09.00
"Ta, tampilkan slide opening," perintah Bima di tengah ruangan tempat reuni SMA Nusantara.
"Bukan yang itu, yang satunya" Bima memberi arahan. Tanpa bicara, dengan cekatan tangan Genta menari di atas keyboard.
Sementara di sudut ruang yang lain. "APA …?" Suara Bertha meninggi.
"Puter balik …, puter balik … ,cari alternatif jalan lain? Ini sudah jam 9, nanti jam 10 tepat acara akan dimulai. Satu jam sebelum acara dimulai souvenir harus sudah sampai di sini. Okey .... 30 menit. Saya tunggu, terima kasih." Bertha dengan kesal menutup telepon.
"Gimana Tha?" tanya Sisil yang sedari tadi mengamati interaksi Bertha di telpon.
"Mereka terhalang kemacetan di Gejayan, ada kecelakaan di sana tapi sudah otw. Janjinya 30 menit lagi sampai sini. Kamu urus snack-nya, aku tak lapor Bima dulu," jawab Bertha lesu.
"Yang tabah ya kakak ...semangat … ." celetuk Nada sambil menunjukkan genggaman tangannya. Mata Sisil memincing melihat Nada diam-diam menyembunyikan senyum usilnya. Sisil yang berdiri di sampingnya langsung menyodokkan sikunya ke Nada.
"Aduh sakit Sil… ." Sisil melotot. Bertha menoleh ke Sisil dan Nada. Dari wajah keduanya sahabatnya ini nampak jelas mereka berusaha menahan senyum.
"Seneng ya lihat aku dimarahi Bima?" kata Bertha manyun.
"Siapa suruh kamu lalai, sudah tahu kayak apa juteknya tu si-Bima. Dia itu mr. perfect, di matanya ndak boleh ada yang salah, sekecil apapun." ejek Sisil.
"Tapi kamu pernah suka kan?" lirik Nada.
"Itu masa lalu, sudah lewat …" jawab Sisil ketus.
"Kok seperti sesuatu yang menyeramkan ya …?" sindir Bertha
"Emang, bisa bayangkan penderitaanku dulu ketika jadi pacarnya." lanjut Sisil.
"Embeeerrr .... sekarang bilang begitu, dulu putus nangis-nangis berasa pingin mati, ya ndak Na? Hahaha … ." Bertha dan Nada sontak tertawa.
"Aess.... sudah-sudah. Ayo, kita selesaikan pengaturan snacknya. Ntar keburu mr. perfect gantian nyamperin, males aku …."
"Males atau mau … ?" ejek Bertha.
"As... embuh. Eh, Tam ... Tama" panggil Sisil ketika melihat Tama dari jauh.
Tama berjalan mendekat. "Apa Sil?"
"Bisa bantu mindahin dus-dus mineral itu ke dekat meja besar?" pinta Sisil.
Tama mengamati 6 dus di depan pintu masuk. "Sepertinya, aku perlu panggil Bram dan Dika," sahut Tama. Sisil menganggukkan kepala mengiyakan.
Tak lama kemudian Tama dan kedua temannya datang, masing-masing membawa 2 dus. Sisil dan Nada kembali mondar-mandir meletakkan piring-piring berisi aneka snack ke setiap meja bundar.
Sementara Bertha sudah ada di sampingnya Bima. Dengan takut-takut, Bertha menjelaskan tentang keterlambatan pengiriman souvenir.
"Bim, pihak souvenir barusan ngabari, mobilnya terjebak macet di Gejayan karena ada kecelakaan," bisik Bertha agak ragu. Tatapan dingin Bima penuh tanya membangkitkan rasa bersalahnya.
"Mereka diperkirakan datang sekitar 30 menit lagi. Mereka bilang souvenir untuk guru sudah direvisi disesuaikan dengan pesanan. Tadi mereka kirim foto dan sudah tak cek souvenir-nya sesuai dengan yang kita pesan," lanjut Bertha berusaha tenang. Bima hanya mengangguk kecil.
"Untuk konsumsi semuanya sudah ready dan sekarang sedang dipersiapkan oleh pihak rumah makan dan timku," imbuh Bertha ketika melihat dahi Bima kembali berkerut.
"Sekarang aku bantu timku ya … ." Buru-buru Bertha meninggalkan Bima tanpa menunggu jawaban. Tatapan Bima mengikuti kepergian Bertha. Genta pun melakukan hal yang sama.
"Kenapa senyum-senyum Ta?" Bima menoleh ke Genta.
"Ternyata kalau lagi salting imut juga …," jawab Genta kembali umek laptop.
"Makanya buruan kejar … jangan nunggu kabur baru nyesel," tuding Bima. Genta hanya tertawa lirih sambil geleng-geleng.
