Mobil berhenti pada halaman rumah yang cukup luas, sebuah rumah mewah berlantai tiga itu tampak berdiri kokoh di depan sana.
Beberapa saat kemudian, pintu mobil yang berada di samping Kinn dibuka dari luar. Hal semacam ini sudah biasa bagi Kinn, ia bak seorang pangeran yang bisa mendapatkan segalanya tanpa perlu bekerja keras.
Kinn turun dari mobil dan menatap rumahnya, ia menarik sudut bibir, tersenyum tipis. Sudah lebih dari satu bulan dirinya tidak pulang dan sekarang ia kembali menginjakan kaki di rumah ini.
"Rendi," panggil Kinn begitu ia mengetahui pengawal suruhan sang nenek mendekat kearahnya. "Di mana Oma sekarang?"
"Sepertinya beliau berada di ruangannya, Tuan," jawab Rendi dengan penuh kerendahan.
"Apa wanita jalang itu sudah datang? Kau bilang akan ada pertemuan dengan keluarga Rajendra."
"Sepertinya, mereka akan datang sebentar lagi." Rendi berkata dengan penuh kesopanan.
"Baiklah, aku akan menemui Oma dan kalian, urus saja pekerjaan kalian yang lain! Jangan ikuti aku!" titah Kinn dengan lugas, ia merasa risih jika orang-orang ini mengikutinya terus.
"Baik, Tuan," jawab Rendi, ia memberi isyarat pada dua bawahannya untuk berjaga pada pintu gerbang karena mungkin saja setelah ini Kinn akan kabur seperti biasa.
Kinn pun melangkah menaiki beberapa anak tangga yang akan membawanya menuju pintu rumah yang memiliki tinggi dua setengah meter, pintu rumahnya yang berwarna putih itu memang tinggi dan besar.
"Tuan Kinn," ucap seorang pria paruh baya yang memiliki tubuh tinggi dan sedikit kurus, pria berkulit cokelat dengan wajah kearab-araban bernama Asad, dia sudah menjadi pengawal setia Nourin sejak muda dulu sehingga dirinya sudah sangat dekat dengan Kinn, sedari tadi ia memang menunggu kedatangan Kinn. "Nyonya Nourin sudah menunggu anda."
Kinn menghela napas berat, "Saya tau," jawabnya singkat kemudian berlalu masuk kedalam rumah dan tentu saja ia diikuti oleh Asad yang mengekor di belakang.
"Apa Tuan Kinn sudah makan?" tanya Asad dengan penuh perhatian, ia memang orang yang mengurus Kinn sejak kecil sehingga sangat peduli pada pemuda berusia dua puluh tujuh tahun ini.
"Sudah." Kinn menjawab dengan malas, setelah melewati ruang tamu yang luas dengan kesan mewahnya, Kinn menaiki anak tangga yang akan membawanya menuju ke lantai dua, tempat dimana ruang kerja neneknya berada, kebetulan ruangan Nourin tidak jauh dari tangga.
Sebenarnya Asad ingin sekali menasehati Kinn agar tidak bersikap seperti ini mengingat usia Nourin sudah senja, Nyonya-nya itu pasti menginginkan penerus yang bisa diandalkan untuk mengurus perusahaan. Selama ini, perusahaan diurus oleh Tuan Hans, anak dari adik Nyonya Nourin yang sudah meninggal. Tapi, Asad tahu bahwa Nyonya-nya itu ingin Kinn yang melanjutkan usahanya mengingat awal bisnis keluarga ini dirintis oleh Nyonya Nourin bersama mendiang sang suami.
"Kenapa anda mengikutiku, Pak Asad?" Kinn tidak terlalu berbicara formal pada Asad, meski begitu ia tetap menghormati pria yang jauh lebih tua darinya ini.
"Ini perintah dari Nyonya, saya harus memastikan Tuan Kinn tidak kabur dari rumah dan menghilang selama sebulan lagi," jawab Asad dengan senyum dan nada penuh keramahannya.
"Aku ini seorang pria, aku punya jiwa yang suka kebebasan, aku ini bukan tuan putri yang harus berdiam diri di rumah dan kemana pun aku pergi, aku harus diikuti oleh pengawal," protes Kinn dengan nada tidak sukanya.
"Kalau mau protes, sampaikan pada Nyonya Nourin," ucap Asad, ia mempersilahkan Kinn untuk menuju ke ruangan Nourin setelah keduanya sampai pada lantai dua.
