"Konon, wabah mematikan memunculkan beratus-ratus ribu korban."
"Seluruh jiwa yang kakinya berpijak di tanah, bergetar. Setiap tarikan nafas sarat akan ketakutan. Jangkrik tidak lagi mengisi malam, karena tergantikan rintihan juga pekikan. Tidak ada lagi bau matahari ditubuh, orang-orang takut bahkan hanya untuk melihat keluar jendela."
"Orang-orang kaya bersusah payah mengirimkan sinyal berupa kertas berisi goresan tinta, kepada penghuni Kota Atas Awan."
"Kota Atas Awan hanyalah kiasan, itu untuk menunjukan status bahwa mereka adalah Sekte."
"Di sisi lain, para pemimpin sekte, justru memiliki pemikiran yang memungkinkan tragedi ini menjadi sesuatu yang bermanfaat."
"Para Murid, tidak dipilih ataupun diundi, diberi Hewan spiritual pendamping, tentunya yang kelas rendah, bertujuan untuk merekam sebanyak apa pedang-pedang itu menyelamatkan Jiwa."
"Sang Pemenang, akan diberi fasilitas untuk mendukung keberhasilannya mencapai langit. Hampir seluruh murid merasa ini adalah judi."
"Xue Shilin, adalah biji jagung di sana."
"Asal-usulnya tidak diketahui, tapi masa depannya, agaknya sudah bisa diraba. Ketua Sekte Bintang Surgawi, membawanya menembus awan dan menjadikannya murid luar."
"Xue Shilin bocah polos, hanya karna beberapa hal-hal baik disemprotkan kepadanya, kepalanya sontak mengangguk."
Screenshit benar-benar memilih kisah yang buruk. Dari sepenggal sinopsis diatas, Garren Xia sudah bisa menebak alurnya.
"Ya, ya, ya, yang seharusnya menjadi Xue Shilin adalah orang yang tidak naif, dan berat tangan?" Mata yang tadinya terbuka setengah, sekarang menjadi seperempat. Pemuda yang tengah tengkurap di sofa panjang tampak sangat tidak bersemangat. Setelah menggaruk jembatan hidung. Dia melanjutkan, "Tapi, siapa? Aku tidak punya kenalan yang cocok."
Pemuda itu kembali memandang Screenshit. Cuitan burung, gemericik air, dan jatuhnya embun. Tiba-tiba, daun berembun tadi terbelah, dan kemudian tertindih beberapa tetes darah.
Hal yang ia tangkap berikutnya, membuatnya memagari telinga dengan bantal. "Astaga! Ini seperti petasan!"
Mulutnya tidak dipagar, akibatnya, apa saja yang ada dipikiran langsung dikonversikan. Dia menunjuk makhluk yang baru saja memunculkan diri di layar. "Sesosok apaan! Dia hanya rangka dan saraf!"
Dia memencet tombol biru pada remot, dan seketika, isi dari Screenshit membeku. Pemuda itu menjatuhkan mukanya pada bantal. Meski suaranya teredam bantal, dia tetap berkata, "Kenapa aku harus peduli, toh bukan aku yang akan masuk."
Kepalanya terangkat, dan matanya masih terbuka seperempat. Namun, saat sudah menoleh ke arah Bundaran penuh nama, mata itu terbuka sempurna. Tentunya didahului beberapa kedipan cepat, untuk memastikan apakah matanya benar-benar menangkap apa adanya.
Apa?
Tunggu ....
Itu jelas namanya!
Camilan, kaleng soda, dan bantal sofa, seketika melompat dan kemudian berpencar. Jika saja setelah melompat menjadi lenyap, itu patut disebut kembaran kembang api.
Binar tentu saja sudah memenuhi netra pemuda itu. Berlari tunggang langgang, dan akhirnya sampai meski harus merasakan nyeri di dahi akibat menabrak tiang penyangga Bundaran itu.
Dirinya sudah sangat gemas---tidak sabar, akibatnya dia menggigit bibir sebagai pelampiasan. Jari jemarinya mengikuti jarum Bundaran itu, meraba tonjolan tulisan yang ditunjuk, memeriksa apakah goresannya benar ....
Benar ....
Seketika, sorakan tiada tandingan mengudara. "WOOHH!!"
Huruf "O' yang terukir jelas, dan beberapa kedipan perwakilan dari ketidakpercayaan. Oh, detik selanjutnya, mata itu menjadi melotot, itu pelototan ekstrem, pelototan yang mengundang ketakutan karna saking sedikitnya bagian mata yang diapit kelopak. Sudah, itu cukup untuk menggambarkan orang gila yang barusan bersorak itu.
Dia berbalik, masih dengan ekspresi tadi. Dan hal yang sama terjadi kembali.
Melihat Screebshit lagi, sorakan kembali unjuk diri. Kali ini bahkan lebih keras. Rasanya, volumenya bisa memunculkan retakan pada tulang sanggurdi.
Tangannya mengepal sedari tadi, kini sebagai wujud bahagia dia menonjok udara diatasnya. Dan ditambah lompatan, dia persis seperti kera yang kegirangan mendapatkan pisang.