Sementara yang diobrolin bingung sendiri. Ada rasa bersalah karena kemarin-kemarin Bima sudah mengingatkan dirinya untuk mengecek souvenir. Tapi ia hanya mengiyakan tanpa melakukannya. Entah kebetulan … lha kok souvenir yang untuk guru tidak sesuai dengan yang dipesan. Untung saja, masih ada waktu 2 hari sebelum hari-H untuk memperbaikinya. Untungnya lagi hanya 25 buah. Coba kalau semua souvenir alumni tidak sesuai, bisa-bisa aku digantung sama Bima. Bertha menepuk jidatnya sendiri.
"Lho sudah selesai ditata?" Terbit senyum lega di bibir Bertha. Ini cukup menghalau sedikit cemasnya karena semua snack dan air mineral kemasan sudah tersaji di setiap meja. Sementara buku tamu dan souvenir untuk alumni tertata rapi di atas meja dekat pintu masuk, termasuk penerima tamu juga sudah siap di samping meja.
Mata Bertha berbinar-binar. "Terima kasih friends, I love you … ." Bertha berlari kecil menghampiri Sisil dan Nada. Terlihat Sisil dan Nada pura-pura menolak pelukkan Bertha. Ketiganya tertawa tetapi Bertha menghentikan tawa mereka ketika matanya menangkap kedua mata Bima menatap ke arahnya.
Tatapan Bima kembali ke panggung utama. "Ta, kenapa slidenya Kim Devin Cho dari tadi belum ditampilkan?" suara Bima mulai meninggi.
"Sebentar Bim. Juki, tolong kamu cek projectornya. Kok gambar di laptop tidak muncul di screen."
"Ini settingannya sudah bener. Mungkin kabelnya kurang pas." Juki merunut kabel-kabel yang menghubungkan cpu dengan proyektor. Dengan sigap dia memastikan semua kabel terhubung dengan benar.
"Nah …benarkan. Berarti tadi kabelnya yang kurang nancap. Makasih Ki," Genta mengacungkan jempolnya. Juki mengangguk pelan.
"Der, usb yang dari David kemarin ditaruh di mana?" tanya Genta.
"Sebentar tak carikan." Genta ikutan mengubek-ubek kantong depan tas ranselnya.
"Ta, masih lamakah?" teriak Bima.
"Sabar bro. File-nya yang dikirim dari Devin corrupt, tidak bisa dibuka. Ini Deri juga bantu nyari usb dari David kemarin. Ah...bener itu usb-nya." Spontan Genta menunjuk usb di tangan Deri.
"Untung ada back up," ujar Genta setelah menerima usb dari Deri.
"Gimana Bim, okey kan?"
"Sip… makasih Ta" Bima mengacungkan ibu jari ke arah Genta.
"Slide pemberian kenang-kenangan untuk para guru pakai slide yang ditunjukkan Arman di rapat terakhir kemarin, Ta." Tambah Bima.
"Siap. Semua sudah tak urutkan berdasarkan rundown acara, termasuk slide dan video Kim Devin Cho."
"Ok, sip kalau gitu. Sepertinya teman-teman sudah mulai berdatangan." Bima melihat jam di tangannya yang menunjuk jarum pendek di angka 9 dan jarum panjang di angka 6. Kemudian Bima berbalik menuju pintu utama.
"Okey, langsung saya putar lagu-lagu era saat kita SMA." Genta langsung pencet tombol enter. Setelah itu lagu "Yogyakarta" KLA Project bergema memenuhi ruangan.
*******
Gara-gara Bertha, kenangan tentang Bima tiba-tiba melintas. Awalnya, tidak pernah terbayangkan akan menjadi pacar Bima, salah satu dari 6 cowok paling keren dan populer di sekolah kami.
Cewek mana yang ndak bangga berada dalam lingkaran pertemanan mereka, apalagi jadi pacarnya. Ah… siapa pun pasti akan merasa jadi ratu di atas awang. Jadi bisa dibayangkan betapa senangnya aku menjadi pacar Bima, ketua OSIS idaman banyak siswi di SMA Nusantara. Selain ganteng, cool, berkharisma, pintar lagi.
Sebelum resmi jadi pacar Bima, aku selalu menantikan untuk bertemu dengannya. Ndak heran, setiap pertemuan OSIS aku ndak pernah tidak hadir. Walaupun untuk urusan yang ndak ada hubungannya dengan OSIS pun, aku bela-belain datang hanya sekedar melihatnya.
Hanya demi berada di dekat Bima, aku sering membatalkan janji dengan Bertha, sahabatku. Malah kadang aku sama sekali lupa kalau sudah janjian. Ini yang sering membuat Bertha uring-uringan. Makanya, ia paling sebel lihat tingkahku yang terbutakan oleh cinta.
Namun sejak jadi pacarnya Bima, semua berubah 180 derajat. Semuanya berbalik, Aku semakin enggan berdekatan dengan Bima. Aku merasa terintimidasi. Dia terlalu sempurna untukku. Aku merasa selalu merasa ada saja yang salah dari aku jika berdekatan dengannya.
