Raja Triton, sedang mengadakan rapat dengan seluruh menteri kerjaaan.
Rapat kali ini membahas tentang kemarau panjang yang melanda negeri Merida.
"Yang Mulia, rakyat telah merasakan kesengsaraan dalam waktu yang lama. Mereka sudah mencoba untuk bertahan, tapi kemarau panjang ini membuat sebagian besar dari mereka mati. Terutama para petani, lahan yang biasa digunakan untuk mencari rezeki kini hanya tersisa tanah gersang."
"Rakyat tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Yang Mulia. Bahan makanan sekarang telah langka, panenan banyak yang gagal. Bahkan persediaan bahan makan di istana semakin menipis, Yang Mulia."
Raja Triton menatap satu persatu menteri yang hadir, wajah mereka tampak cemas.
Masalah kekeringan ini terjadi sejak dua bulan yang lalu. Dan puncaknya, beberapa mata air yang digunakan warga untuk mencari air bersih sudah kering.
"Yang Mulia, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah melaksanakan ritual untuk Dewa air. Mungkin selama ini banyak rakyat kita yang melakukan kemaksiatan sehingga Dewa marah dan menghentikan limpahan airnya." Menteri dari klan kiri berbicara.
"Segera laksanakan ritual itu, Yang Mulia!"
"Mohon laksanakan ritual itu, Yang Mulia!" Seluruh menteri bersimpuh dan menundukkan kepala. Mereka meminta sang raja untuk melakukan ritual yang diperuntukkan dewa air itu.
Sang raja tampak menghela nafasnya dengan dalam.
"Tentu kalian tahu, ritual ini pernah dilaksanakan oleh Kakeku, Raja terdahulu. Waktu itu satu orang digunakan sebagai persembahan, dan orang itu bukan sembarangan. Dia harus memiliki energi air yang kuat dalam tubuhnya."
Semua menteri tampak merenungkan ucapan raja Triton.
Tentu saja mereka mengetahui syarat itu. Yang paling penting, mencari orang dengan energi air bukan perkara yang mudah.
Di kerajaan ini, para rakyat jelata, mau pun bangsawan, setiap lahir akan membawa energi di dalam tubuhnya, kebanyakan adalah energi tanah. Sehingga sebagian besar dari mereka adalah petani.
"Kalau kita harus melakukan ritual itu, secepatnya kita harus mencari orang yang memiliki energi air."
"Laksanakan, Yang Mulia."
***
Agam, dia adalah putra pertama sekaligus penerus tahta kerajaan Merida. Parasnya yang tampan sering kali disalah gunakan untuk meluluhkan hati wanita.
Kegiatan Agam setiap hari adalah merayu para wanita istana, terutama para dayang yang masih muda dan belia.
"Hem, aku mencium aroma bunga di sini."
Saat ini Agam sedang berada di pemandian khusus lelaki kerajaan. Seperti biasa, dan tanpa pengetahuan sang ayah, Agam tengah menebarkan pesonanya.
Para dayang diperintahkan oleh Agam untuk menunggu dirinya mandi.
"Kami akan menyingkirkan aroma ini dari hadapan Anda, Yang Mulia."
Salah seorang pelayan muda yang baru bekerja di istana selama dua minggu maju dan ingin mengambil lilin bearoma bunga.
Greb!
Tangan pelayan yang terulur itu dipegang oleh Agam.
Sontak si pelayan berusaha untuk melepaskan diri. Pandangannya menunduk karena badan Agam saat ini hanya terlapis celana selutut.
"Tolong lepaskan hamba, Yang Mulia." Pinta si pelayan.
Para gadis yang memasuki usia lima belas tahun di kerajaan ini, akan diseleksi untuk menjadi pelayan istana.
Mereka akan ditempatkan sesuai dengan hasil seleksi.
Jika para pelayan muda lain akan senang jika ditempatkan sebagai pelayan putra mahkota atau pangeran. Maka lain halnya dengan pelayan muda satu ini, sejak di desa dia sudah banyak mendengar desas desus orang.
Yang mengatakan jika putra mahkota senang bermain dan menggoda para pelayannya.
"Apa? Aku tidak dengar?" Agam kini menarik tubuh si pelayan menyebabkan gadis muda itu masuk ke dalam bak pemandian.
"Aaaa!!!"
