"Aurora," panggil seorang pria masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arahnya.
Aurora menatap was-was dan takut ke arah pria dewasa yang menyandang status sebagai ayah tirinya itu. Apa lagi ekspresinya nampak seperti orang yang ingin berlaku jahat. Jeff membuka kancing kemejanya dan melempar baju itu ke sembarang arah. Entah, Aurora tidak tahu apa yang akan dilakukan pria kurang ajar itu.
"Ke-keluar!" ucap Aurora ketakutan.
"Aku bilang keluar, jangan dekat-dekat!!"
Jeff perlahan menindih tubuh putrinya. Tak lupa, ia pun mengunci pergerakan Aurora sehingga membuat perempuan itu tidak dapat melakukan perlawanan. Aurora berteriak kencang, kemudian membanting vas bunga di meja sisinya. Tentu saja suara teriakan dan bantingan itu terdengar sampai ke bawah, sehingga bik Asih pun datang dan langsung memeluk erat tubuh Rora yang bergetar.
"Non kenapa, Non??!"
Bik Asih mengambil segelas air putih yang ada di atas nakas, sisi tempat tidur Aurora. Dia memberikan air itu dan langsung diteguk habis oleh Aurora.
"Tenang, Non!"
"Non mimpi buruk, ya?"
Aurora mengangguk lemas. Spontan bik Asih memeluk dan mengusap-usap punggung perempuan itu. Tubuhnya nampak gemetar. Jelas sekali raut ketakutan terpancar di wajahnya.
"Di mana pria brengsek itu, Bik?"
Bik Asih menautkan kedua alisnya. Siapa yang dimaksud oleh perempuan ini? Aurora sampai mengatai Jeff sebagai pria brengsek. Sungguh disayangkan karena Aurora belum mengerti yang sebenarnya.
"Bibik sudah tahu semuanya, Non."
Aurora mendongak dan menatap bik Asih dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Maaf kalau saya lancang, Non. Sebelumnya, apa bibik boleh bertanya?"
Aurora tidak menjawab. Dia hanya menatap dalam lawan bicaranya, seolah sedang menunggu pertanyaan yang akan dilontarkan oleh bik Asih.
"Non Rora ingat apa aja soal malam itu?" tanya Bik Asih tenang.
Pertanyaan bik Asih justru sukses membuat Rora terdiam.
"A-aku, aku gak inget apa-apa. Pria brengsek itu, dia udah perkosa Rora, Bik."
Seinggat dirinya, ia terbangun dan mendapati tubuhnya yang polos tak berbusana. Belum lagi bercak darah di sprei, baju yang berserakkan, dan juga rasa sakit di area bawahnya. Air mata Rora mengalir begitu ia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Dadanya terasa sakit. Dia sangat benci kepada Jeff, pria brengsek yang sudah tega menodai kesuciannya. Pria biadab yang baginya tak pantas disebut sebagai ayah. Sementara Bik Asih, wanita itu masih setia memeluk sembari mengelus punggung Aurora yang bergetar.
"Kalau tidak ingat apa-apa. Kenapa Non Rora menarik kesimpulan seperti itu?"
"Non harus lihat ini dulu sebaiknya."
Bik Asih mengeluarkan ponsel genggam dari saku baju dasternya. Wanita itu membuka sebuah dokumen dan memutar video di sana.
...
Aurora menangis dengan tersedu-sedu. Perempuan itu tak dapat lagi membendung air matanya. Dia telah mengetahui semuanya, termasuk awal mula kejadian memilukan itu terjadi. Faktanya, semua yang terjadi bukan karena murni pemerkosaan Jeff terhadapnya. Ini bukan sepenuhnya salah pria itu karena ia juga ambil bagian dari kesalahan ini. Justru, ini mungkin adalah kesalahan dia. Dia jijik jika mengingat video adegan di mana dirinya mencium Jeff dengan sangat panas. Dia ingat semua hal menjijikan itu.
"Permisi, Non."
Aurora menatap bik Asih yang masuk ke dalam kamarnya.
"Non nangis lagi?"
Kantung mata dan lingkaran hitam di mata Aurora membuat bik Asih menatap kasihan ke arahnya. Sudah beberapa hari ini, Aurora menjadi anak yang pemurung dan sering menangis. Wanita itu menghampiri dan mendekap Rora ke dalam pelukannya. Sesekali wanita itu mengusap-usap punggungnya.