Sebelum ini, dia bahkan tidak sudi bersentuhan dengan lantai karna terlalu takut merasakan kedinginan. Sekarang, dia bahkan melompat dan kadang menghentekkan kaki secara bertubi-tubi.
Semua atraksi konyol itu mendekatkan dirinya kepada Screenshit.
Baiklah, beri sedikit bagian untuk Screenshit. Ukuran layar itu bisa saja memuat satu kamar yang cukup luas.
Karena tombol hijau ditekan, pause sudah berhenti, Screenshit kembali menampilkan isinya. Kali ini hanya gambar. Layar itu menampilkan atap-atap runcing yang mengalahkan ketinggian kapas langit, tebing-tebing yang memisahkan ditumbuhi tanaman rambat dan lumut. Jangan lupakan burung yang berkeliling seolah polisi yang berpatroli. Layaknya drone, layar terus menyoroti bagian-bagian yang sebenarnya tidak tahu apakah itu bermanfaat. Di bagian sudut bawah diisi nama tempat. Seperti, Paviliun Mawar Api, dan Perpustakaan Cahaya.
Pupil pria muda itu dipenuhi pantulan Screenshit. Mulutnya perlahan terbuka, memperlihatkan gigi putih cemerlang, dan mengakibatkan keluarnya tawa girang.
Itu gila. Volumenya gila.
Rasa-rasanya, tawa itu bisa saja menghadirkan gempa, menggetarkan seluruh ornamen langit, dan membuat sesuatu disekelilingnya melebur menjadi kakak dari atom.
Emosi positif belum sepenuhnya mengambil kesadarannya. Di antara bunga-bunga yang bermekaran di hatinya, ternyata masih ada kumbang.
Mengingat bagaimana "dirinya", rasa-rasanya, dia baru saja dijatuhi ribuan bintang di angkasa. Bagian dada sontak menjadi sesak.
Kemana perginya hawa dingin dari Pendingin ruangan dan lantai? Di mana pria konyol itu sekarang? Tentu bukan di neraka bukan?
Hanya saja, melihat begitu banyak air di permukaan kulitnya, mempercayai ayam beranak lebih baik daripada mempercayai bahwa dia selalu ada di ruangan dingin.
Embun asin itu menelusuri pelipis, mengikuti kemiringan garis rahang untuk kemudian jatuh membasahi piama bermotif kekanakan itu.
"A-- apa, apa ini bisa di percaya?" Huft, akhirnya dia bisa menelan ludah. Nafasnya mulai memburu, tanpa sadar dia mulai meremas rambutnya. Bundaran penuh nama mendekati dirinya, menyodorkan layar berisi "Pilih pendampingmu" dan kolom bertuliskan nama-nama orang yang pernah menghabiskan waktu dengannya.
Otaknya sangat cepat, menekan kolom di pojok kanan layar bisa dikatakan refleks.
Dia menggulirkan mata ke samping, mengakibatkan titik fokusnya berubah. Beberapa detik memandang itu, benar-benar sebuah alternatif kardio untuk dirinya. Kulit dadanya sedang berjuang keras menahan jantung yang seakan terobsesi untuk keluar.
Batinnya bersorak, Ini harus tidak mengecewakan!
Menggigit bibir dan mengangguk. Kepastian sudah didapatkan, kemantapan sudah tidak lagi terelakkan. Kesempatan hanya datang satu kali, jika dua kali namanya Hoki. Dan dia orang yang tidak membuang-buang waktu.
Merasa begitu banyak air di telapak tangan, dia mengenggam baju dan membuat kelembaban itu hilang. Harus bersih dan rapi. Jemari panjang miliknya sudah hampir menyentuh kolom bertuliskan "Kirim Jiwa".
Namun, sepertinya ada tangan maya yang menamparnya. Itu adalah bentuk dari "sadar diri". Aku ingin bertemu dengannya, tapi apakah dia sama denganku?
Satu tangan lainnya seolah membenarkan wajahnya yang miring, dan membuatnya yakin. Tapi, ini dicerita yang berbeda, dia pasti bahkan tidak mengenalku.
Jari telunjuknya yang bergetar ternyata tidak jadi ditarik, itu malah menghilangkan jarak antara dirinya dengan kolom tadi.
Seketika, semburan Cahaya Hijau Kebiruan menyemprot tubuh pemuda itu. Fungsinya seperti lubang hitam. Buktinya, si pemuda tidak lagi berada di ruangan itu.
Akibat melihat kejadian tersebut, cangkir yang dibawanya bebas dari apitan tangan, mengakibatkan cairan hitam bertemu dengan lantai.
Sosok itu lantas berlari, untuk menggapai sisa cahaya Biru Kehijaun, tapi tepat saat jarak antara keduanya lenyap, cahaya Hijau Kebiruan itu juga lenyap.
Nafas yang terhempas kasar menjadi pendahulu kata. "Hey! Sinopsisnya bahkan belum selesai!" Uhh, sangat cempreng.
Kepala sosok itu bergerak ke arah kanan, membuat pandangan sosok itu jatuh pada Bundaran. Tawa miris muncrat dari celah bibir. "Dasar bocah."