Sebetulnya, Bima tidak terlalu mempermasalahkan. Ia selalu bilang, aku hanya butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi agar bisa menyamakan ritme dengannya. Menyamakan ritme? Ritmenya siapa? Ah … mimpi.
Ternyata punya cowok terlalu sempurna, baik secara fisik, intelektual, dan emosi tidak menjamin aku bahagia. Yang sempurna belum tentu cocok untukku.
Setelah 6 bulan aku akhirnya menyerah. Aku putus dengan Bima. Aku mau hidupku damai tanpa ada rasa cemas dan was-was. Awalnya Bima tidak setuju, ia memintaku tetap bertahan di sisinya. Namun aku bersikeras minta putus dan akhirnya kami pun putus secara baik-baik.
Walaupun sempat terbesit rasa penyesalan tetapi tekadku sudah bulat. Aku tak mau lagi menanggung sakit yang lebih dalam.
Dan Bertha tetaplah Bertha. Walaupun dia sering uring-uringan dengan sikapku yang sering bimbang dan sering mengingkari janji tetapi Berthalah yang selalu menjagaku di saat aku terpuruk. Ia yang selalu meyakinkanku bahwa keputusanku berpisah dengan Bima sudah tepat.
Ternyata Bertha benar, ketika kuliah aku bertemu Toro. Dari sisi manapun Toro ada di bawah Bima. Namun, entah mengapa ketika berada di sampingnya aku merasa nyaman. Aku yakin dia jodohku. Selama 7 tahun pacaran, dia bisa membuatku nyaman ketika bersamanya. Tahun lalu, aku resmi jadi nyonya Toro Utama.
"Sil… Sisil … " Bertha teriak pas di depan telinga.
"Eh… ada apa?" sahut Sisil gugup.
" Pasti ngelamunin Bima ya… dari tadi senyum-senyum sendiri. Awas tak bilangin Pak Toro."
"Eh… ndak ya …," jawab Sisil berusaha menutupi gugupnya. Bertha tersenyum menikmati Sisil yang salah tingkah.
"Mana dos souvenir yang lain? Itu sudah mulai banyak yang berdatangan."
Bertha menatap dos di tangan Sisil. "Souvenirnya tinggal ini?" tanya Bertha ngegas.
"Ndak masih ada 4 dos di mobil tapi tadi belum sempat diturunkan," jelas Sisil.
"Syukurlah …," suara kelegaan keluar dari bibir Bertha. "
"Yang di mobil biar aku dan anak-anak yang ambil," tawar Tama yang berdiri samping Bertha.
"Okey … ," jawab Bertha singkat.
"Souvenir ada di mobil siapa?"
"Mobilnya Chandra. Kuncinya di kantongku." Dengan ujung mata Sisil nunjuk ke kantong celana.
"Sini biar aku yang bawa." Dos souvenir berpindah ke tangan Bertha. Sisil menyerahkan kunci pada Tama. Tama langsung bergerak. Dari jauh ia memberi kode dengan tangannya pada Bram dan Dika. Lalu mereka bertiga beriringan keluar menuju tempat parkir.
"Ayo, Sil ... segera bantu Nada di meja penerima tamu. Lha malah bengong," tegur Bertha dengan tatapan judes.
" Iya, mak … iya …." Segera Sisil mengambil alih dos di tangan Bertha dan berlalu tanpa menoleh. Bertha hanya melongo.
"Tha, ayo … buruan, pasti ngelamunin Gen … . Aduh ...sakit …," triak Sisil kena cubit Bertha.
"Ni mulut bisa ndak diatur," kata Bertha lirih sambil menoleh ke arah Gentha yang ada di belakang meja laptop.
"Kenapa? Takut orangnya denger," bisik Sisil sambil melirik sahabatnya yang berjalan di sampingnya.
" Aish … kamu ini … Awas ya … aku juga pegang kartumu," ancam Bertha.
"Kalaupun tahu, sebetulnya ndak apa juga, malah untung. Kalian sama-sama bujang dan sama-sama suka. Siapa tahu gara-gara reuni ini terus ada yang jadian," sindir Sisil sambil mempercepat jalannya.
Sisil tertawa sambil mempercepat jalannya. "Eh … Sil … awas kamu ya ..." Bertha setengah berlari mengejar Sisil.
"BUKK …" Tiba-tiba langkah Sisil terhenti. Punggungnya menabrak benda keras. Akibatnya, kaki kiri menekuk dan badannya langsung oleng. Sisil mendekap erat dos. Matanya terpejam, pasrah akan jatuh. Namun tahu-tahu ada tangan kokoh merengkuh lengannya. Sisil ndak jadi jatuh tapi tatapan terjatuh ketika menatap sang pemilik tangan.
"Kalau jalan yang bener, ndak usah lari kayak anak kecil. Kebiasaan," sindir Bima dengan tajam.
"Eh ..." Sisil melotot.
Bersambung …