Awan mendung, langit gelap mengundang kegelisahan, ke mana seorang pemuda akan melangkahkan kakinya. Dia Hanif Al Malik.
"Entah, mau dibawa kemana? Tanpa arah dan tempat yang jelas, diremehkan dari keluarga karena kesalahanku sendiri, selalu membuat mereka kecewa, aku memutuskan untuk pergi dari rumah, akan aku buktikan kepada mereka kalau aku bisa menjadi anak yang baik.
Maaf Opa .. Kak .. jangan kutuk aku jadi anak durhaka, karena aku yang suka hidup bebas hingga kebebasan itu terlalu jauh sampai membuat aku sadar jika aku tidak dapat meneruskan kebebasan itu, dengan umurku yang masih sembilan belas tahun aku mudah terpengaruh oleh dunia luar, aku akan pergi sejauh-jauhnya dari tempat lahirku, entah kemana aku harus melangkah mencari kedamaian, akan aku dekatkan diriku pada sang ilahi, aku tidak berpikir apakah nanti Alloh akan mengampuni ku atau tidak,' batin Hanif.
Hanif melihat bus, Hanif melambaikan tangan dan kemudian bus itu pun berhenti lalu dia pun langsung naik, setelah di dalam Hanif menengok kanan, kiri, depan dan belakang namun tidak ada kursi yang kosong, semua sudah ada yang menempati, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berdiri dan berkata.
"Sini dek," Panggil seorang pemuda yang berkulit kuning langsat dengan berpakaian seperti ustad yang biasa memakai kopiah, sarung dan baju koko.
Hanif juga melihat ada seorang gadis berkerudung yang memandang di luar kaca, dari pakaian yang dikenakan ia terlihat seperti seorang santri.
Hanif bertanya pada orang yang ada di sebelahnya tadi. "Dari mana Mas?"
"Dari Jakarta," jawab lelaki itu.
"Kamu sendiri dari mana?" tanya balik lelaki yang bernama Hafizh itu.
"Dari Jakarta, lha Mas mau kemana?" belum lagi menjawab Hanif.
Hafizh malah berkata,
"Oh iya kenalin." Dia mencolek tangan istrinya, dan kemudian Hanif mengulurkan tangan, namun ternyata istrinya itu tidak menyambut uluran tangan Hanif, wanita itu malah melipat kedua tangannya, namun begitu dia masih berkenan untuk menyebutkan nama.
"Naila," ucap perempuan itu sambil tersenyum manis, lalu kembali memandang luar kaca lagi, lalu mas Hafizh kembali bertanya.
"Ini Adik saya."
"Oh ... saya kira istri Mas Hafizh. Mas mau kemana," timpal Hanif sembari senyum tertahan.
"Aku mau berangkat ke Pondok bareng Adikku."
Hanif hanya diam dengan sedikit manggut-manggut, lalu Mas Hafizh kembali bertanya, "Lha kamu sendiri mau kemana?"
Hanif pun langsung menjawab, "Belum tahu Mas, eh kalo misalnya aku ikut Mas apa boleh?"
"Boleh," jawab Mas Hafizh sembari tersenyum ramah.
Lalu Hanif kembali bertanya, "Mas sudah berapa lama mondoknya?"
"Kalau aku lima tahun, dan kalau Adikku baru tiga tahun," jawab Mas Hafizh dan aku hanya bisa tersenyum, sejenak kemudian mereka saling diam, Hanif merasa adiknya itu tidak banyak bicara, padahal cantik, tapi kayak orang bisu, dan tiba-tiba Mas Hafizh berkata,
"Aku boleh cerita?"
"Ya tentu boleh to Mas, silahkan Mas .."
Lalu iapun mulai ceritanya,
"Awalnya aku tak pernah menyangka kalau bisa mondok, ya Alhamdulillah hatiku terbuka, aku dulu punya geng, di daerahku aku dan gengku terkenal paling kejam, hingga pada akhirnya kakekku meninggal, sebelum meninggal ia sempat berpesan, "Berubah lah .. karena sesungguhnya Allah maha pengampun." Kemudian setelah itu aku ada teman yang mengajakku untuk mondok.