"Non Rora yang tabah, ya!" ujar Bik Asih menenangkan.
"Daddy mana, Bik?"
Bik Asih mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Wanita itu terlihat berfikir untuk beberapa waktu.
"Bik," panggil Aurora menyentuh pundak pembantunya.
"Non, tuan ... tuan Jeff sudah pergi."
"Pergi ke mana, Bik?"
"Tuan pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis."
"Dari kapan, Bik?"
Bik Asih terlihat berfikir untuk beberapa detik. "Emmm, sudah lima hari ini."
Aurora terdiam. Lima hari terakhir dirinya memang tidak keluar sama sekali dari dalam kamar. Paling mentok, dia hanya berdiri di balkon untuk menghirup udara malam.
"Ya sudah, Non, bibik pamit dulu ke bawah. Kalau ada apa-apa panggil bibik aja. Jangan aneh-aneh, ya!" ujar Bik Asih mengusap-usap pundaknya.
Aurora hanya menganggukkan kepalanya tanpa berniat menjawab.
...
Suasana malam ini begitu dingin. Aurora tengah menghirup udara malam dari atas balkonnya. Mata Aurora menyipit melihat seseorang di bawah sana. Pria itu mendongak ke atas dan menatap ke arahnya.
Aurora menggeleng dan buru-buru masuk ke dalam. Dia merasa jika dirinya belum siap untuk bertemu dengan laki-laki itu. Apa yang akan terjadi jika kekasih dan teman-temannya mengetahui dirinya sudah tidak suci lagi. Dia belum siap dikucilkan, meskipun mengerti jika semua ini adalah kesalahannya juga. Namun, tetap saja ia belum bisa menerima semua.
Aurora merogoh saku celana dan mengambil benda pipih yang sudah dua kali berdering. Sebuah panggilan telepon. Melihat namanya saja, membuat Aurora menggeleng. Dirinya belum siap jika harus bertemu dengan Alden, kekasihnya. Dia takut jika kekasihnya itu akan meminta untuk berpisah setelah mengetahui semua. Mana mau seorang lelaki muda, perjaka, tampan, dan kaya menjalani hubungan dengan seorang perempuan yang tidak dapat menjaga kehormatannya.
Lagi pula mengapa juga Alden datang setelah sebulan tak ada kabar.
Aurora membanting ponselnya di atas ranjang. Dia memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi. Perempuan itu mengacak rambutnya untuk beberapa saat, kemudian menatap nanar wajahnya di cermin dengan air mata yang kembali mengalir. Lagi dan lagi, dia tidak sanggup menerima kenyataan pahit. Masa depannya telah rusak. Kalau saja malam itu ia tidak sembarang masuk ke dalam kamar ayahnya dan memilih tidur di kamar tamu, tidak mungkin hal naas ini akan terjadi padanya.
Rora menyalakan shower air dan mengguyur tubuhnya yang berjongkok di bawah guyuran air. Gadis itu masih menggunakan pakaian lengkapnya. Mungkin hal ini akan membuatnya sedikit lebih tenang beberapa waktu.
...
"Rora ada di dalam, Bik?"
"Non Rora ada di kamarnya, Tuan."
"Dia sudah makan?"
"Seperti biasa, Tuan, makannya tidak banyak."
"Ya sudah kalau begitu, saya tutup dulu teleponnya, saya ada rapat. Saya titip jaga Rora ya, Bik!"
"Baik, Tuan."
Hampir setiap hari, selama Jeff berada di luar negeri, pria itu selalu saja menghubungi bik Asih untuk menanyakan kabar dan perkembangan kondisi anaknya. Bagaimanapun ia juga merasa khawatir dengan putrinya itu. Mengingat Rora, membuat Jeff ingat akan malam di mana kejadian itu terjadi. Malam itu Aurora sangat panas dan menggairahkan. Walaupun masih berada di bawah kendali obat, ia masih ingat jelas betapa nikmat rasa dari tubuh gadis itu.
"Sayang.."
Jeff menggelengkan kepalanya. Mengapa juga bayang-bayang tentang malam itu semakin teringat jelas. Sungguh itu membuat otaknya tidak dapat berfikir jernih.