Chereads / FISSANDO IL CIELO / Chapter 3 - {What?}

Chapter 3 - {What?}

Jill dan Steven sungguh tidak pernah menyangka bahwa mereka akan berkesempatan maju ke babak berikutnya mewakili Esmeralda. Bahkan, sebelumnya mereka tidak mengetahui ada dua babak dalam kompetisi ini.

Terlebih lagi, mereka harus berkolaborasi. Sungguh, itu merupakan hal yang baru bagi mereka berdua. Selama ini, Jill dan Steven selalu tampil solo. Walau kecanggungan di antara mereka tak terelakkan, tetapi gadis berambut violet itu selalu punya cara untuk mengatasinya. Sayangnya, selama ini gadis itu hanya mempunyai teman, bukan sahabat.

Steven berdecak kagum melihat piano kritstal milik Jill ketika berkunjung–lebih tepatnya dipaksa–ke rumah Jill untuk berlatih. Semua itu karena Jill beralibi bahwa Lilian, mamanya, memintanya untuk tetap di rumah.

Berjam-jam latihan bersama Pianis Terdingin di Esmeralda membuat Steven menyadari satu hal: Jill selalu sangat serius apabila sedang latihan. Dari awal memasuki ruang piano, Jill menguarkan aura yang menjadi alasan julukannya itu.

'Apa mungkin aura itu dimulai dari ruangan ini?' batin Steven.

Lama-lama, bulu roma Steven meremang karena terus memikirkan aura Jill. 'Menonton penampilannya dari jauh saja dapat kurasakan aura dinginnya menguar kuat, lantas apa kabar denganku yang saat ini berada di satu ruangan? Bisa mati beku mungkin,' batin Steven meringis.

Mata Steven mengerling ke sudut dinding bagian atas: tempat Air Conditoner bertengger. 'Yang alami saja sudah sedingin ini. Sungguh tidak terbayang jika ditambah AC,' pikir Steven menyimpulkan.

Jill yang merasa Steven melenceng dari not aslinya langsung menghentikan jari yang berencana untuk melanjutkan lagu "Cannon in D Mayor" milik Pachebell. Lagu itu adalah lagu yang telah mereka sepakati untuk ditampilkan di babak duet mewakili Esmeralda nanti.

"Ada apa Bell?" tanya Jill sambil menatap Steven dingin. Wajahnya sungguh datar.

Steven terkejut melihat Jill berubah seratus delapan puluh derajat. 'Kemana perginya sifat Jill yang kekanakan dan keras kepala?' Ditambah lagi, Jill memanggil Steven dengan nama belakangnya: Bell. Karena panggilan 'Bell' dominan merujuk ke nama cewek, Steven pun merasa kesal mendengarnya.

Namun, Steven tidak bisa menumpahkan amarahnya karena situasinya terasa aneh. Sorot mata Jill yang dingin dan tajam itu mengusik Steven. Dirinya tidak bisa berhenti bergerak gelisah demi menghindari tatapan Jill. Beruntungnya, Lilian memasuki ruangan dan menyuruh mereka untuk istirahat. Maka, segera saja Steven ngacir ke luar ruangan dan beralih ke ruang tamu.

Baru saja Steven duduk, matanya disuguhkan pemandangan yang ia anggap sebagai "penghangat Jill". Lilian tahu apa yang bisa mencairkan "es" di dalam diri Jill. Dengan tulus wanita berusia tiga puluh sembilan tahun itu memeluk eraterat putri tunggalnya.

"Sudah ya, dinginnya. Ada temennya, loh," bisik Lilian. Hal itu sudah biasa Lilian lakukan jika anaknya memiliki tamu atau teman yang berkunjung untuk segera melelehkan "es"-nya setelah memainkan piano.

Lilian mendudukkan Jill tepat di hadapan Steven, lalu ia pergi ke dapur, membuatkan minum untuk mereka. Steven memilih bungkam saja daripada mulutnya lancang mempertanyakan hal sensitif yang berpotensi menyinggung perasaan Jill.

Tak lama kemudian, Lilian datang membawakan dua cangkir teh hangat di atas nampan. Dengan gesit Lilian menyuguhkan teh itu untuk Steven dan Jill. Gadis yang berada di hadapan Steven saat ini meraih cangkir tehnya dan menyeruput isinya dengan nikmat.

Apa yang Steven lihat selanjutnya sangatlah mengejutkan. Ekspresi Jill kembali ceria. Steven sampai melongo melihat perubahan itu.

'Sungguh, cewek ini beneran aneh!' batin Steven menjerit.

Dari sudut matanya, Jill menangkap basah Steven tengah bergidik dan menatap ngeri ke arahnya. Maka, Jill pun membuka suaranya.

"Kamu kenapa?"

Steven menegakkan punggungnya terkejut. Ia menarik napas. "Coba pakai namaku," cicit Steven.

"Steven kenapa?" Dengan suara polos bak anak kecil, Jill menuruti permintaan Steven seraya sedikit memiringkan kepalanya.

Mulut Steven sedikit terbuka. 'Sial! Kenapa cewek ini berlagak sok imut?' Steven protes sendiri dalam batinnya.

"Kenapa? Sejak latihan tadi kau tidak fokus," tanya Jill lagi, menyadarkan Steven yang malah menganga.

Steven mengerjap. "Eh, nggak papa, kok!" emaknya, lalu menggaruk leher bagian belakang. Jill manggut-manggut saja.

"Steven, aku mau minta sesuatu boleh?"

"Gak," jawab Steven cepat, lalu menyeruput tehnya. Ia mencoba menetralisir kecanggungan dan pikiran anehnya.

"Jahat," gumam Jill manyun. Bukan Jill namanya kalau tidak berusaha keras untuk mendapatkan apa yang dia mau. Steven mendelik, lalu menyandarkan punggungnya di sofa. Ia memejamkan matanya.

"Steven, orang tua kita, kan, sahabatan. Nah, gimana kalau kita juga sahabatan?" Seketika Steven bangkit dan melotot. Jill terkekeh melihat reaksi Steven yang berlebihan. "Aku belum pernah punya sahabat, loh. Seharusnya kamu merasa tersanjung karena diminta oleh seorang Jill Rose, sang Pianis Terdingin di Esmeralda." Sayangnya, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Steven. Jill kembali cemberut.

"Tapi kenapa?"

"Kalau orang tua kita sahabatan, bukan berarti kita harus ngikutin mereka," jelas Steven.

Ucapan Steven membuat Jill semakin cemberut. Keheningan kembali menggelayut. Saat Steven menegak tehnya sampai habis, dia sadar hari semakin sore. Steven pun memutuskan untuk pamit. Namun, sebelum Steven benar-benar pulang, Jill berusaha menyampaikan sesuatu yang sejak tadi mengusik pikirannya.

"Apa lagi?" sahut Steven jutek.

"Karena kamu nolak jadi sahabatku, sebagai gantinya aku mau tambahkan puisi di lomba kita nanti." Ada nada memaksa di suara Jill. Steven mendengus remeh lalu mengiyakan permintaan Jill.