"Yang Mulia!" Dua pelayan lain terkejut dengan tindakan Agam.
Byur!
Plak!
Tangan Agam menampar pipi pelayan muda itu. Tentu saja gadis itu menangis. Dia telah dilecehkan oleh raja selanjutnya.
"Dasar tidak berguna! Kau pikir dirimu ini siapa? Hah! Berani sekali kau menolakku!"
Agam berdiri, dia menjulang di depan si pelayan yang kini hanya bisa menangis sesenggukan seraya bersimpuh di dalam air.
"Kau kira aku tidak tahu jika sejak pertama kali dirimu datang, perilakumu seakan jijik denganku!"
"Ampun, Yang Mulia! Saya tidak pernah memiliki perasaan seperti itu."
"Aw!!!"
Agam menarik rambut gadis itu ke belakang.
"Terus saja kau jual mahal padaku! Akan ku buat hari-harimu di istana menjadi neraka!"
Senyum seringai terbit di wajah Agam.
"Dan untuk permulaan. Terima ini!"
Agam memasukkan kepala gadis muda itu ke air.
Tentu saja si pelayan tak bisa bernafas, dia berusaha melepas pegangan tangan Agam pada kepalanya dan memberontak.
"Hahaha, ini adalah akibat karena kamu jual mahal padaku! Dasar gadis rendahan!"
"Yang Mulia, tolong hentikan!"
Melihat temannya hampir mati karena tak bisa bernafas, tentu saja mereka mencoba membujuk tuannya.
"Diam! Atau kalian juga ingin seperti dia!"
Dua gadis itu saling tatap. Mereka tak bisa bertindak lebih jauh, mereka juga tak ingin kehilangan pekerjaan.
"Kakak!"
Agam menoleh ke arah pintu. Dia berdecak saat melihat si bungsu yang berlari tergopoh menuju bak mandinya.
"Kakak, apa yang kau lakukan? Dia bisa meninggal karena tidak bisa bernafas!"
"Diam kau, Ariel! Kau dan dia sama saja, pembuat masalah!"
Ariel tentu saja tidak terima dikatakan seperti itu. Sang kakak benar-benar keterlaluan.
Sering kali Ariel melihat kakaknya bercumbu dan bermesraan dengan gadis pelayan.
Kebetulan Ariel sedang berjalan untuk ke taman bunga bagian belakang kerajaan yang ada di dekat pemandian Agam. Ariel mendengar suara ribut dan segera masuk ke pemandian ini, alangkah terkejutnya dia melihat Agam yang berusaha menghilangkan nyawan pelayan muda.
Pasti pelayan ini tak mau menuruti perintah Agam.
"Kakak, sebagai penerus tahta kau tidak boleh melakukan hal ini!"
Ariel maju, dia berusaha menyingkirkan tangan sang kakak.
"Minggir, sialan!"
Bugh!
Tubuh Ariel terpental karena dorongan Agam.
"Putri!"
Dua pelayan yang ada di sana berusaha membantu Ariel untuk berdiri.
Tangan Ariel terkepal. Dia sangat marah dengan perilaku sang kakak yang tidak pantas disebut sebagai penerus tahta.
"Kau memang arogan! Kau tidak pantas disebut Putra Mahkota!"
Ariel melihat si pelayan yang sedang disiksa oleh Agam sudah tidak bergerak.
Agam melotot, si anak pembawa sial mengatai dirinya.
"Kurang ajar! Kau pikir dirimu, siapa? Hah! Anak pembawa sial seperti dirimu tidak pantas ada di hadapanku. Kau yang membuat Ibuku meninggal!" Tak mau kalah, Agam meninggikan suaranya.
"Aku juga tidak mau Ibu meninggal!"
Tangan Ariel terangkat ke arah Agam.
Wush!
Semua air yang ada di bak pemandian terangkat.
Agam dan dua pelayan lain terkejut melihat hal itu.
Air itu terangkat seiring pergerakan tangan Ariel. Dan menyemprot ke seluruh area pemandian. Sampai air di dalam bak tersisa sedikit.
Ariel menurunkan tangannya, dia terkejut dengan apa yang terjadi.
Ariel menunduk untuk melihat telapak tangannya. Apa yang tadi dia lakukan. Sekarang tubuhnya dan dua pelayan juga basah karena air itu berputar menyemprot ke segala arah.