebab itulah Yunki akan menuruti keinginan Yura untuk terakhir kalinya.
Awalnya, aku dan Yunki benar-benar saling membenci. Aku benci dengan Yunki karena tidak bisa menikah dengan Jimi, sedangkan Yunki benci padaku karena ia pernah menuduhku pembawa sial atas semua yang sudah menimpa pada Yura.
"Aku mencintaimu, kak Yura!" Perlahan-lahan aku mengusap air mataku dan mulai memfokuskan diri untuk kembali bekerja.
Setelah aku dan Yunki menikah sesuai keinginan kak Yura, akhirnya aku dan Yunki mulai terbiasa dengan semua yang terjadi pada kehidupan kami.
Pada akhirnya, aku berhasil merawat dan mengurus kedua anak kak Yura. Hana dan Hani sangat cerdas dan baik, ia benar-benar menuruni kepintaran kak Yura.
Aku dan Yunki juga memiliki empat anak yaitu Dani, Doni, Winda dan Wendi. Mereka berempat juga tidak kalah baik dan pintar dari Hana dan Hani.
***
Pukul 3 sore.
Di rumah keluarga Pratama tepat di halaman belakang dekat kolam renang, keenam anak-anak yang lucu baru saja selesai berenang bersama sang nenek.
"Sudah hayo berenangnya, nanti kalian lelah," celetuk nenek Pratama.
"Iya, ini sudah selesai kok!" Kompak suara dari keenam cucu nenek Pratama.
Tidak lama kemudian. Keenam cucu itu langsung mengambil minumnya masing-masing yang sudah di sediakan di atas meja dekat kolam renang.
Sesekali nenek Pratama tersenyum lebar melihat keenam cucunya yang sangat lucu dan menggemaskan. Walaupun keenam cucunya sudah mulai tumbuh dewasa, nenek Pratama selalu menganggap keenam cucunya seperti anak bayi.
Sekilas nenek Pratama menatap sedih ke arah Hana dan Hani, ia kembali teringat pada mendiang menantunya Yura.
"Yura, pasti kau baik-baik saja kan di sana?" tanya nenek Pratama di dalam hatinya. "Kamu harus baik-baik saja ya menantuku yang baik, karena Hana dan Hani tumbuh sangat baik berkat adikmu dan suamimu," batin nenek Pratama lagi.
Tidak terasa, ia meneteskan air mata dan langsung mengusapnya. Nenek Pratama tidak mau kalau keenam cucunya melihat ia menangis.
"Nenek, apa mama dan papa akan jemput kami di sini?" tanya Winda sambil menghampiri nenek Pratama.
"Sepertinya begitu," jawab nenek Pratama yang agak tidak yakin.
Karena saat tadi nenek Pratama meminta izin pada anaknya tidak membahas keenam cucunya akan di jemput atau apa. Nenek Pratama hanya ingin bersama keenam cucunya sedikit lama, apa lagi ia sadar bahwa selama ini sudah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.
Sebenarnya orang tuanya Yunki dan orang tuaku sedang sibuk dengan beberapa cabang yang akan di bangun di beberapa negara. Sebab itu, orang tua kami sangat sibuk dan sulit untuk kumpul bersama.
"Tapi, aku ingin inap di sini," celetuk Hana.
"Aku juga," sambung Hani.
"Apa kita boleh inap di sini?" Dani menatap semuanya satu persatu.
"Wah sepertinya kalian melupakan kakek," celetuk kakek Pratama yang baru saja datang ke halaman belakang.
Keenam cucunya langsung berlarian dan menghampiri kakek Pratama, nampak terlihat kakek Pratama yang baru saja pulang kerja. Harus menerima pakaiannya basah akibat keenam cucunya memeluknya begitu saja.
Namun, kakek Pratama tidak mempermasalahkan itu. Selagi keenam cucunya bahagia, ia pasti jauh lebih bahagia.
Cukup lama keenam cucu dan sang kakek melepas rindu dengan saling berpelukan. Lalu mereka kembali melangkah menghampiri nenek Pratama yang di tinggal sendirian di sofa.
"Nenek, aku mau inap!" seru Wendi dengan suara ceria, ia seperti ingin sekali inap di rumah nenek dan kakeknya itu.
"Nanti nenek hubungin papa dan mama dulu," kata nenek Pratama.
Walau bagaimanapun, keenam cucunya harus mendapatkan izin dari sang anak sekaligus menantunya.
Terlihat jelas dari keenam cucunya itu yang ingin sekali menginap di rumahnya, kakek dan nenek saling bertatapan. Mereka sudah pasti ingin juga keenam cucunya menginap di rumah mereka.
***
Pukul 4 sore.
Aku sudah sampai rumah lebih dulu dari apda Yunki, tadi bilang Yunki akan pulang sedikit terlambat karena baru saja selesai meeting di kantornya.
"Selamat sore nyonya," sapa bi Ika.
"Sore bi," aku membalas sapaan bi Ika.
"Nona muda dan tuan muda belum pulang dari rumah nyonya besar Pratama," ucap bi Ika.
Sekilas aku melirik ke arah bi Ika yang baru saja mengucapkan bahwa keenam anak-anakku belum kembali dari rumah ibu mertua. Seketika aku tertawa mendengar ucapannya bi Ika.
Walaupun bi Ika sudah bekerja di rumah cukup lama, ia masih saja kaku dan selalu bersikap formal.
"Nyo ... Nyonya, kenapa tertawa?" Bi Ika sedikit gugup karena ia takut melakukan salah saat mengucapkan apa yang ia ucapkan.
"Haha, tidak bi!" Lagi-lagi aku tertawa dan sedikit menggelengkan kepala saat melihat ekspresi wajah bi Ika yang agak bingung. "Hem, bi Ika jangan terlalu formal gitu dong!"
"I ... iya, maaf nyonya!" Bi Ika sedikit menggaruk kepalanya.
Aku tersenyum dan mengusap lengan bi Ika dengan pelan, setelah itu. Aku mengatakan. "Biarkan saja anak-anak dengan neneknya, sepertinya ibu mertuaku sangat merindukan keenam cucunya," kata aku sambil tersenyum lagi.
"Baik nyonya!" Bi Ika mengerti. "Nyonya, nanti malam akan makan di sini kan dengan tuan?" tanya bi Ika.
"Tentu aku akan makan malam di sini dengan suamiku," jawabku.
"Baiklah, akan saya urus untuk makan malam!"
"Oke bi, terimakasih!"
Setelah itu. Aku melangkah menuju kamar dan bi Ika melangkah menuju dapur. Namun, sebelum bi Ika melangkah menuju dapur ia menutup dan mengunci pintu rumah terlebih dahulu.
"Lelah sekali," ucapku setelah sampai di dalam kamar.
Aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur dan menatap langit-langit kamar. Rasanya hari ini sedikit menguras energi.
"Sepertinya anak-anak memang sedang menikmati waktunya bersama nenek dan kakek," gumam aku setelah menatap layar ponsel yang tidak memiliki notifikasi apapun.
Cukup lama aku merebahkan tubuh di atas kasur, aku mulai bangun dari kasur dan ingin melangkah menuju kamar mandi.
"Oke waktunya mandi!"
Menyimpan ponsel dan tas di atas meja rias dan melangkah menuju kamar mandi, tapi langkahku terhenti karena ponselku berdering ada panggilan masuk.