Kinn berhenti sejenak dan menatap lekat pintu ruangan yang berwarna putih dengan jarak dua meter dari tempatnya berdiri saat ini, ia pun menghela napas dan berusaha meyakinkan dirinya untuk masuk. Entah mangapa, rasanya berat sekali setiap kali ia hendak menemui neneknya.
Tiga menit berlalu, Kinn pun sudah merasa bahwa ia sudah sepenuhnya siap masuk ke dalam sana. Dirinya pun melangkah dengan tegap menuju ke pintu itu, derap langkahnya yang berat terdengar jelas ditelinga.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai, ia pun meraih knop pintu lalu memutarnya, membuka pintu yang terbuat dari kayu jati yang terasa kokoh tersebut.
"Bagaimana rasanya, satu bulan tinggal jauh dari rumah?" tanya Nourin begitu melihat kembali wajah cucunya setelah sekian lama, ia memang tipe nenek yang tegas, bahkan wajahnya pun terlihat seperti tokoh antagonis dalam drama karena memang ia tidak mudah untuk tersenyum dan nada bicaranya sangat lugas, mungkin karena biasa memimpin, jiwa kepemimpinan sudah melekat menjadi satu dalam dirinya.
"Sangat menyenangkan," jawab Kinn tanpa rasa segan sedikitpun, ia melangkah menuju ke sofa berwarna hitam yang berada ditengah ruangan lalu menghempaskan diri keatas sofa tersebut.
Rasanya Nourin sudah sangat lelah menasehati Kinn, bahkan dari cara lembut sampai kasar sudah pernah ia coba dan hasilnya nihil. Anak ini sudah sangat keras kepala hingga tidak mau menuruti perintah siapapun.
Nourin pun melepas kacamata bacanya, ia beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah mendekat kearah Kinn. Ia terus menatap pemuda yang semakin hari semakin mirip dengan putranya itu, persis tidak ada yang dibuang.
Nourin pun duduk pada sofa yang berhadapan dengan cucunya, "Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Kinn? Oma sudah tua dan ingin sekali istirahat dari semua pekerjaan ini. Tapi, Oma tidak bisa lepas tangan saat kamu sama sekali tidak bisa diandalkan seperti ini."
"Bukannya ada Alan? Dia hebat, bukan?" Kinn menyandarkan punggungnya yang terasa pegal itu, ia masih bersikap santai. Alan adalah sepupunya, putra Hans Utomo.
"Dia itu berbeda, kamu satu-satunya pewaris bisnis yang kakekmu rintis." Nourin berusaha membujuk cucunya yang sangat keras kepala ini.
"Harga diriku hancur karena sejak kecil aku dijodohkan dengan wanita idiot itu, jika Oma mau aku mengurus semua bisnis ini. Maka, putuskan hubungan tidak masuk akal ini."
"Oma tidak mengerti kenapa kamu bisa sebenci itu pada Sera?"
"Dia itu anak haram, aku bosan diolok-olok oleh teman-temanku karena dijodohkan dengan itik buruk rupa itu. Dan lagi, semua orang memuja Alan, aku tidak pernah lebih baik dari dia, dia mengambil segalanya dariku!"
Nourin berusaha untuk sabar menghadapi sikap Kinn yang sangat kekanak-kanakan ini, "Soal perjodohan itu, ayah dan ibumu sudah menyepakatinya sejak lama."
"Apa mereka gila?! Main menjodohkan anak yang masih dibawah umur!"
"Kinn!" tegas Nourin, bagaimana pun ia tidak suka jika putra dan menantunya disebut dengan cara kurang ajar seperti ini, "Mereka adalah orang tuamu dan kamu tidak pantas berkata seperti itu!"
"Lalu, aku harus apa? Aku ingin maju disaat lingkungan tidak mendukungku!"
"Berhenti menyalahkan orang lain dan lihat ke dalam dirimu sendiri, bagian mana yang perlu di perbaiki."
Inilah yang paling tidak Kinn sukai dari bertemu dengan neneknya, baik dulu ataupun sekarang, hanya ada perdebatan tanpa ada penyelesaian. Dibanding mendengar nasehat yang sama berulang kali, Kinn akhirnya memilih untuk beranjak dan keluar dari ruangan itu.
"Kinn, kamu mau kemana, Oma belum selesai bicara."
Kinn tidak menghiraukan apa yang Nourin katakan, ia keluar dari ruangan dengan rasa marah, Kinn melampiaskan amarah itu dengan membanting pintu.