"Gimana, maukah mondok bareng aku? Dan akhirnya aku pun mengikuti ajakannya itu, dan Alhamdulillah sekarang temanku itu sudah menikah, kalau Adikku ini memang pendiam orangnya, tidak cerewet dan penurut, beda lah dengan kakaknya ini hehe ... oh iya kamu sendiri apa tidak punya orang tua? Dan kenapa kok mau ikut dengan kami?" tanya mas Hafizh.
Hanif pun langsung jawab, "Aku kabur dari rumah." Mendengar ucapan Hanif seperti itu adiknya pun langsung menoleh ke Hanif, tapi tidak lama karena begitu aku ganti menoleh padanya dia buru-buru kembali memandang ke luar kaca bis lagi, dan Hanif pun kembali melanjutkan cerita Hanif.
"Aku hampir sama dengan mas sebenarnya, dan sekarang aku juga akan buktikan kepada mereka kalau aku ini juga bisa menjadi anak yang baik."
Adiknya berkata, "Maaf ikut menyambung, kamu tidak berpamitan?"
Hanif menggelengkan kepala, dia kembali berkata namun dengan tidak menoleh kepada Hanif.
"Tidak?" lanjutnya meyakinkan jawaban Hanif.
Dan Hanif pun kembali menjawab dengan jawaban yang sama, "Tidak."
"Terus sekarang kamu mau ikut bareng dengan kita?" lanjut tanya adiknya.
"Iya," jawab Hanif singkat.
"Aku sarankan ya .. cari dulu ridho orang tuamu, pamit mintalah izin meskipun cuma lewat telepon, biar kelak ilmumu manfaat dan berkah, juga orang tuamu tidak bingung mencari kamu kesana-kemari," ucapnya terdengar menasehati Hanif, namun sayang dengan sikapnya yang seperti itu Hanif malah merasa diremehkan.
Mas Hafizh berkata, "Nai jangan ikut campur, kamu kan belum tahu masalah yang sebenarnya ..."
Naila berkata, "Mas gak tau kan .. bagaimana sakitnya hati ibu? Sekejam-kejamnya ibu dia tetap tidak akan rela kalau anaknya terluka, walaupun hanya dengan tetesan air mata."
Mas Hafizh diam lalu kemudian ia berkata,
"Cepat hubungi orang tuamu, lalu bicaralah dengan baik, bilang minta maaf dan kamu tidak akan pernah pulang sebelum berhasil menjadi anak yang baik."
Seperti itulah awal perjalanannya. Hanif nampak diam mendengar penuturan dari Hafizh dan Naila, setelah itu dia mengambil hpnya dan kemudian langsung menelpon Opa karena kedua orang tuanya sudah meninggal, Namun Hanif tidak menjelaskan kalau kedua orang tuanya sudah meninggal.
"Assalamualaikum ... ini siapa?" tanya dalam telepon.
"Ini aku Oppa ... Hanif."
"Ya Allah ... Hanif, kamu dimana nak? Cepat pulang ..." suara Oppa nya terdengar bergetar karena menahan tangis haru, terbayang wajah seorang Oppa yang ditinggal pergi oleh cucunya.
"Oppa ... doakan aku agar bisa menjadi anak yang baik, aku akan pulang jika aku sudah berubah, salam untuk Kak Kanaya dan maafkan Hanif ya Opa .. jaga kesehatannya .. makan yang teratur .. jangan sampai penyakit lambungnya kambuh .. Hanif sayang dengan Opa .. wasallam .."
Naila nampak tersenyum dan kemudian menoleh ke kakaknya, ia merasa bersalah.
"Mas, mas, mas Hafizh ... aku minta maaf .." ucap Naila, dan karena Hafizh masih diam lalu Hanif pun ikut ambil suara.
"Mas ... mas ..." dan tiba-tiba ..
"Hahaha ... kalian ketipu," ujar Hafizh merasa senang karena bisa ngerjain Hanif dan adiknya Naila.
"Hih, nyebelin! Dosa tanggung sendiri!" ujar Naila nampak sewot.
"Jangan marah .. mas Hafizh kan cuma bercanda."