Fahri sedang duduk di tapi jendela di dalam kamarnya. Tatapannya kosong menatap keluar jendela kamar tersebut. Lidahnya kaku begitu juga dengan tubuh kekar nya. Dia baru saja selesai membaca surat ar yang diberikan oleh sang ibu kepada dirinya. Ternyata surat itu adalah peninggalan terakhir dari sang ayah sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Pada awalnya pria tampan itu merasa senang karena setidaknya sebelum pergi meninggalkan dirinya ada pesannya akan disampaikan oleh sang ayah. Namun kesenangan di dalam hatinya tidak berlangsung lama saat dia mulai membaca isi surat tersebut.
Fahri menghembuskan napasnya dengan kasar. Permintaan yang disampaikan oleh sang ayah melalui surat itu membuat dirinya tak bisa berbicara. Di dalam secarik surat tersebut, sah ayah menyampaikan keinginannya agar Fahri bersedia menikah dengan seseorang. Hal itu membuat Fahri sedikit terkejut. Hatinya mulai bertanya mengapa ayahnya meminta dirinya untuk menikah.
Dan ternyata semua jawaban dari pertanyaan nya sudah disiapkan oleh sang ayah di dalam surat itu. Tulisan yang dibuat oleh pria paruh baya itu juga menjawab semua pertanyaan yang sudah diajukan kepada ibunya.
Selama ini seorang sahabat baik sang ayah telah membantu keluarga Fahri, mulai dari pengobatan sang ayah, biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari keluarganya di kampung bahkan biaya kuliah Fahri. Mereka harus menerima bantuan dari sahabat ayahnya karena mereka tidak memiliki pilihan lain sebab penyakit yang menggerogoti tubuh sang ayah membuat dirinya tidak mampu bekerja.
Hutang budi, ya, itulah yang menjadi alasan pernikahan ini. Keluarga Fahri setelah berhutang sangat banyak kepada keluarga sahabat ayahnya yaitu Bagus Surya Raveena. Pesan yang disampaikan adalah permintaan agar Fahri menikah dengan Zoya. Permintaan yang membuat pria itu terduduk lemas tak berdaya. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa mengabulkan permintaan sang ayah, sementara dia memiliki segudang impian untuk diwujudkan ketika kembali ke Indonesia.
***
Keadaan rumah sakit tiba-tiba mencekam terutama ruangan di mana Bagus Surya Raveena sedang dirawat. Zoya berdiri di depan ruangan itu, menunggu kabar baik dari para dokter yang sedang memeriksa keadaan ayahnya. Tiba-tiba saja keadaan pria paruh baya itu memburuk. Denyut jantungnya sangat lemah, tubuhnya bergerak hebat membuat sang putri begitu ketakutan sehingga memanggil tim dokter untuk memeriksa keadaan ayahnya.
Para dokter melakukan tugasnya, memeriksa keadaan pasien untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Para dokter melakukan pekerjaannya dengan sangat profesional.
"Bagaimana keadaan ayah saya?" Zoya mengajukan pertanyaan kepada dokter yang keluar dari dalam ruangan itu. Keadaan pasien sudah kembali membaik, Bagus Surya Raveena sudah mulai kembali tenang setelah para dokter memberikan suntikan dan penanganan kepadanya. Karena itulah dokter yang bertugas mulai meninggalkan pasien kembali di dalam ruangan.
Tetapi meski demikian ternyata keadaan tidak baik-baik saja. Kondisi jantung pasien sudah semakin memburuk karena itulah tim dokter berencana akan melakukan tindakan selanjutnya.
"Tuan Bagus Surya Raveena harus segera melakukan operasi! Keadaan jantungnya sudah sangat memburuk, kita harus menangani nya sebelum keadaannya semakin memburuk." Dokter menjelaskan keadaan pasien kepada Zoya.
"Jika memang seperti itu, maka lakukan saja dokter!" ucap gadis tersebut.
"Tapi masalahnya pasien menolak untuk dioperasi," jawab sang dokter.
Seketika Zoya menemui sang ayah untuk berbicara dengannya. Zoya bertanya kepada pria paruh baya itu mengapa dia menolak untuk dioperasi oleh tim dokter. Namun jawaban yang diberikan oleh selalu ayah kepada putrinya sangat berbeda jauh dari apa yang dia pikirkan. Karena pria paruh baya itu mengancam putrinya sendiri. Dia tidak akan mau dioperasi jika sang putri tidak bersedia menikah.
"Papa, ini masalah kesehatan papa. Masalah yang sangat penting dan mendesak. Kita 'kan bisa melanjutkan pembicaraan tentang pernikahan setelah papa sembuh. Sekarang sebaiknya papa fokus agar bisa segera pulih seperti sedia kala." Gadis itu mencoba meyakinkan ayahnya agar bersedia melakukan tindakan pengobatan. Dia tidak mengerti mengapa dalam keadaan kritis ayahnya justru mengajukan penawaran.
"Tidak! Keputusan papa sudah bulat. Papa tidak akan dioperasi jika kamu tidak mau menikah," lanjut sang ayah.
"Papa," jawabnya kesal.
"Ini juga masalah hidup dan mati. Jika dalam operasi ini papa mati, maka papa tidak akan pernah bisa tenang pergi meninggalkanmu sendirian. Papa juga tidak bisa membiarkan mau melanjutkan hubungan dengan pria itu. Pacarmu tidak akan pernah membuatmu bahagia. Kamu harus menikah dengan pria pilihan papa," lanjut Bagus Surya Raveena memberikan pilihan kepada putrinya.
"Papa, sekarang bukan jaman perjodohan seperti dahulu kala. Setiap anak berhak menentukan pasangan untuk hidup mereka masing-masing. Papa tidak punya hak untuk memaksakan kehendak dengan siapa aku harus menikah," sanggah sang putri.
"Iya, itu benar jika kamu pintar memilih laki-laki. Apakah kamu tidak pernah berkaca kepada dirimu sendiri, jangan kamu pikir bahwa papa tidak tahu bagaimana pergaulanmu di sana. Jangan kamu pikir bahwa papa tidak tahu jika kamu justru membawa laki-laki itu ke Amerika. Papa mengirim ke sana agar kamu bisa melanjutkan sekolah mu, papa mengirim mu kesana agar kamu menjauh darinya. Tetapi apa yang terjadi? Kamu justru semakin dekat dan semakin bebas berhubungan dengannya." hal inilah yang membuat pria separuh baya itu terus merasa khawatir terhadap keadaan putrinya.
Dilema pun mulai terjadi, keadaan sang ayah semakin memburuk hari demi hari. Namun dia juga bersikeras untuk tidak mau melakukan operasi tanpa perjanjian kesediaan sang putri untuk menikah dengan pria pilihannya. Zoya harus segera mengambil keputusan, menerima pernikahan itu meski dengan berat hati atau membiarkan ayahnya terus merasakan sakit.
Dalam keraguan akhirnya gadis itu pun memutuskan untuk mengorbankan dirinya demi sang ayah tercinta. Dia pun akhirnya setuju untuk menikah asalkan ayahnya juga bersedia dioperasi. Senyum kebahagiaan tampak menghiasi wajah sang ayah ketika masuk ke dalam sebuah ruangan di mana tindakan operasi akan dilakukan. Dia merasa lega karena meski dia tidak selamat dalam operasi tersebut setidaknya dia telah menitipkan putrinya kepada orang yang tepat. Tidak ada beban berat lagi yang masuk ke dalam pikirannya karena satu-satunya beban nya hanyalah putrinya tercinta. Dan kini, gadis itu akan menikah dengan pria pilihannya.
Proses operasi segera dilangsungkan. Zoya menunggu di luar ruangan. Hatinya terus berdoa memohon kepada Tuhan agar kesembuhan sang ayah tercinta. Beberapa jam sudah berlalu tetapi ruangan itu masih tertutup. Gadis tersebut semakin merasa khawatir akan kondisi ayahnya. Akankah sang ayah selamat dari operasi yang sedang berlangsung. Ataukah takdir berkata lain.
Setelah lama menunggu, seorang dokter keluar dari dalam ruangan itu. Wajah dokter menunjukkan kesedihan. Zoya bersama Florida mencoba mendekat. Selama melakukan operasi, hanya Florida satu-satunya orang yang menemani Zoya.
"Bagaimana dokter?" tanya Zoya dengan mata yang berkaca-kaca. Menunggu berita baik yang meluncur dari lisan pria yang menggunakan pakaian serba putih itu. Namun gelengan kepala yang ditunjukkan oleh sang dokter menyampaikan segalanya. Berita buruk itu akhirnya diterima. Wanita itu kehilangan ayah kandungnya.
"Tidak," teriak nya.